27 Desember 2015

Rende dan Tanarara

Rende Yang Menawan

Saya terbangun agak telat, mendekati jam 6 pagi.  Tampaknya saya memang mudah beradaptasi dengan kamar yang berada di lantai 3 ini;  memang sepi, kamar sebelah sepertinya ditempati oleh cowok-cowok. Tapi percayalah saya merasa nyaman, tidak merasa takut.  Baru terpikir setelah pulang ke Jakarta, bagaimana jika ada yang iseng masuk ke kamar dengan mencongkel pintu, tidak akan ada yang mendengar.  Alhamdulillah, Tuhan melindungi saya sepanjang perjalanan ini dan pikiran negatif sama sekali tak terlintas di situ.

25 Desember 2015

Menjumpai Sumba Timur

Menuju Sumba Timur

Menjelang subuh saya bangun dan iseng menuju teras atas resto hotel.  Sayang sunrise sepertinya terhalang oleh bukit.  Mau pesan kopi di resto tapi sepertinya belum ada orang.  Jadi saya memotret-motret saja

Teras atas Hotel Sinar Tambolaka

Lalu teringat akan pasar yang ada di seberang hotel.  Nah  sambil menunggu waktu sarapan saya ke sana saja.  Tidak seperti pasar di Jawa yang sudah ramai dari dini hari.  Lapak-lapak pasar di sini masih kosong walau waktu sudah menunjukkan jam 6 pagi.  Setengah jam kemudian baru beberapa lapak dibuka.  Saya menghampiri satu lapak yang menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga karena teringat ingin membeli rinso softener buat mencuci baju, berhubung saya hanya membawa kaus secukupnya :).

Di Pangkuan Bumi Sumba


Sumba,

Apa yang harus saya katakan tentang pulau ini selain paduan antara kerasnya alam dan keindahan khas Indonesia timur.

Saya ingat betul laporan Ekspedisi Jejak Peradaban NTT -nya Kompas tahun 2010, betapa ngenes nasib propinsi NTT dimana pulau Sumba berada. Infrastruktur yang minim, Indeks Pembangunan Manusia yang nyaris terendah, susah air dan segala cerita sedih tentang daerah ini sampai NTT diplesetkan menjadi Nasib Tak Tentu atau Nanti Tuhan Tolong. 

Sekarang, menjelang akhir tahun 2015; kurun waktu lima tahun sejak laporan itu dipublikasikan akhirnya saya menapakkan kaki di salah satu sudut NTT, Sumba.  Banyak sudah orang yang mengabarkan keindahan Sumba, namun kisah dari Kompas selalu teringat, mengungkit keinginan untuk mengintip kondisi pulau itu kini.

Kerasnya alam langsung terasa saat menginjak bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya untuk pertama kalinya, panas menyengat.  Bandara itu sepi.  Saya yang pergi sendirian langsung merasakan keheningan saat mesin pesawat ATR dimatikan.  Tersaruk-saruk melangkah sambil mencoba menghapus kantuk akibat harus bangun dini hari demi mengejar penerbangan pertama ke Bali, transit sebelum menuju Tambolaka.


Saya lirik ponsel, XL sudah wafat, tinggal sinyal Telkomsel yang berjaya.  Segera saya menghubungi hotel untuk mengecek mobil jemputan.  Ternyata mereka sedang kebingungan karena hanya punya nomor XL saya yang tentu saja langsung masuk voice mail saat dihubungi.

16 November 2015

Pentas Komunitas: BARATAYUDA

BARATAYUDA.

Di malam yang basah karena hujan turun tak kenal kompromi, sebuah pentas tari akan dimainkan oleh gabungan beberapa komunitas.  Para dosen, Komunitas Cinta Berkain, Sisingaan, penari Bharata.  Pokoknya orang-orang yang cinta menari.

Di Gedung Pewayangan Taman Mini, dengan penata artistik Elly D. Luthan dan penata musik Blacius Subono, para penggemar tari sekaligus wayang dapat menyaksikan teman dan kerabat tampil membawakan lakon Baratayuda dalam durasi 90 menit.

