25 September 2021

Embung Nglanggeran

 Embung Nglanggeran berjarak sekitar 25 km dari Yogyakarta ke arah Gunung Kidul.

Embung ini memang masuk dalam kawasan gunung api Nglanggeran.  Kita akan melewati gardu penjagaan untuk gunung api terlebih dahulu sebelum sampai ke Embung Nglanggeran.

Lebih baik berangkat dari Yogya pagi-pagi sehingga dapat tiba di lokasi sangat awal dan belum terganggu oleh pengunjung lain.  Kami tiba sekitar jam 6 pagi dan memang loket belum buka.  Masih ada palang yang dipasang melintang untuk menghalangi kendaraan masuk.  Apa boleh buat kami geser saja palang tersebut dan mobil pun masuk.

Mobil pun berhenti di bawah tangga bukit.  Ya, memang sudah ada tangga yang cukup rapi untuk pengunjung.



Embung ini sebenarnya adalah embung buatan untuk menampung air hujan yang dipakai untuk mengairi sawah sekitar.  Kedalamannya sekitar 3 meter.  Karena letaknya di ketinggian dengan pemandangan gunung api yang indah, akhirnya tempat ini jadi lokasi wisata,  kebetulan pula di atasnya terdapat hutan dengan pemandangan ke arah gunung api Nglanggeran.  Selain itu ada juga gardu pandang yang mengarah ke embung.



Saat itu pas kami datang pagi-pagi, view dari embung ke bawah seakan-akan kita sedang di atas awan.

Setelah puas berkeliling di embung dan hutan kecil di atasnya, kami turun dan minum kopi di warung yang terletak tepat di seberang bawah embung sekaligus menggunakan kamar kecilnya.



Sekitar jam 8 pagi kurang sedikit kami pun bersiap kembali, tapi terlebih dahulu kami mampir di gardu jaga untuk membayar bea masuk.






21 September 2021

Jembatan Panyindangan



 Tak jauh dari pusat kota Sumedang, sekitar 7 km di desa Gunasari terdapat jembatan gantung yang dinamakan Panyindangan.  Jembatan ini menghubungkan desa Gunasari dan desa Baginda.

Jika membawa mobil, bisa diparkir di depan lapangan, dekat kuburan lalu lanjut jalan kaki sebentar melewati rumah-rumah penduduk untuk bisa sampai ke area jembatan.  Melewati jalan setapak melintasi sawah-sawah yang menguning yang waktu itu hampir selesai dipanen.

Jembatan Panyindangan membentang indah sepanjang sekitar 120 meter menghubungkan kedua desa tersebut di atas, melintasi sungai Cihonje.  Jembatan tersebut menjadi jalur utama bagi para penduduk desa untuk membawa macam-macam keperluan, termasuk membawa hasil panen, walaupun hanya bisa dilewati oleh motor.

Dahulu jembatan ini terbuat dari anyaman bambu, melintasi sungai Cihonje dan hanya bisa dilintasi oleh pejalan kaki.  Baru pada tahun 2018 jembatan dengan rangka baja dan beton dibangun sekaligus diselesaikan sehingga dapat dilintasi oleh motor.






Sungai Cihonje yang dilintasi oleh jembatan Panyindangan memang menjadi sumber air bagi warga desa.  Tak heran di sekitar daerah aliran sungai terdapat area persawahan.

Jembatan Panyindangan kini menjadi obyek wisata baru menyertai sungai Cihonje yang memang indah dan sering dijadikan sebagai tempat bersantai bagi warga sekitar.






Untuk melihat videonya, silakan berkunjung ke 

https://www.youtube.com/watch?v=Jdq_QGBJalk&t=55s













03 Februari 2021

Pangeran dari Timur

Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro mungkin menjadi lukisan Raden Saleh yang paling terkenal di Indonesia dengan beragam tafsir. Saat pameran pertama koleksi lukisan istana di Galeri nasional tahun 2016 lalu, lukisan ini banyak memukau pengunjung. Tampaknya lukisan ini pula menjadi inspirasi penulisan novel Pangeran Dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Walaupun nama Iksaka Banu sudah amat populer sebagai penulis novel berlatar belakang sejarah kolonial, namun baru kali ini saya tergugah untuk membeli bukunya, mungkin karena bukan penggemar novel.

