26 Januari 2010

MOOEI SOS

Suatu hari di tahun 1917, seorang pemuda berwajah rupawan khas pribumi bergegas memasuki kantor harian The New York Tribune di Wina, di Austria.

Orang muda tersebut ingin mengikuti tes untuk menjadi wartawan perang untuk meliput Perang Dunia 1. Para peserta ujian wajib membaca 1 kolom berita dalam bahasa perancis lalu diperas menjadi 1 paragraf berita yang singkat padat dalam 4 versi bahasa : Spanyol, Inggris, Rusia dan Perancis.

Ternyata ia berhasil menyingkat menjadi 27 kata,sementara peserta lainnya menyingkat menjadi 30 kata.

Pemuda itu adalah mahasiswa Universitas Leiden kelahiran Mayong, Jawa Timur bernama RM Kartono yang kemudian dikenal dengan Sosrokartono kakak kandung RA Kartini.

Setelah resmi menjadi wartawan perang koran tersebut Sosrokartono melanglang meliput negara negara yang berkonflik. Puncaknya ketika pada tahun 1918 Sosrokartono berhasil lulus sebagai penterjemah tunggal untuk perundingan perdamaian antara Jerman yang kalah dan Perancis sang pemenang karena memenuhi kualifikasi sebagai ahli bahasa dan kebudayaan serta bukan orang eropa.

Sosrokartono menguasai 26 bahasa asing secara aktif (17 bahasa timur asing, 9 bahasa barat).

Saat media lain sibuk mereka reka tentang perjanjian rahasia tersebut, ternyata The New York Tribune telah mengeluarkan berita lengkap tentang pertemuan tersebut. Adapun nama penulisnya disandikan dengan tiga bintang. Kode itu telah dikenal di kalangan para wartawan perang sebagai kode dari Sosrokartono.

Sosrokartono yang dikalangan gadis gadis eropa dikenal dengan Mooei Sos (Sos yang tampan)juga pernah menjabat sebagai kepala penterjemah di Liga Bangsa Bangsa yang kelak dikenal sebagai United Nation atau PBB di Genewa.

Dengan gaji US 1.250 menurut Hatta, ia bisa hidup sebagai milyuner di Eropa pada saat itu belum lagi pergaulannya dengan para elit birokrat asing karena tugas tugasnya.

Pemuda bumiputera ini mengalahkan para ahli bahasa dari amerika eropa untuk jabatan prestisius itu. Ia juga pernah menjadi atase kebudayaan perancis di Austria.

Suatu kali Sosrokartono terheran heran setelah seorang anak kenalannya sembuh dari penyakit berat dengan hanya disentuh bagian dahinya saja.

Oleh seorang ahli Psychiatry dan hipnose diterangkan bahwa ia mempunyaI kemampuan magnetis yang besar.

Tertarik oleh cakrawala baru, Sosrokartono berhenti dari pekerjaannya dan pergi ke perancis untuk belajar psychometric di sebuah universitas. Namun karena ia lulusan bahasa dan sastra maka niatnya tidak dapat terlaksana.

Akhirnya ia kembali ke Indonesia dan menetap di Bandung, KH Dewantara dengan gembira menawarkan jabatan kepala sekolah di Taman Siswa Bandung. Ia mendirikan panti sastra di Tegal, perpustakaan Darussalam di Bandung dan ikut serta dalam pergerakan nasional serta ia telah meramalkan bahwa Bung Karno akan menjadi pemimpin bangsa Indonesia kelak. Ia juga memperdalam kemampuan penyembuhnya dengan menjalani puasa sepanjang sisa hidupnya sebagai tanda ikut berprihatin akan kesusahan penduduk saat itu.

Sang genius yang spiritualistik itu terkenal sebagai dokter alif dengan hanya menggunakan air putih sebagai media penyembuhan.

Sampai kini ajaran ajaran spiritualnya tetap dijalankan para pengikut Sosrokartono.