Yang sedikit berbeda adalah kostumnya.  Biasanya dalam wayang orang, penari perempuan menggunakan atasan kemben, yang sekarang ini menggunakan atasan kebaya, lalu mahkota para tokohnya bukan seperti yang kita lihat dalam pentas wayang orang Bharata, melainkan mirip gelungan kain,

Inilah foto-fotonya:

Abimanyu gugur


Gatotkaca mangkat

14 November 2015

Museum Week-Jalur Rempah: Sebelum dan Sesudah

Museum Week baru saja berlalu...ups,,sudah beberapa minggu sih, namun saya baru sempat membahasnya sekarang setelah menyelesaikan kerjaan yang tertunda plus memulihkan kondisi badan yang letih dan lesu seusai pameran.  Letih dan puas tepatnya.

Undangan

Ya, saya memang terlibat di dalam proyek Museum Week ini, keterlibatan tak sengaja sebenarnya dikarenakan Gelar, komunitas tempat saya bergabung ditunjuk untuk menjadikan proyek dari yayasan Bina Museum ini berjalan sukses sekaligus berbeda dari tahun sebelumnya.  Dan, karena saya penyuka sejarah, otomatis saya jadi salah satu anggota team content.  Sesederhana itu.

26 Oktober 2015

BANTEN GIRANG - Banten Pada Masa Pra Islam

Banten Girang,

Dari beberapa kali mengunjungi situs Banten lama ternyata masih saja ada teka-teki yang tersisa tentang masa silam Banten sebelum berwujud kesultanan, saat masih berupa kerajaan Hindu bawahan kerajaan Pakuan yang dikenal dengan nama Banten Girang.

Sonny Wibisono, arkeolog senior dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang ditemui di kantornya, kawasan Pejaten menerangkan dengan gamblang hal ihwal kerajaan pendahulu tersebut sesuai dengan temuan arkeologis.

Arkeolog Senior-Sonny Wibisono
"Kesultanan Banten sebenarnya hanya melanjutkan jalur-jalur perdagangan yang sudah ada pada masa kerajaan Banten Girang yang juga penghasil lada. Melalui Tiku Pariaman atau rute Sriwijaya yaitu Jambi dan Palembang".

13 September 2015

Cengkeh dan Tembakau di Mata Puthut EA

Turun di stasiun Gondangdia, saya langsung naik bajaj menuju jl. Wahid Hasyim.  Kafe Phoenam yang menjadi tujuan sebenarnya tidak terlalu jauh, namun di bawah panas matahari yang membara enggan rasanya melihat kulit saya yang coklat kian mengelam.

Tak sampai 5 menit bajaj sudah berhenti di lokasi.  Ada satpam dan beberapa pria di halaman sementara di jendela terlihat sign board Phoenam berkelip-kelip.  Setelah bertanya pada mereka untuk sekedar meyakinkan diri, saya pun menaiki tangga tua menuju ruangan kafe.

Saya belum pernah ke kafe Phoenam, begitu saya melangkah masuk ke ruangan yang sedikit suram akibat asap rokok, langsung tersadar ternyata pengunjungnya lelaki semua dan langsung menoleh melihat kehadiran entitas yang lain dari mereka.

Hampir sepuluh menit setelah pukul 11 siang, pesan saya tidak direspond oleh orang yang sudah ada janji temu. sementara mbak Ratih yang juga akan bertemu sudah mengabarkan akan datang telat. Tiba-tiba dari arah belakang seseorang menyapa, ternyata pria yang duduk diam-diam di belakang itulah yang janjian dengan saya.