01 Desember 2020

Terpana di Timor

 

Bekas tambang marmer di Mollo

Sudah melewati pertengahan November, Jabodetabek tiap hari hujan.  Banjir pun sudah melanda.

Tapi di wilayah NTT tidaklah begitu.  Matahari tetap menyengat walau terkadang disaput mendung, namun hujan terlihat masih enggan turun di wilayah ini.

Fian, driver kelahiran Soe yang menjemput dan

14 September 2020

Kopi Alor yang mulai menggeliat

Halaman rumah kak Alera penuh dengan biji kopi yang sedang dijemur.

Sore ini saya datang ke rumah kak Alera di Kalabahi untuk mengambil biji kopi pesanan.  Semua berawal dari Alor Expo di lapangan Kalabahi.  Ada kafe yang menyajikan kopi, dan hanya satu-satunya di expo tersebut.

Setelah menembuh keriuhan pengunjung expo, saya iseng menghampiri kafe tersebut dan memesan kopi lalu anak muda yang menjadi barista mempersilakan saya untuk memilih jenis kopi.  Tentu saja saya memilih kopi Alor jenis robusta untuk dijadikan kopi susu.  Sebagai bukan ahli kopi atau penggila kopi saya cukup menikmati saja cairan kopi susu tanpa gula mengalir melewati tenggorokan sambil menyaksikan keramaian.  Menikmati suasana jauh di ujung timur Indonesia.

Debu-debu lapangan beterbangan, tanah liat di lapangan cepat sekali kering walaupun baru saja disemprot oleh truk pengangkut air.

Saya mengobrol dengan barista tentang kopi alor.  kopi yang disajikan adalah dari kebun sendiri di Otvai.  Rasa kopi dari Alor memang terasa tebal.  Karena tidak dikelola serius maka kalah jauh dari tetangganya Flores.  Sudah ada beberapa kelompok tani yang berusaha mengenalkan kopi Alor dengan mengolah dan mengemasnya secara baik.  Contohnya merk Lonsilar.


Memang masih jarang kedai kopi yang serius di Alor dan walaupun kopi tumbuh di setiap kebun warga Alor, jarang yang serius menangani tanaman kopi.  Tanaman ini dibiarkan saja tumbuh, jika sudah saatnya panen pun dipetik selagi ada waktu karena warga lebih memprioritaskan cengkeh dan vanili.  Vanili memang lagi booming, harganya yang tinggi membuat warga mulai menanam tanaman ini.  Sudah mulai terlihat petak-petak vanili di kebun warga.

Namun perawatan vanili yang butuh ekstra perhatian membuat tidak semua warga berminat dan mampu menanamnya.  di Bumol saya bertemu dengan seorang bapak yang sedang membantu penyerbukan bunga vanili satu demi satu.  Pohon vanili yang tinggi membuatnya harus naik tangga untuk mencapai bunganya.

Tanaman Vanili

Kembali ke kopi, Saat berjumpa dengan kak Alera di kedai kopi di expo Alor ia menceritakan tentang usahanya mengembangkan kopi alor.  Dari mulai mencari biji kopi berkualitas yang membuatnya harus berkeliling ke seantero pulau sampai akhirnya mengambil keputusan untuk menanam sendiri pohon kopi untuk mendapatkan mutu sesuai keinginannya.  Dari hasil penjelajahannya ia tahu bahwa kopi arabica Alor hanya tersedia mungkin hanya sekitar 10 persen saja selebihnya adalah kopi robusta.

Dari pengalamannya membuka kedai kopi di Alor, kak Alera sadar bahwa ternyata kopi Alor banyak yang suka.  Sudah ada permintaan untuk memasok biji kopi ke Bali, namun lagi-lagi terkendala stok.

Persediaan biji kopi untuk kafenya sendiri pun pas-pasan, sehingga ia tidak dapat memenuhi pemesanan biji kopi dari luar.


Dalam meroasting biji kopi, kak Alera masih melakukannya secara manual dengan penggorengan sehingga diakui kemungkinan tingkat kematangan biji kopinya tidak merata.

Jalan memang masih panjang.  Pohon-pohon kopi yang ditanamnya sendiri masih butuh perawatan sebelum berbuah.  Semoga kak Alera dan para petani kopi di Alor tetap semangat merawat dan mengembangkan kopi dari kebun mereka sendiri.