Walaupun dianugrahi wajah rupawan, rupanya Sosrokartono lebih memilih membujang selama hidupnya.

Sang Mooei Sos adalah pribadi kosmopolitan bahkan megapolitan yang terbentuk karena anugrah kecerdasan dan kemauan keras yang jarang ada duanya. Ia menjadi manusia kosmopolit bukan karena sekadar pintar bergaul atau dansa dansi seperti Dewi Soekarno misalnya. Tapi ia memang mempunya kualitas yang sulit untuk dibantah.

Sekali lagi Tuhan memang sedang tersenyum saat menciptakan seorang Sosrokartono, saking girangnya mungkin ia terlupa untuk menciptakan jodoh buat Sos.

25 Januari 2010

Jurnalis yang learning by doing

Apa metode perjuangan rakyat Hindia yang paling tajam sehingga melahirkan bangsa baru yang bebas merdeka bernama Indonesia?

Tentu bukan lagi perjuangan bersenjata yang dilakukan terpisah pisah sebelum abad 20. Menjelang abad 20 para pemuda memilih pena sebagai tempat mencurahkan pikiran dan ide ide tentang kebangsaan.

Tentu mereka bukan wartawan, tidak ada satupun diantara para pemula itu yang berlatar belakang ilmu jurnalistik. Mereka adalah para pelajar kebanyakan yang sedang menempuh pendidikan di STOVIA untuk menjadi dokter Jawa atau bahkan lebih rendah dari itu.

Mereka berbekal semangat menulis untuk memprotes, memberikan ide, mencerahkan dan berdebat dengan pemerintah Hindia Belanda bahkan sesama mereka.

Seorang Djokomono atau yang lebih dikenal dengan Tirto Adhi Suryo bahkan harus merelakan sekolahnya berantakan karena lebih bersemangat menulis di koran.

Tirto mengawali karier jurnalistiknya dengan learning by doing.

Demikian pula dengan Wahidin Soedirohusodo, Douwes Dekker, Tjipto dan banyak anggota pergerakan lainnya. Situasi politik yang membuat mereka menjadi jurnalis secara alami.

Lalu bagaimana mutu tulisan mereka? Yang pasti karena tulisan mereka pemerintah Hindia Belanda nyaris muntah darah. Hukum buang berkali kali dilaksanakan tapi tidak menyurutkan langkah para pemuda tersebut. Bahkan daerah pembuangan dimanfaatkan untuk menggalang kerjasama dan bertukar informasi.

Berangkat dari kemampuan menulis yang learning by doing itulah, seorang Tirto menjadi redaktur Pembrita Betawi sebelum akhirnya berkibar dengan Medan Prijaji pada 1907.

Douwes Dekker seorang Indo Belanda yang sempat menjadi tentara dalam perang Boer sebelum kembali ke Hindia dan menjadi koresponden De Locomotief. Melalui pena tajamnya ia mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk merubah kebijakan politik etis yang menurutnya cuma topeng agar Belanda tidak kehilangan wilayah jajahannya.

Orang Indo yang merasa lebih pribumi dari pribumi sendiri ini akhirnya menerbitkan De Express pada tahun 1912 bersama sama dengan 2 orang karibnya dalam Indische Partij, musuh bebuyutan pemerintah.

Seorang Kartini pun hanya berbekal pendidikan sekolah dasar resminya dan secara mandiri belajar melalui buku buku bacaan dibalik tembok pingitan. Ia seorang jurnalis alam dengan bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Belum lagi jika kita berbicara tentang Roehana Koeddoes, pemimpin redaksi Soenting Melajoe yang terbit tahun 1912 di Minangkabau. Ia bahkan belajar membaca dan menulis tidak melalui sekolah formal.

