26 April 2012

Kuasa Ramalan

Segelas white wine menandai selesainya napak tilas pembacaan kehidupan seorang tokoh yang demikian menggetarkan jagat kolonial pada masanya.

Seseorang yang mempunyai dua sisi pribadi yang nyaris paradoks.  Seorang muslim saleh namun juga dibesarkan dalam nilai tradisional mistikus Jawa yang kental.  Yang selalu berpegang pada kitab fiqih namun tetap memerlukan waktu semadi untuk bertemu Ratu penguasa laut selatan.

Kita menyimpulkan ia tetaplah memiliki sifat seorang pangeran Jawa, beristri dan berselir, bahkan sempat meniduri seorang perempuan pemijat. Tapi pada jaman itu bukankah sudah biasa bangsawan menumpuk selir dimana mana.

Ketidakbiasaan memang selalu melahirkan keluarbiasaan.  Sang nenek buyut, Ratu Ageng mungkin ditakdirkan untuk menjadi perantara yang tidak biasa.  Pertanian Tegal Rejo, kehidupan para sikep dan persentuhan awal dengan paguyuban muslim mengelilingi cucu kesayangannya.

Mustahar, tumbuh menjadi pangeran yang tidak biasa, seperti yang diramalkan oleh kakeknya.  

Jawa memasuki abad baru, tatanan lama yang selama ini pekat melingkupi kehidupan istana diobrak abrik oleh utusan Bonaparte.  Daendels memerintahkan perubahan tata laksana kedudukan pejabat Belanda di Hindia.  Tidak usah berjongkok saat bertemu Sultan, katanya.  Dan keraton pun geger.

Berikutnya istana diserang, harta benda dijarah.  Sumber pengetahuan diangkut oleh Inggris ke istana seberang lautan.  Tanah dirampas dan disewakan. Hasil hutan dikendalikan. Jawa dijajah seutuhnya, kekayaan hilang, harga diri musnah.

Pangeran asal Tegal Rejo itu pun murka, Ontowiryo kini adalah namanya.  Ayahnya berkenan memberikan gelar Diponegoro.  Sama dengan nama pangeran pemberontak asal Surakarta.  Nama Diponegoro sepertinya memang ditakdirkan untuk jiwa jiwa pemberontak. 

Dan ramalan Parangkusumo pun digenapi "Engkau hanya sarana namun tidak lama, untuk disejajarkan dengan leluhur".

Dengan arif, Sang Pangeran berusaha memahami bahwa ia akan kalah pada akhirnya namun bukankah kodrat manusia sebagai Khalifah adalah berusaha menjalankan tugas.  Menang atau kalah akhirnya hanya akan menjadi ujung dari perbuatan.

Mustahil menang jika semua kawan seperjalanan menyerah satu demi satu.  Yang tinggal hanyalah Malaria di tubuh.  Menyerah? kata itu tidak dikenal sepertinya.

Sampai tibanya akhir itu.  Raden Syarif melukiskan dari sisi kawula Jawa.  Seorang pangeran berjubah dan bersorban putih menengadahkan muka, sementara serdadu Belanda meringkus kedua lengannya.

Di pengasingan, jiwa panglima berubah wujud menjadi sastrawan.  1000 halaman lebih berwujud Babad Diponegoro pun tercipta.

Sarana itu sudah habis masa penggunaannya.  Namun sikap dan perbuatan tetap akan berjalan seiring jaman.

Dan sementara di sini kita masih sibuk berdebat, apakah sang Pangeran ingin mewujudkan negara Islam atau menjadi Raja Jawa.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Peter Carrey dengan ketelitian luar biasa mengumpulkan dan mempelajari ribuan naskah dari KITLV dan museum London, Arsip Nasional serta Babad Diponegoro untuk menuliskan ulang kisah Pangeran Jawa lengkap dengan konstelasi politik dan sosial ekonomi Yogyakarta abad 19.

