01 Juni 2010

Refleksi tentang Iran

Week end lalu saya sempat menambah beberapa buku. Satu mengenai Iran dan budayanya, satu lagi tentang sosiologi Islam dan yang lain buku tentang ahmadinejad. 2 buku terakhir belum habis dibaca, karena kelelahan pulang kantor ditambah harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena sudah menyerah menghadapi pembantu yang bertingkah aneh aneh plus harus mengerjakan PR tulisan yang terbengkalai dan dikejar deadline.

Agak unik secara tidak sengaja semuanya menyinggung tentang Islam, saya baru sadar saat mengeluarkan ketiganya ditambah dengan maraknya berita serangan tentara Israel atas kapal Mavi Marmara yang mengangkut para relawan dari berbagai negara menuju Gaza di perairan Internasional.

Kompas sebelumnya juga mengeluarkan laporan tentang Iran, suatu kebetulan yang aneh. Sehari sebelumnya saya sedang mencari buku yang ditulis oleh jurnalis Trias Kuncahyono tentang Jalur Gaza.

Nampaknya minat saya terhadap apa yang terjadi di Timur Tengah plus konflik Israel Palestina mulai mendaki titik kulminasi. Mungkin dari apa yang disajikan di berbagai tulisan media, konflik yang terjadi antara Israel - Palestina bukanlah pertentangan antara Islam, Kristen dan Yahudi namun merupakan konflik kemanusiaan. Di Palestina sendiri warganya juga banyak yang beragama Kristen dan Yahudi terjebak dalam blokade Israel.

Dalam pemerintahan, Israel dikuasai oleh garis keras dengan paham zionis-nya bahkan Amerika yang katanya negara adi kuasa patut diragukan powernya. Dominasi yang terjadi adalah Dominasi Zionis dan bukan lagi murni Amerika. Bukan rahasia lagi bila senat Amerika dikuasai oleh mayoritas warga Amerika keturunan Yahudi.

Bahkan ada desas desus jika kematian presiden Amerika John F Kennedy didalangi oleh Yahudi mengingat sikap kerasnya terhadap konflik Israel Palestina.

Baru baru ini saya membaca buku tentang Ahmadinejad yang ditulis oleh Kasra Naji, wartawan BBC. Sayang buku yang saya harapkan memberikan wawasan tentang sikap keras presiden Iran sangat mengecewakan karena tampak jelas keberpihakan Kasra Naji terhadap pihak eropa dan amerika. Ia menempatkan Iran sebagai negara yang patut diwaspadai karena berani melawan dominasi barat dan sang presiden yang digambarkan buta politik dengan keyakinan yang aneh tentang Imam Mahdi sebagai penganut Syiah. Surat-surat yang dikirimkan kepada Bush dan Kanselir Jerman, Angela Merkel diolok olok sebagai lelucon dari orang yang dianggap memiliki wawasan sempit tentang situasi luar negeri.

Sungguh berbeda dengan apa yang sering dilaporkan media, Iran digambarkan sebagai negara yang sangat independen dalam menghadapi embargo ekonomi AS, bahkan dalam bidang akademis Iran menduduki peringkat tinggi dalam sains. Walau seperti pemerintahan lain di dunia, Iran juga rawan korupsi yang dilakukan oleh para Mullah.

Walau demikian buku ini memberikan sudut pandang yang lebih jelas tentang carut marut peta perpolitikan negeri para Mullah itu. Dimana masyarakat Iran sangat tunduk kepada pemimpin spiritual mereka, Ayatollah Khomeini dan yang sekarang digantikan oleh Ali Khamenei.

Dukungan sang Ayatollah terhadap siapa pun pemimpin Iran merupakan kunci untuk menduduki jabatan kepresidenan.

Lagi lagi sejarah membuktikan bahwa manusia yang dianggap suci seperti Ayatollah pun bisa melakukan ketidakkonsistenan. Saya teringat dengan skandal Iran kontra di tahun 1980 yang melibatkan presiden AS saat itu, Ronald Reagan.

Reagan sedang berkampanye untuk meraih jabatan presiden melawan Jimmy Carter. Sedangkan Iran sedang bertempur melawan Irak sesama muslim. Pada saat yang bersamaan terjadi penyanderaan terhadap warga AS di Teheran. Yang terjadi adalah pertukaran; AS memberikan senjata buatan Israel untuk melawan Irak ditukar dengan pembebasan seluruh sandera.

Skandal ini terbongkar dan memalukan kedua belah pihak. Hubungan Iran dan AS tidak pernah membaik. AS melarang Iran meneruskan pembangunan industri nuklir yang mulanya justru disponsori oleh AS sendiri saat pemerintahan Shah Reza.


Mungkin kita tidak perlu mencontoh mentah mentah sikap Iran terhadap AS, tapi kita perlu melihat keberanian dan harga diri Ahmadinejad dalam menghadapi dominasi Amerika.

Bagaimanapun keberanian Indonesia mengambil sikap abstain saat voting penerapan sanksi ekonomi atas Iran di rapat Dewan Keamanan PBB tahun 2008 patut dihargai. Indonesia adalah satu satunya yang berani mengambil sikap abstain saat itu saat semua negara dalam sidang Dewan Keamanan menyetujui sanksi tersebut.