Jika dicermati tidak ada satupun dari mereka dan juga lainnya yang berlatar belakang wartawan. Mungkin kalau sekarang itulah yang disebut Citizen Journalism, mereka mengamati, membaca, bertukar pikiran lalu menuangkan apa yang mereka pikir ke dalam surat kabar. Tentu modal mereka yang penting adalah banyak membaca dan banyak menulis.

Pada saat itu surat kabar butuh sekali tulisan, mengingat tingkat melek huruf yang sangat rendah tidak heran jika siswa siswa sekolah menengah mengambil peranan sebagai koresponden.

Namun apa yang dapat dipetik dari keadaan masa itu? jangan menganggap rendah seorang otodidak. Para jurnalis otodidak pada masa itu dapat mengerakkan semangat kebangsaan suatu negeri untuk meraih kemerdekaannya.

Dengan keluasan wawasan, keberanian dan semangat mereka mengawali karir mereka dalam tulis menulis. Tanpa adanya persatuan wartawan mereka tetap saling mendukung satu sama lain.

Di jaman yang lebih maju kita mengenal Rosihan Anwar, sang Begawan Pers Indonesia dengan latar belakangnya yang lulusan School of Journalism ia memang bercita cita dari wartawan, satu dari sedikit orang Indonesia yang berpendidikan formal sebagai wartawan.

Lalu PK Ojong pendiri Kompas dan Intisari yang berlatar belakang sekolah guru, lagi lagi pengalaman jurnalistiknya bermula setelah langsung menjadi wartawan Keng Po.

Seharusnya para wartawan sekarang dapat belajar dari semangat mereka. Organisasi kewartawanan masa kini lebih banyak saling bentrok antar sesama daripada bekerja sama meningkatkan kualitas wartawan.

Yah, jaman telah berubah. Orientasi juga bergeser, wartawan menjadi karyawan gajian koran; kini pemilik modal memegang peranan sentral dalam pemberitaan. Tulisan dapat menjadi jinak atau galak tergantung orientasi politik dan ekonomi suatu koran dimana seorang wartawan bekerja sebagai karyawan.

19 Januari 2010

Etika dalam Machiavelli

"Jika seseorang ingin berkuasa, maka calon penguasa baru itu harus menentukan lebih dulu berat beban yang akan ditimpakan kepada rakyatnya. Timpakan hanya sekali saja tidak boleh berulang ulang, maka ia akan memenangkan hati rakyat."

"Seorang penguasa haruslah ditakuti dan dicintai. Namun sangat sulit untuk mencapai keduanya, maka sebaiknya seorang penguasa memilih untuk ditakuti."

Demikian kutipan kutipan dalam buku "Il Principe" atau Sang Penguasa yang ditulis oleh Nicolo Machiavelli yang hidup pada abad 16.

Machiavelli dibesarkan dalam keluarga ahli hukum kaya raya di Florence Italy. Saat itu Eropa sudah mengalami masa Renaissance. Ilmu pengetahuan yang cenderung sekuler mulai memegang peranan, sedangkan Gereja berusaha keras mempertahankan otoritas absolutnya tidak saja dibidang agama namun juga politik. Pada masa lalu legitimasi religius yang dipegang oleh Gereja telah melampaui moral yang bahkan seharusnya dipatuhi oleh kalangan Gereja sendiri.

Sebagai pemegang legitimasi ketuhanan, masyarakat tidak dapat menuntut pertanggung jawaban atas kelakuan para pemuka agama terutama Paus pada masa itu yang dirasa menyimpang dari hukum keimanan.

Pergaulannya dengan Cesar Borgia, anak hasil hubungan gelap Paus Alexander VI membuatnya bercita cita membangun negara Italia sebagai bentuk renaissance dari kerajaan Romawi.

Cesar Borgia pandai memanfaatkan kekuasaan ayahnya sebagai seorang Paus. Berdua mereka memanfaatkan uang negara Kepausan dan umat melakukan serangkaian pembunuhan demi cita cita membentuk kekaisaran baru.