Puthut EA, pendiri situs mojok.co yang kerap menampilkan tulisan-tulisan nakal dan cerdas dari para kontributornya.  Namun yang terpenting adalah buku-buku yang dihasilkan dari perjalanan dan penelitiannya.  Bukan buku tentang travelling tentu saja.   Kegelisahan akan nasib para petani cengkeh dan tembakau menghasilkan tutur yang memukau.  Sebut saja  Kretek, Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota, lalu ada Ekspedisi Cengkeh.  Belakangan baru saya sadar beliau adalah seorang cerpenis dan novelis(?).  Berhubung saya bukan penggemar cerpen dan tidak update dengan novel-novel masa kini jadi memang tanpa sadar saya men-skip informasi bagian ini.

Oh ya, tentang Puthutnya sendiri, ternyata lebih muda dari fotonya.  Saya sangka seorang peneliti dan pengembara seperti itu pastilah berkulit legam, tapi yang duduk di hadapan saya ternyata berkulit bersih, lebih cocok dipanggil mas daripada pak. Sementara anak muda yang bersamanya adalah Adit, salah seorang punggawa dari komunitas kretek yang baru saja menyelenggarakan acara Tribute to Kretek.

25 Agustus 2015

KAMPUNG NAGA, Akankah Bertahan?

"Tahun 1998  jalan setapak ini dibuat untuk mempermudah orang luar berkunjung ke kampung Naga".


Demikian Darmawan, salah seorang Sanaga atau masyarakat Kampung Naga yang telah pindah ke luar kampung menjelaskan hal ihwal jalan setapak berupa ratusan anak tangga yang menghubungkan penduduk bagian dalam dengan masyarakat luar.  Ada sekitar 490 anak tangga, demikian menurutnya.

15 Agustus 2015

Sunyi di Kebon Jahe Kober

Perkara pergi ke kuburan tua saya memang termasuk doyan, untuk itulah niat nengok Kebon Jahe Kober dieksekusi di hari Jumat keramat ini.

Dengan ojek hanya butuh kurang lebih 15 menit dari kantor di kawasan Kuningan ke makam Kebon Jahe Kober yang letaknya di sebelah kantor Walikota Jakarta Pusat di jalan Tanah Abang 1.  Di jalan Abdul Muis kita melewati kali Krukut yang dulunya berfungsi sebagai jalur angkut jenazah

Hanya ada beberapa anak muda dengan tongsisnya sedang berfoto di teras depan makam yang sekarang bernama Museum Taman Prasasti itu.  Seorang laki-laki dengan safari warna gelap tampak duduk diam-diam nyaris tak terlihat di meja dekat pintu penghubung antara teras dengan makam.

04 Agustus 2015

Perempuan Yang Berdaya

MENGERNYITKAN kening,
Itulah yang saya lakukan saat tanpa sengaja membaca timeline seorang kawan mengenai feminisme.  Baginya feminisme itu sekedar kecerewetan perempuan yang menuntut terlalu banyak.  Ia menganalogikan jika seorang pria melakukan pekerjaan sebagai pemanjat kelapa maka perempuan juga harus bersedia jadi pemanjat kelapa.

Saya juga bukan orang yang mudeng-mudeng amat dengan teori feminisme.  Namun dari beberapa hal yang pernah saya baca, saya yakin yang menjadi tujuan bukanlah "asal sama".

Bila membaca perjuangan para perempuan, para ibu dari desa Penago dan Pasar Seluma di Bengkulu menghadapi korporasi perusahaan tambang yang berniat mengekploitasi daerah mereka yang kaya akan pasir besi kita akan sepakat bahwa gerakan feminisme menemukan bentuknya dalam tindakan perempuan-perempuan sederhana itu.

Desa Penago dan Pasar Seluma, daerah pedalaman Bengkulu dimana banyak penduduknya mempunyai lahan perkebunan kelapa sawit hasil kerjasama dengan PTPN yang tidak lagi berlanjut.  Letak desa yang berada dekat pantai membuatnya kaya akan hasil laut.  Para ibu terbiasa mencari remis yang melimpah di pinggiran pantai dan menjualnya untuk tambahan penghasilan.

