23 Oktober 2014

MADURA : Kecantikan dari Tanah Gersang

Saya melirik jam tangan, masih jam 5 kurang 10 menit namun langit Surabaya sudah terang layaknya pukul 6 pagi.


Supir taxi yang tadi menemani ngobrol sudah pamit untuk mencari penumpang.  Tinggallah saya di minimarket komplek Pasar Turi menunggu travel ke Pamekasan.  Rasanya perut agak mulas, tapi toilet berada di dalam stasiun yang masih tutup, harus cari toilet umum ini.  Usut punya usut, petugas minimarket menyarankan untuk ke toilet umum di luar komplek stasiun, tak jauh memang.  Ke sanalah saya menuju.  Letaknya dalam perkampungan penduduk; rupanya pengelolanya sadar bahwa banyak penumpang kereta yang datang kepagian kayak saya yang butuh toilet.  Saat saya sampai di sana, beberapa ayam sedang berlompatan di depan toilet.  Masih mending cuma ayam, lah yang di Ujung Kulon waktu itu malah babi yang mondar-mandir depan toilet :)


Setelah selesai, saya kembali duduk di teras minimarket.  Udara Surabaya yang kian memanas membuat saya bergegas masuk ruang keberangkatan yang sudah dibuka, lebih baik menunggu di sana yang ada acnya.

Mobil travel pun datang terlambat 2 jam lebih dari kesepakatan, ah tak apalah toh mereka sudah meminta maaf, saya tak ingin mengganggu perjalanan ini dengan rasa dongkol yang tak perlu.  Saya masuk dan segera bersandar dengan nyaman.

Lewat Suramadu kemudian Bangkalan, pikiran masih sadar saat melewati sejumlah resto bebek yang beberapa diantaranya sudah sangat dikenal.  Namun kesadaran itu tak lama.  Bangkalan belum lagi terlewati saya pun terlelap sampai pintu masuk Pamekasan.

12 Oktober 2014

Auwjong Peng Koen-Hidup Sederhana Berpikir Mulia

Apa yang menarik dari orang Cina, golongan minoritas di Indonesia?  karena yang sedikit ini kadang melakukan sesuatu melebihi mayoritas.  Golongan minoritas identik dengan stigma negatif dan diskriminasi.  Butuh keberanian luar biasa untuk membubarkan prasangka yang telanjur tertanam selama berabad-abad.

Beberapa memang menonjol dan tercatat dengan tinta emas di lembar-lembar ingatan rakyat Indonesia.  Yap Thiam Hien dan Soe Hok Gie termasuk dua di antaranya.  Tentu masih banyak lagi nama dari berbagai bidang yang membuat kita harus angkat topi, kagum dengan kekonsistenan mereka yang seakan tanpa batas.

Adalah Auw Jong Peng Koen, adalah juga satu dari yang jarang itu.  Pria Cina, Kristiani kelahiran Padang itu kerap disebut dengan penuh hormat oleh Mohammad Roem, mantan wakil perdana menteri pada masa kabinet Ali Sastro Amidjojo.

Suatu hari Mohammad Roem yang sedang meringkuk di penjara Madiun bersama Anak Agung Gde Agung, Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, Sultan Hamid dan Soebadio Sastrosatomo menerima sepucuk surat dari orang yang baru ia kenal.  Orang itu itu adalah pemimpin harian Star Weekly, Auwjong Peng Koen.

Dalam surat itu, Auwjong menyisipkan daftar buku-buku terbitan para penerbit kelas dunia yang dapat dipilih oleh para narapidana politik itu sesuka mereka.  Bagi tahanan politik sekelas Roem dan kawan-kawan buku adalah makanan rohani.  Maka tawaran Auwjong benar-benar anugerah tak disangka.  Segera setelah judul-judul buku dipilih, Auwjong segera mengirimkan sesuai daftar.  Sejak saat itu terjalin persahabatan hangat antara Mohammad Roem dan Auwjong Peng Koen.

Mohtar Lubis pun dalam tulisannya untuk mengenang Auwjong menyebutkan selama dalam tahanan selain mengirim buku-buku Auwjong juga tak segan-segan memperhatikan keluarga para tahanan.  Pun, saat korannya Indonesia Raya dibredel, Auwjong menanyakan bantuan apa yang diperlukan dan berusaha menampung para karyawan koran itu dalam Star Weekly.