01 Desember 2019

Di Latifui - Alor

Naik motor dari Kalabahi menyusur ke arah barat di sepanjang jalan yang dibatasi oleh teluk Mutiara dan sebelum kampung Takpala motor berbelok naik ke atas.  Terlihat rumah-rumah adat beratap daun. Motor berhenti, seorang laki-laki berambut putih yang ternyata kepala kampung menyambut kami.  Bapa Karel begitu beliau dipanggil.  Menurut pak Karel kampung Latifui ini sudah ada dari sebelum Indonesia merdeka.

Kami diajak duduk di balai-balai di bagian depan rumah. Di dalam rumah panggung yang terbuka itu adalah dapur yang tengah digunakan oleh ibu-ibu.  Sementara kain-kain tenun digantungkan di halaman depan beserta kalung manik-manik, agar para pengunjung kampung dapat melihat sekaligus membeli. Seorang ibu tampak sedang asyik menganyam keranjang.




03 Oktober 2019

Kelabunya Museum Keprajuritan

Pernah dengar nama Museum Keprajuritan?



Pasti banyak yang menggeleng. Letaknya yang berada dalam lingkup Taman Mini Indonesia Indah membuatnya tidak populer karena bersaing dengan sekian banyak anjungan dan museum yang berdekatan.  Museum ini adalah satu dari empat museum di Jakarta yang berada di bawah TNI



Museum ini diresmikan tahun 1980-an dan sempat menjadi yang termewah pada jamannya. Bangunan yang berbentuk benteng segilima dengan luas kurang lebih 5000 meter di atas tanah 4.5 ha.
Bila didekati akan terlihat kanal yang mengelilingi benteng tersebut.  Kanal kering dengan genangan berwarna hijau lumut di beberapa titik.


Di halaman depan nampak dua buah kapal, kapal Banten dan Phinisi.  Musim kemarau membuat danau tempat kapal tersebut berada mengering.  Menurut pengurus  museum ada kebocoran yang membuat air di danau tersebut lebih cepat surut.

Bergerak masuk ke dalam benteng terdapat lobby besar dengan beberapa kotak kaca berisi boneka peraga seukuran manusia dengan kostum prajurit tradisional dari beberapa daerah di Indonesia.  Di tengah terdapat taman dengan patung-patung pahlawan pra kemerdekaan.  Ada sekitar 23 patung yang terbuat dari perunggu.



Boneka dalam kaca tampak lebih banyak lagi di lantai dua.  Terdapat juga diorama yang mengisahkan perang-perang di daerah.

Dari atas atap benteng kita bisa melihat pemandangan ke sekeliling.

Sayangnya kondisi museum yang kurang terawat menjadi kekurangan dibalik megahnya gedung.  Koleksi yang berdebu, cahaya yang suram terutama di lantai dua terasa kurang nyaman di antara pandangan mata boneka prajurit.


Profil dan ekspresi boneka prajurit dalam kotak kaca itu benar-benar nyaris seperti manusia biasa.  Menurut yang saya baca, patung dan boneka prajurit dikerjakan oleh Edhi Sunarso, pematung terkenal dengan salah satu karyanya adalah Patung Pancoran.




Yang luput dari pandangan mata adalah fragmen batu yang berada di bawah benteng.  Pengunjung harus turun ke bawah,  ke kanal jika ingin mengamati dengan lebih jelas.  Sebenarnya fragmen ini dulunya dapat dilihat dengan menggunakan perahu mengelilingi benteng.  Air dalam kanal dahulu memang digunakan oleh para pengunjung untuk berperahu melihat fragmen yang mengilustrasikan peperangan di Indonesia.



Sebenarnya beberapa spot cukup bagus untuk pemotretan, halaman depannya yang luas sepertinya sering dipakai untuk pemotretan pre wedding.

Museum ini selalu terlihat sepi, Di dalamnya terlihat muram seperti warna dinding benteng yang kelabu.  Beberapa perbaikan mutlak diperlukan seperti pembersihan diorama, penambahan lampu dan perubahan penataan,



Koleksinya pun perlu ditambah, mengingat ruangan luas yang cenderung kosong.



03 Juni 2019

Menikmati kopi lokal Banyumas

Perkenalan dengan kopi lokal daerah Banyumas pertama kali terjadi saat singgah di kedai Yamie di jalan Pungkuran, Banyumas saat sedang menelusuri jejak para saudagar batik di sana.

Kedai Yamie merupakan sebuah rumah tua milik keluarga Tjhie yang dulunya sempat menjadi pengusaha batik kecil-kecilan.  Kami sempat mengobrol dengan om Ali, ayah pemilik kedai ini.