Bengkulu dengan panjang pantai 52 km memiliki kandungan pasir besi berkualitas tinggi yang cocok untuk bahan baku baja.  Lapisan pasir besi yang terkandung itulah yang merupakan penyusun daratan pantai Seluma.  Dengan terdapatnya sumber daya alam yang melimpah tentu saja telah menarik minat pengusaha baja dari luar negeri untuk berinvestasi.  Mereka mendekati kepala daerah untuk mendapatkan ijin explorasi tambang.  Dan dengan alasan untuk menaikkan pendapatan asli daerah tanpa pikir panjang ijin itu diberikan tanpa mempertimbangkan efek jangka panjang bagi masyarakat sekitar.

Pengerukan pasir besi yang dilakukan di tepi pantai mengakibatkan abrasi parah dan merembesnya air laut ke wilayah pemukiman warga.

Kandungan pasir besi yang terdapat di bibir pantai selama ini mencegah intrusi air laut sehingga banyak sumur penduduk yang terdapat tak jauh dari pantai mengeluarkan air tawar yang jernih.  Wilayah yang memiliki endapan pasir besi relatif mempunyai komposisi kepadatan yang membuatnya bertahan terhadap abrasi.
Dampak lain dari pengerukan pasir besi besar-besaran adalah hilangnya keanekaragaman hayati dan rusaknya ekosistem pantai.  Kegiatan mencari remis di tepi pantai yang dilakukan oleh kaum ibu untuk menambah penghasilan tidak akan dapat dilakukan karena rusaknya pantai.  Belum lagi ancaman tenggelam karena daerah mereka praktis kehilangan pelindung yang kuat akibat penambangan.

13 Juli 2015

KASEPUHAN DAN KANOMAN, Kisah Penerus Kerajaan Sunda

Pelan-pelan saya mengelilingi kereta kuno itu, Paksi Naga Liman.

Kereta berwarna coklat gelap, tampak usang namun masih cukup gagah.  Bentuknya tampak kokoh, tidak compang-camping seperti kereta kuno lainnya.  Walaupun tidak berlapis emas seperti kereta Singa Barong dan juga relatif sederhana namun ada perbawa lain yang terpancar darinya, kontras dengan keadaan museum yang menyedihkan.

Paksi Naga Liman

26 Juni 2015

Ekspedisi Cengkeh, Merekam Tawa dan Tangis Para Petani dari Timur

Cengkeh, Pala, Kapur Barus, Lada

Terasa kurang afdol penyebutan negeri rempah, jalur rempah tanpa menoleh terhadap keempat komoditi itu.

Identitas ke-Indonesiaan tak lepas dari peranan keempatnya.  Nama wilayah diangkat dalam peta, perjanjian dagang dibuat, monopoli dilakukan, kolonialisme, sampai kisah berlumur darah pun terjadi akibat sihir rempah yang membius bangsa-bangsa dari utara agar berdatangan ke selatan.

Dan dari semua rempah,  cengkeh termasuk rempah yang paling kokoh eksistensinya sampai masa kini.  Fungsinya sebagai pengawet, penyedap dan obat tidak banyak berubah walau mungkin tidak secemerlang dulu kala dunia masih belum mengenal teknologi lemari pendingin.

Dunia selatan yang teduh berubah saat sekelompok orang-orang berhidung mancung dan bermata biru dengan keserakahannya mengenalkan nilai komersial tanaman di kebun para petani lokal.  Seiring dengan kesadaran itu ketenangan pun terkoyak, tatanan nilai berubah.

Sebuah kongsi dagang bernama VOC mulai mengambil alih perniagaan cengkeh.  Dengan wewenang penuh dari negaranya Belanda, mereka mulai membuat perjanjian dengan para penguasa. Cengkeraman pertama adalah Banten, lalu bergeser ke Ambon, Maluku.  Bahkan mereka berani mengusik para pedagang mancanegara yang selama ini bebas bertransaksi dengan penduduk setempat.

Maluku, adalah gudang cengkeh pada masa itu.