Sayang Paus Alexander VI keburu wafat dan digantikan oleh Paus Julius II yang segera menendang Cesar Borgia dari mimpinya. Cesar Borgia meninggal setelah bertempur melawan pasukan Paus Julius II.

Machiavelli yang menyaksikan tragedi ini mulai kehilangan respek pada lembaga Kepausan. Berangkat dari pengalaman inilah ia menuliskan "Il Principe"

Il Principe segera menjadi karya besar yang dibaca mulai dari mahasiswa sampai penguasa. Nasihat nasihatnya dalam buku itu agar memisahkan kekuasaan dari etika dan moralitas ditentang tapi juga dipraktekkan diam diam. Paus Clements melarang peredaran buku tersebut.

Kita bisa menyebut setiap diktator dan despot pasti menganut paham Il Principe. Namun menurut hemat saya ada pasal yang selalu dilupakan oleh para pelaku Il Principe yang justru membawa pesan moral tersendiri.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa Penguasa dilarang keras merampok harta rakyatnya karena akan menimbulkan kebencian. Setiap penguasa harus bersahabat dengan rakyat karena rakyat tidak mempunyai keinginan muluk kecuali bebas dari penindasan.

Kebencian rakyat akan menjatuhkan penguasa.

Il Principe memang bermaksud memisahkan kekuasaan dengan etika dan moralitas tapi bagi saya pribadi Il Principe masih memiliki moral. Banyak penguasa dan elit politik yang berbuih buih membicarakan moralitas dan menolak disebut sebagai penganut paham Machiavelli namun tindakannya jauh dari moral yang diusungnya.

Para pemegang otoritas baik politik maupun keagamaan tidak terlepas dari paham Machiavelli disadari maupun tidak. Persoalannya hanya bagaimana orang menyembunyikan motif untuk berkuasa. Bagaimana seorang calon Presiden berbaik baik dengan masyarakat dengan motif agar terpilih sedikit banyak sudah menunjukkan ciri seorang Machiavelli. Tinggal bagaimana ia menjalankan seluruh nasihat itu atau hanya mengambil sepotong sepotong karena ketamakannya.

Bagaimanapun juga pada jaman sekarang tidak ada kekuasaan yang absolut hampir semua jabatan ada masa berlaku yang dikukuhkan dengan Undang Undang, sehingga pesan moral Machiavelli untuk tetap berbaik baik dengan rakyat selama berkuasa cenderung untuk dilupakan.

Bagaimanapun sesuai dengan ungkapan "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" rasanya Machiavelli hanya berusaha agar kekuasaan absolut yang dipunyai oleh penguasa dapat diimbangi oleh kesediaan para pemegang otoritas untuk bersahabat dengan rakyat apapun motifnya.

04 Januari 2010

Tradisi Ksatria Indonesia kuno

Setelah membaca novel bersetting sejarah Sunda pada masa Padjajaran mengenai Puragabaya, yang ternyata setelah dicari datanya selalu berhubungan dengan kependekaran.

Dalam novel itu sendiri Puragabaya berarti ksatria pilihan pengawal kerajaan yang berasal dari putra kaum bangsawan.

Bisa dibilang Kerajaan Sunda yang diwakili oleh Padjajaran pada masa itu mempunyai tradisi pengawal elit yang pada jaman Indonesia merdeka di lingkup lebih luas mungkin bisa dianalogikan dengan RPKAD pada jaman Bung Karno atau mungkin sekarang Kopasus.

Yang menarik dalam novel tersebut dikatakan bahwa seorang yang terpilih menjadi Puragabaya harus melepaskan minatnya dalam bidang ketatanegaraan, dengan kata lain seorang Puragabaya dilarang keras mencampuri urusan pemerintahan. Urusannya hanya menjadi pengawal pilihan sekaligus seorang mumpuni dalam agama.