Butuh waktu hampir 30 tahun untuk menghadirkan perang Jawa dan tokoh luar biasa ini dalam bentuk buku 3 jilid yang tebal, dimana buku ke tiga berisi bagan, denah dan tabel yang berhubungan dengan sebagian dari detail buku ini.

Pada akhirnya, lagi lagi melalui penulis barat, kita mendapatkan informasi yang berguna tentang sosok yang demikian menguncang pada masanya.

21 April 2012

KRETEK DAN PEREMPUAN

Marahlah pada yang ingin menghilangkan budaya mbako dan kretek warisan leluhur kita.  Tersinggunglah dengan sikap yang menghina tanaman yang kita tanam dan hasil produksi kita, gula, kopra, garam dan jamu sebagai sumber penyakit.

Dan bangkitkan harga dirimu jika ada yang ingin mencabut tembakau dari tanahmu.  Tidak peduli siapapun dia.  Jika kamu memang yakin menjadi negara dan manusia yang merdeka...

#Perempuanberbicarakretek#

20 April 2012

Calon Pemimpin Jakarta

Setiap kali pulang kantor saya menggunakan bis Trans Jakarta koridor VI dari Mampang menuju Ragunan.  Menghemat waktu walaupun kendalanya kadang bis yang lama datangnya. Jalanan yang semakin macet membuat sistem transportasi masal terpadu harus segera dilakukan.

Dengan makin dekatnya pilkada Jakarta, makin gencar para calon berkampanye.  Walaupun bukan warga Jakarta, tapi karena bekerja di Jakarta dan setiap hari menggunakan fasilitas kota membuat tidak bisa tidak saya terkoneksi dengan Jakarta dan ujungnya terkait dengan status sebagai komuter dengan segala fasilitasnya.

Jakarta adalah kota yang telah melalui tahapan tahapan pertumbuhan dari sekedar daerah pelabuhan kecil, Sunda Kelapa di bawah kerajaan Pajajaran, direbut oleh Banten sampai akhirnya diserbu oleh VOC.

Daerah ini oleh Pieter Booth, Gubernur pertama VOC hanya dijadikan kota adminstratif.  Kedudukan Jakarta yang dulu disebut Batavia masih kalah jauh dari pelabuhan Banten yang lebih dulu menjadi pintu gerbang perniagaan.

Pada perkembangan berikutnya, Batavia mengalami perubahan yang menyeluruh.  Jan Pieterszoon Coen membangun benteng dan dengan cepat menjadi kota utama. Para pedagang dari seluruh dunia masuk dan banyak menetap di Batavia.

Batavia tumbuh menjadi kota pelabuhan, perdagangan dan juga pemerintahan. Belakangan beban kota ini main bertambah menjadi kota pendidikan, pusat ekonomi negara, ibu kota sekaligus pusat pemerintahan

Dengan beban yang begitu banyak disandang, Jakarta juga menjadi tempat sampah terbesar.  Persoalan banjir, kemacetan, kejahatan dan pengangguran menjadi domainnya.

Jakarta juga identik dengan Ali Sadikin, Gubernur legendaris yang masa pemerintahannya selalu dijadikan acuan.

Suka atau tidak, calon calon Gubernur Jakarta memang seakan selalu berada di bawah bayang bayang Ali Sadikin  Tidak bisa tidak memang diperlukan karakter khusus untuk bisa memimpin Jakarta.

Beban Ali Sadikin waktu itu memang sangat berat.  Sebagai ibu kota, Jakarta lebih mirip kota kumuh dengan kumpulan para pengemis berperut buncit, bermata merah, alang alang yang menyemaki lapangan kota dan pemukiman kumuh.  Anggaran kota waktu itu hanyalah Rp 66 juta per tahun.

Selanjutnya sudah banyak buku atau blog yang menceritakan sepak terjang Ali Sadikin sebagai orang nomer satu Jakarta.

Namun ada yang membedakan dalam mekanisme pemilihan Gubernur masa itu.  Pada masa itu Ali Sadikin ditunjuk sendiri oleh Soekarno, tidak ada sistem pencalonan lewat partai seperti sekarang.  Penunjukan langsung tersebut tentu saja membuat posisi tawar Ali Sadikin cukup kuat dalam menghadapi intervensi baik dari partai maupun pengusaha non partai bahkan dari birokrat sekalipun.