18 Juni 2015

Mengintip Masa Lalu - BARUS

Panas dan lembab menyergap kami bertiga saat menuruni tangga pesawat berbaling-baling yang baru saja mendarat mulus di bandara Frederick Lumban Tobing, Sibolga.  Bandaranya kecil saja dengan tempat pengambilan bagasi berupa jendela, di tengahnya ada besi yang terjulur untuk meluncurkan bagasi.

Ada apa dengan Sibolga? Tidak ada apa-apa.  Tapi ada sesuatu dengan kota setelahnya yaitu Barus yang membuat saya, mas Danny sebagai fotografer dan Tiknyo Bolang sebagai videografer menuju ke sana.  Keterlambatan jadwal connecting flight membuat kami harus bergegas mengingat perjalanan yang masih panjang.  


19 Mei 2015

Jakarta dari Beranda Belakang

"Idih, kita lewat mana pak?" dengan cemas saya memandang celah-celah sempit antara kapal-kapal Phinisi yang sedang sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa.  Bahkan ada kapal yang sepertinya sedang menguras sehingga air tertumpah dari saluran pipa di dindingnya.


12 Mei 2015

Wayang Orang Bharata: Tarian Sepanjang Hayat

"Tau gedung wayang orang Bharata, Mas?" tanya saya pada tukang ojek di depan stasiun Gondangdia.  Si mas tukang ojek mengangguk mantap.  "Gak jauh dari terminal bis Senen mbak, nanti kita puter balik".

Begitulah, setelah bersepakat tentang tarif, mas ojek segera memacu kendaraannya.  Tak terlalu jauh memang jarak stasiun Gondangdia dengan gedung wayang.  Sekitar 10 menit sudah terlihat gedung wayang bercat krem dengan tambahan ukir-ukiran coklat kehitaman.


Itulah gedung WO Bharata.  Gedung khusus tempat manggung grup wayang legendaris yang dibentuk tahun 1972 itu.  Dalam kurun waktu sepanjang itu grup wayang ini sudah kenyang jatun bangun.  Pemimpin grup ini pak Marsam Mulyoatmojo saat diwawancarai Metro TV beberapa waktu lalu bahkan menceritakan pentas mereka yang hanya dihadiri 2 orang itu pun tertidur.

Waktu masih menunjukan jam 17.30, masih cukup awal karena pertunjukan mulai jam 20.00 dengan catatan kalau tidak ngaret, karena katanya tak jarang penonton fanatik grup wayang orang Bharata ini minta agar jam pertunjukan bisa diundur sebentar menunggu kedatangan mereka...jadi fleksible kesimpulannya :)

09 Mei 2015

Piknik Pemalas: Belitung

Bang Memed, supir travel yang mengantarkan kami hanya tertawa kecil saat saya mulai kepo membanding-bandingkan harga BBM di sini dan di Jawa.  Kami sedang berada di depan warung Hoklopan alias martabak manis, menunggu pesanan.

"Mbak, di musim angin barat harga BBM bisa melonjak jadi Rp 25.000-30.000/liter, bukan cuma seribu, dua ribu dan itu tidak hanya sekali tapi tiap tahun sudah kami akrabi.  Coba kalian di Jakarta sana, naik sedikit sudah teriak".  Ada sindiran tajam dalam gurauan bang Memed.

Ya, saya memang berada di Belitung.  Tidak ada hubungannya dengan misi-misi budaya dan kultural bersama Gelar tapi murni liburan santai.  Biarpun santai tapi saya berusaha mencatat apapun yang saya temui di pulau ini

Belitung bukan sekedar negeri Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata yang mendadak jadi terkenal di tahun 2008.  Ada sejarah panjang yang menyertai tanah yang dulunya bernama Kau Lan.  Beberapa sumber menyebutkan catatan perjalanan para tentara Mongol di jaman Khubilai Khan untuk menaklukkan Singasari.  Pulau asing yang menjadi tempat persinggahan para prajurit itu akhirnya dinamakan Kau Lan.  Mereka meninggalkan anggotanya yang sakit untuk kemudian beranak pinak.