Tentu saja berhubung minimnya sejarah Padjajaran kita tidak dapat memastikan apakah memang seperti itu prinsip prinsip seorang Puragabaya.

Lain lagi dengan Majapahit. Dalam kitab Decavernana atau yang lebih populer dengan Negarakertagama banyak disebut nama Bhayangkara sebagai kelompok pengawal berkemampuan khusus. Namun sekarang Bhayangkara identik dengan polisi.

Tradisi angkatan laut Majapahit yang kuat dengan pemimpin legendaris mereka Arrya Wira Mandalika Laksamana Mpu Nala tentu akan sangat menarik jika diteliti secara khusus.

Mungkin Majapahit dan Sunda sebenarnya mempunyai tradisi militer yang unik dan tidak kalah dengan Three Musketer atau ksatria Inggris yang lebih populer. Hanya sayang minimnya manuskrip yang menceritakan sejarah pengawal elit tersebut. Mungkin hanya Negarakertagama yang menjadi sumber walaupun tidak banyak.

Bagaimana dengan Sumatera barat, apakah silat harimau yang terkenal itu dulunya merupakan tradisi pendekar pengawal raja raja Minang?

Di pulau Seram dahulu terdapat semacam perkumpulan kuno para pembela tanah air yaitu Kakehan dimana para pemuda mendapat gemblengan khusus secara rahasia. Konon anggotanya dikenali dengan adanya rajah kelelawar hitam di wajah mereka.

Semestinya Sriwijaya sebagai bekas kerajaan besar juga mempunya kelompok pasukan elitnya sendiri, sayang jejak Sriwijaya sebagai imperium laut nyaris terkubur, hanya ada catatan catatan perjalanan para musafir sebagai bukti keberadaannya. Dengan sendirinya kita tidak dapat berharap untuk detil detil lain seperti angkatan perang.

Di Aceh dikenal pasukan Inong Balee sekitar abad 16 yang terdiri dari janda janda untuk melawan Belanda di garis depan. Adalah Keumala Malahayati yang menjabat kepala barisan pengawal Istana sekaligus Panglima rahasia yang memimpin angkatan perang Aceh pada masa Sultan Alaudin Ri'ayat Syah.

Malahayati mencapai pangkat Laksamana setelah memimpin angkatan laut kerajaan Aceh mencegat kapal perang Belanda yang dipimpin Cornellis de Houtman. De Houtman tewas setelah berperang satu lawan satu dengan Malahayati.

Di Bone ada Arung Palakka, Sultan Bone sekaligus laksamana yang tangguh. Mungkin dalam kondisi ke-Indonesian sekarang sosok Arung Palakka adalah seorang kolaborator VOC. Tapi apabila kita memandang kondisi Bone pada abad ke 16 maka Arung Palakka adalah seorang pahlawan bagi rakyat Bone yang menderita dibawah jajahan kerajaan Gowa. Arung Palakka lah yang bisa dikatakan membangun angkatan perang Bone

Namun alangkah bagusnya jika ada dokumentasi khusus tentang pasukan pasukan elit Indonesia kuno berikut para pemimpinnya. Jangan cuma ksatria Templar saja yang dijadikan acuan.

Akan sangat menarik apabila para Indonesianist masa kini melanjutkan tradisi pendahulu mereka seperti Clifford Geertz, Bernard Vlekke, Ricklefs yang telah menghasilkan karya karya menakjubkan tentang Indonesia untuk mulai merintis proyek ini.

Pada masa yang lebih lampau Raffles telah membuktikan kecintaannya terhadap Indonesia melalui bukunya History of Java.

Terus terang saya khawatir apakah sejarah ke Indonesiaan kita akan hilang begitu saja. Saya iri dengan lengkapnya data tentang Hannibal, panglima perang Cartago Romawi yang hidup di abad 3 SM atau Sun Tzu, seorang Jenderal yang hidup pada tahun 2500 SM yang keahlian perangnya bahkan dijadikan kitab acuan.