Saat ini dimana kepala daerah lebih banyak diusung oleh partai dan tidak ada penunjukan langsung, bisa ditebak bagaimana karakter dan kekuatan sang calon selanjutnya.  Ada calon independen yang mengumpulkan sumbangan dari masyarakat untuk maju ke pencalonan dan mengadakan semacam kontrak politik.  Sah Sah saja semua itu.

Namun tentu masyarakat lebih menunggu realisasi janji janji yang diucapkan para calon saat kampanye.

Mengurus Jakarta dengan seribu kompleksitas tentu tidak sama dengan mengurus kota lain seperti Palembang atau Solo misalnya.  Namun terus terusan mengacu pada jaman Ali Sadikin juga bukan solusi.  Jakarta dulu dan sekarang telah mengalami banyak perbedaan.  Para cukong berkuasa penuh atas Jakarta.  Siapa pun yang memimpin Jakarta harus bernyali besar untuk menghadapi mereka.

Masih banyak orang Jakarta yang tidak peduli Jakarta namun di sisi lain berkembang pula gerakan berbasis komunitas yang ingin menciptakan Jakarta yang lebih manusiawi. Yang memimpin Jakarta harus bisa bekerja sama dengan para aktivis, para komunitas yang kebanyakan berusia muda, kaum miskin dan juga dapat mengendalikan kaum elit.

Gubernur Jakarta yang akan datang tidak cukup sekedar "seperti Ali Sadikin" tapi mutlak harus lebih baik dari Ali Sadikin

09 April 2012

Antara Suu Kyi, Corry dan Megawati

Siapa yang sudah menonton "The Lady" besutan sutradara Luc Besson?

Dengan menggandeng Michele Yeoh yang berperan menjadi Aung San Suu Kyi, Icon demokrasi Myanmar, Besson mengangkat haru biru kisah kehidupan Suu Kyi dan suaminya Michael Aris.  Suu Kyi yang belasan tahun menjadi tahanan rumah tidak dapat mendampingi Aris yang menderita kanker sampai akhirnya meninggal.

Terlepas dari sisi manusiawi yang ingin diangkat oleh film tersebut, memang langkah perempuan perempuan dalam menentang otorisasi pemerintahan dalam suatu negeri sangat menarik untuk disimak. Pers memotret dan menjadikannya sebuah lambang entah sebagai lambang perlawanan atau lambang feminisme.

Terutama di negara negara Asia dimana hukum patriarkal sangat dominan begitu pula dengan dominasi militer plus situasi ideologis yang ketat dan kaku, menyeruaknya wanita di tengah situasi tersebut otomatis menjadi sentral perhatian tersendiri.

Tak pelak adegan Suu Kyi berdiri di atas panggung menghadapi ribuan pendukungnya yang menyemut, mengacung acungkan berbagai poster atau bendera mengingatkan pada gambar gerakan People's Power-nya Corazon Aquino tahun 1986 atau sebelumnya.  Namun tidak salah juga jika orang teringat dengan Megawati dan pendukung fanatiknya di PDI-P.

04 April 2012

MENGHINDARI BALI

Mungkin jarang orang yang membenci Bali. 

Bali identik dengan surga dewata dan hal hal yang eksotis lainnya.  Sayangnya saya bukan pecinta Bali, bahkan enggan mengulang kunjungan ke Bali.  Kepala selalu menggeleng jika ada ajakan liburan ke Bali.

Buat saya Bali terlalu riuh, komersil, dan asing.  Sisi-sisi lokal tenggelam seiring dengan berjubelnya bule-bule mendatangi tempat ini.

Sering kali wisatawan domestik tersingkir, padahal saat pariwisata Bali berada di titik nadir akibat bom saat itu, justru wisatawan lokal yang menjadi penyelamat kelangsungan hidup mereka.  Mungkin perasaan saya ya yang sensitif.