Dalam perjalanan waktu Belitung bersama saudaranya Bangka lebih dikenal dengan hasil timahnya. Tercatat John Francois Loudon, orang Belanda yang merintis pertambangan timah di Belitung tahun 1851.  Timah pertama ditambang di daerah sungai Siburik dan Air Lesung Batang.

Adalah PT Timah yang pada masa kolonial bernama Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Billiton (GMB) lalu di tahun 1950 an menjadi PN Tambang Timah Belitung sebelum akhirnya dilebur dengan perusahaan timah di daerah Bangka dan Singkep.  PT Timah inilah sepertinya perusahaan satu-satunya yang mempunyai konsesi penambangan timah di Belitung.


Bagian belakang resto yang dulunya lubang tambang

17 April 2015

Film TJOKRO: Kala Teks Menjadi Film

Saat teks sejarah menjadi lakon, apa yang terjadi?

Bukan pekerjaan main-main memang saat memindahkan hidup seorang tokoh sejarah, apalagi sekelas Tjokroaminoto dari tulisan ke panggung bioskop.  Dalam lembar-lembar buku riwayat Tjokro dengan pergerakan Sarekat Islam-nya sanggup membius para penikmat sejarah. Dan saya adalah salah satu penikmat itu.

Saat tokoh Tjokro dihidupkan, mau tidak mau para pembaca harus menyiapkan diri menerima apa pun hasil interpretasi sutradara. 

Dan hasilnya dapat dilihat mulai tanggal 9 April lalu di bioskop.  Garin Nugroho sang sutradara yang sebelumnya pernah memfilmkan Kardinal Soegijapranata akhirnya tinggal menunggu tanggapan dari masyarakat tentang hasil pembacaannya atas Tjokro.  

Sejak melihat trailernya saya berharap-harap cemas akan film ini.  Saya menduga Garin akan menggarap Tjokro tak beda jauh dengan gayanya dalam Soegija.

Dua jam 40 menit.  

06 April 2015

Sekali Lagi Banten: Dari Kacamata Filologi

Laki-laki bertubuh kurus dengan kulit gelap, cambang dan brewok menghiasi wajahnya ditambah dengan rambut agak gondrong telah menunggu saya dan rombongan di halaman museum kepurbakalaan Banten lama.  Museum ini tutup karena tanggal merah, namun sebelumnya saya sudah berkoordinasi dengan pengurus museum agar menemui pak Mulangkara, juru pelihara keraton Kaibon yang selanjutnya akan mendampingi kami ke situs-situs purbakala Banten.

Pak Yadi, demikian saya menebak orang yang direkomendasikan oleh Bantenologi Laboratorium. Setelah dekat tak sengaja saya melirik kakinya yang hanya memakai sendal lusuh.  Orang ini ahli filologi, seorang filolog demikian saya mengingat pesan dari pak Ayatullah dari Bantenologi, berusaha menghapus keraguan sesaat.

Di bawah pohon Bidara

Tergesa-gesa saya dan mbak Ratih memperkenalkan rombongan, ada yang dari Jakarta Post, Pendidikan dan Kebudayaan dan radio.

Tanpa membuang waktu pak Yadi segera membahas Banten sebagai pusat perdagangan lada di abad silam sambil menuju bekas istana Surosowan dengan menembus lapak-lapak jualan yang berderet rapat sepanjang jalan antara museum sampai masjid.

26 Maret 2015

Sikap para Sikep

"Baru kali ini punya anak buah wong Samin" begitu kata atasan saya saat kami sedang membicarakan salah satu anak buahnya yang memang rada-rada.

Saya hanya nyengir, kata-kata "wong Samin" itu memang berkonotasi orang yang sifatnya ndablek, kenthir pokoknya yang ngeselin sekaligus menggelikan.  Misalnya kata atasan saya lagi, orang Samin itu kalau diminta manasin motor, ya motornya dijemur di bawah matahari.