12 Mei 2019

Pernikahan Ala Tionghoa di kampung Ciangir

Masih cerita seputar keluarga Tionghoa di Tangerang,  kali ini menghadiri pernikahan dari cucu nyonya Kwee Ris Nyoh.

Pernikahan diselenggarakan di rumah dengan adat Tionghoa.  Di depan halaman rumah yang luas sudah dipasang tenda dan saat kami tiba sudah banyak tamu yang sedang dihibur oleh gambang kromong.  Sepasang pengantin, Anti dan Christian saat itu menggunakan pakaian pengantin gaya Internasional berdiri menyambut para tamu.



Melongok ke dalam tenda sudah tersedia dua meja prasmanan.  Satu untuk hidangan Indonesia, satunya hidangan Tionghoa.  Ada sate babi yang merupakan pembeda antara kedua hidangan tersebut.

Masuk ke bagian belakang rupanya halaman belakang sudah dipasang tenda untuk dijadikan dapur.  Wajan dan panci-panci besar berisikan masakan matang sudah siap.  Beberapa ibu sedang jongkok sambil mengiris sayuran, sementara di sisi lain sedang membuat kue-kue.  Seorang ibu sedang mengangkat tumpukan kue bugis yang berwarna hijau, terlihat berkilau dan memancing selera.
Di sudut lain ada mas-mas yang sedang sibuk menuang kopi panas ke dalam gelas-gelas.  Bebas aja mau ambil teh atau kopi.


29 Maret 2019

Mampir di Ciangir - Komunitas Tionghoa di Tangerang

Mengunjungi teman yang sedang merayakan imlek namun bukan imlek ala kota besar melainkan di kampung Ciangir kabupaten Tangerang.

Kampung ini seperti halnya daerah Cukang Galih juga terdapat komunitas petani keturunan Tionghoa, hanya saja rumah tinggalnya kebanyakan sudah mengalami perubahan bukan lagi rumah kebaya.

Di rumah inilah Kwee Ris Nyoh tinggal bersama almarhum suaminya Gouw Cun Seng sambil membesarkan 10 orang anak mereka.  Kwee Ris Nyoh berasal dari desa Kemuning, pindah ke Ciangir mengikuti suaminya Gouw Cun Seng sekitar 50 tahun yang lalu.

Kini ia tinggal di rumah warisan suaminya. Mereka dikaruniai 10 orang anak, 14 cucu dan 2 cicit. Nyonya Kwee terlihat sehat di usianya yang sudah mencapai 73 tahun.  Sehari-hari ia mengenakan kain batik dengan çorak has peranakan.

Rumah keluarga ini sudah mengalami perombakan bagian depan dan full tembok seluruhnya.  Namun masih terlihat kain digantung di langit-langit rumah yang berfungsi sebagai mantera.

05 Februari 2019

Rumah Petani Tionghoa di Tangerang

Daerah kabupaten Tangerang komunitas Tionghoa hidup dari bertani dengan sawah tadah hujan.  Di daerah Panongan, terdapat beberapa bangunan rumah petani Tionghoa yaang dikenal dengan rumah kebaya.


Rumah keluarga Oen di Panongan
Rumah itu awalnya berdinding kayu nangka dengan rangka atap dari bambu, namun seiring dengan berpacunya jaman maka dinding kayu diganti dengan tembok, lantai yang dulunya tanah kini dilapisi keramik.

22 Januari 2019

Menjelajah Alor Yang Kesekian Kali

Jalur ke Lendola
Selesai rapat di balai desa dan kelar ketemu dengan anak-anak di perpustakaan taman bacaan Pelangi paling bagus ya hilir mudik menyusuri pulau Alor yang masih saja belum terjamah seutuhnya.

Bersama yang mbaurekso Alor, beliau berbaik hati mengantarkan saya dengan motor antiknya dari pagi hingga malam, keluyuran mulai dari Alor barat daya sampai Alor timur menyusuri bagian selatan, mulai tepian pantai sampai perbukitan.  Perkara tamu adalah raja benar-benar dipegang teguh oleh orang-orang Alor ini.

Menuju air terjun di Alila yang berada di kawasan Alor barat laut misalnya, cukup menguras tenaga karena harus berjalan menyusuri sungai.  Naik turun sepanjang tepian, kerap memotong daerah aliran sungai.  Belum lagi nyamuk hutan yang luar biasa galak. Tangan saya sampai pedih karena gatal.  Pohon jambu mete yang terserak di kebun-kebun warga memancing tangan saya untuk usil memetik sekaligus mengunyah buahnya, merasakan cairan asam plus sedikit getir melewati kerongkongan.