Namun dari sisi profesionalitas, saya mengakui para pelaku usaha pariwisata di sana sudah sangat terlatih.

02 April 2012

Travelling Yukkk

Agaknya saya sangat menikmati jadi provokator travelling yang bersifat petualangan.

Perjalanan ke gunung Bromo jadi hasil hasutan saya yang ketiga setelah road trip Jabar-Jateng-Jatim pas Ramadhan tahun lalu dan Menjelajah Krakatau Desember lalu.

Terima kasih untuk internet yang memudahkan komunikasi dan transaksi.  Tanpa dirimu entah apa yang terjadi, mungkin harus bawa diri ke biro travel...yeeekkk..saya tahunya travel  online, transaksi online.  Terimakasih buat Agoda atas referensinya.

Suami yang selama ini geleng geleng melihat planning istrinya yang ajaib, ternyata mulai ketagihan,,,bahkan sudah menanyakan rencana petualangan berikutnya..  Eh, kantong kita berdua lagi bocor parah nih...

Tapi tetap aja otak saya sudah berputar dan tadi pagi iseng mengajukan kota yang akan menjadi next destination. Nah, belum apa apa saya sudah ngelap iler...begitu browsing kota kota tersebut.  Seperti biasa saya akan meng-arrange dari A sampe Z dan tidak menerima interupsi dari pihak lain..hahahha...

Tinggal takjub lihat tagihan kartu kredit.  Akibat bermesraan dengan online booking citilink Garuda dan online booking hotel di agoda. Kudu di pel dulu nih semua tagihan, baru kita kotorin lagi :)

Travelling kemarin kebetulan baru nyoba pake Citilink...overall sih dari terminal keberangkatan di 1C sih lebih nyaman dari terminal 1A dan B, pesawatnya biar lebih kecil dan bekas Garuda tapi nyaman, apa karena profile pengguna Citilink lain dengan Lion Air yah....

Sekedar catatan, di Citilink belum ada majalah bulanan seperti Lion Air yang ditaruh di saku belakang tempat duduk, padahal itu bisa jadi sarana promosi yang bagus.  Sering lihat hotel atau travel yang berpromosi di flight magazine seperti itu juga tempat tempat wisata yang menarik. Mungkin seiring waktu, Citilink akan punya majalah seperti itu.

Kalau Air Asia, nyebelinnya karena banyak banget tambahan pajaknya saat booking online,,tahu tahu harga tiket yang cuma 99 ribu jadi 200 ribu gara gara tambahan pajak ini itu...ngeselin ah....  Terminal 3 sih keren, tapi kalo jam jam kedatangan pesawat lagi tinggi bisa sengsara karena taxi gak akan nyampe di terminal 3 karena dicegat di terminal 1 dan 2 dan kalo lagi macet parah, mereka ogah ke terminal 3 karena paling jauh...

Saya juga mengatur agar pulangnya minggu siang, bukan minggu sore agar di airportnya tidak riweuh, rebutan taksi dll yang bikin naik darah.  Pokoknya usahakan kalo travelling sekeluarga jangan pas liburan sekolah atau akhir tahun,,,darah tinggi maannn, jalanan penuh, airport antre, hotel mahal,..semua serba komersil bikin kepala kita meletus deh.

Untuk pesawat, booking online yang paling bener ya punya Lion, Garuda, Citilink, dan Batavia...yang lain mah, suseehhhh..kayak Sriwijaya, kebanyakan offline...hari gini gak bisa booking online mah repot..

Kalau bepergian ke tempat yang masih asing, biasanya saya mengandalkan informasi dari internet, masukan dari orang2 yang pernah ke tempat itu sebelumnya.  Tapi biasanya tempat yang sering didatangi bule biasanya justru sangat welcome dengan booking online.


Satu lagi saat travelling, harus berakrab dengan penduduk asli, supaya dapat informasi untuk akses bepergian ke sekitar tempat tersebut dengan gampang.  Jadi jangan cuma ngendon di hotel aja,,rugi,,,keluyuran deh,,,makin iseng makin bagus.