Kayak begitu? entah kalau lelucon soal manasin motor jadinya menjemur sih tidak tahu.

Yang saya tahu sikap masyarakat Samin dilandasi oleh alasan yang sama sekali tidak sederhana. Menurut KH. Mustofa Bisri dalam pengantar di buku SAMIN, MISTISME PETANI DI TENGAH PERGOLAKAN, Orang Samin melakukan perlawanan dengan cara yang unik, tidak dengan kekerasan tapi membangkang.  Ibarat permainan teka teki yang kadang menjungkirbalikkan logika.

Gerakan Samin lahir di tengah kesengsaraan akibat cengkeraman pemerintah kolonial, masyarakat melihat dan merasakan tatanan hidup yang semakin jungkir balik.

Kekuasaan bukanlah milik para raja Jawa tapi diambil alih oleh orang bule.  Perlawanan bersenjata yang bersifat sporadis ternyata tidak mampu mengalahkan penjajah.  Perang Diponegoro yang panjang telah menguras habis energi rakyat Jawa dan tetap berakhir dengan kekalahan sang pangeran yang dianggap sebagai Eru Cokro.

Di sisi lain pemerintah kolonial menerapkan pajak-pajak baru yang kian memberatkan, kepemilikan tanah yang bukan lagi komunal melainkan dihitung sebagai milik individu sebagai obyek pajak dan apabila penduduk tidak bisa menunjukkan bukti

08 Maret 2015

Cap Go Meh: Bogor

Bogor merupakan kota dataran tinggi yang juga kental dengan akulturasi budaya Sunda-Tionghoa.  Imlek yang menjadi perayaan etnis Tionghoa ditutup dengan pawai Cap Go Meh yang meriah.

Sudah beberapa hari sebelumnya di media sosial sudah ada woro-woro untuk  menyaksikan kemeriahan Cap Go Meh tanggal 5 Maret yang berpusat di jalan Suryakencana dan dimulai dari vihara Dhanagun. Kabar lain yang beredar adalah perayaan Cap Go Meh ini akan dihadiri oleh Presiden.

07 Maret 2015

Tak Kenal Tunduk: Liber Amicorum Jusuf Ishak

Perlawanan itu tak pernah berhenti walau hampir seluruh pihak tiarap.

Melawan tidak selalu harus berwajah garang, kadang dengan senyum kegigihan itu makin tertancap.

Begitulah kiranya yang dilakukan oleh Jusuf Ishak.  Lelaki tua berkaca mata tebal yang ternyata adalah "dalang" utama terbitnya buku-buku milik Pramoedya Ananta Tour.

Mungkin hari ini tidak istimewa karena sekarang kita melihat buku-buku Pram berjejer di rak-rak toko buku.  Namun jika waktu bisa diputar ke 30 tahun yang lalu tidak bisa tidak kita harus meletakkan hormat setinggi-tingginya kepada orang ini.

Sebagai tokoh utama dunia pers jaman Soekarno, Jusuf Ishak sudah kenyang akan pahit manisnya politik.  Demikian pula saat bandul politik bergulir ke kanan.  Jusuf yang dianggap Soekarnois ditangkap dan dipenjarakan 12 tahun di penjara Salemba.


Keluar dari penjara, bukannya kapok Jusuf malah membantu Pramoedya menerbitkan naskah-naskah yang ditulisnya di Pulau Buru bersama Hasjim Rahman sahabatnya.  Cap ex tapol di KTPnya tidak menyurutkan langkah Jusuf untuk berbuat.  Pram

26 Februari 2015

IMLEK DI BOGOR - Merayakan Keberagaman

Imlek tanggal 19 Februari kemarin memang ditemani oleh hujan sepanjang hari.

Namun cuaca mendung dan suram itu tidak menyurutkan semangat warga yang terus berdatangan ke klenteng-klenteng untuk memanjatkan doa.

Klenteng Jin De Juan di kawasan Petak sembilan misalnya dipenuhi oleh warga Tionghoa dan juga pengemis di luarnya.

Saya memilih Bogor untuk menyaksikan kemeriahan Imlek, tepatnya di vihara Dhanagun atau klenteng Hok Tek Bio di kawasan Suryakencana.  Gara-gara iseng mengikuti GPS, padahal tidak perlu juga, kita malah nyasar ke kawasan Ciampea,,,di tengah pasar Ciampea memang ada klenteng bernama Ho Tek Bio...hahhaha..Sial!!

  Tapi akhirnya sampai juga di tempat tujuan.walau sudah siang sekali. Namun masih banyak warga yang datang bersembahyang.


09 Februari 2015

Mengenang Pangeran Pemberontak

2 jam perjalanan Sawangan-Medan Merdeka Timur demi sesi pameran selama 15 menit? Beneran?..Bener banget.

Semua gara-gara saya melihat publikasi pameran "Aku Diponegoro" di Galeri Nasional. Galeri Nasional itu terletak di jalan Medan Merdeka Timur, bedakan dengan Museum Nasional. Tempat ini letaknya tepat di seberang stasiun Gambir; cukup gampang dicapai, patokan juga sangat jelas.


27 Januari 2015

Sekali Lagi KPK

Dengan santai saya berjalan kaki dari kantor menuju gedung KPK.  Untung sore ini udara cerah setelah tadi seharian diguyur hujan.

Setelah tadi pagi tersiar kabar penangkapan wakil ketua KPK Bambang Widjoyanto oleh Bareskrim, saya berniat, mumpung kantor berdekatan untuk mampir di gedung KPK.

Bukan, saya tidak ingin sok-sok ikutan demo bareng aktivis untuk #SaveKPK tapi sekedar mendokumentasikan kejadian ini. Jangan kuatir, tidak ada selfie muka saya dalam foto-foto :).  Tentu saja saya bersimpati tapi kalo ikut-ikutan demo untuk sekedar gaya-gayaan sih, Nehi ya..


Ini bukan saya
Saya kurang menyukai Abraham Samad karena terlalu sering tampil memenuhi undangan talk show di TV Swasta.  Mengingat kasus yang bertumpuk rasanya kurang elok kalau beliau sibuk dengan acara-acara di luar tugas utamanya.  Harusnya sih Bambang Widjayanto yang menjadi ketua KPK ya.

11 Januari 2015

BPJS dan Belajar Sabar

Buat apa punya kartu BPJS kalau tidak pernah dipakai.  Begitulah pikiran yang terlintas saat ibu disarankan untuk melakukan MRI terkait dengan diagnosa low back pain.  Biaya MRI yang cukup mahal, sekitar 3 juta rupiah menjadi alasan untuk itu.

Seperti biasa lebih dulu googling pengalaman orang-orang yang pernah menggunakan kartu BPJS.  Kalau dibaca sih, kayaknya melelahkan deh, tapi..kita kan gak tahu sebelum mencoba.

Dimulai dari minta rujukan ke puskesmas.  Puskesmas Beji yang letaknya ternyata cukup terpencil dalam artian jauh dari jalan utama, jadi angkot tidak sampai ke sana.  Setelah berhenti beberapa kali untuk tanya-tanya akhirnya ketemu juga puskesmas itu.

Cukup bersih, dan banyak juga yang antri.  Tapi kalo di puskesmas dibiasakan buka sendal ya, kayak bertamu..hahaha..Seperti biasa bingung dan tanya-tanya lagi lalu ambil nomer dan menyerahkan kartu BPJS menunggu panggilan.  Pengunjung puskesmas kebanyakan para lansia.  Malah bertemu tetangga ibu yang umurnya jauh lebih sepuh dan kalau jalan sudah bungkuk.  Tapi beliau sendirian naik ojek dari rumah ke puskesmas.  Ketika ditanya kemana anak-anaknya, dijawab masih pada tidur..ck..ck...bangunin  aja atuh bu.