31 Agustus 2009

Trah Kusuma Rembesing Madu

Trah Kusuma Rembesing Madu, kata kata itu sering keluar dari mulut para bangsawan Jawa untuk menegaskan bahwa mereka keturunan orang orang terpilih.

Kalau jaman dulu kita masih bisa manggut manggut mengamini, jaman sekarang kita terpaksa manggut manggut sambil diam diam menahan tawa. Tentu bukan masanya lagi melihat segala sesuatu dari asal keturunan.

Sebenarnya apa sih yang membuat leluhur mereka menjadi berdarah biru? semata mata wahyu atau hasil kerja keras.

Jika ditelusuri ke belakang, katakanlah pada masa Ken Arok. Bisa dikatakan ia hanya seorang perampok yang kebetulan katanya mendapatkan wahyu. Otak yang cerdas ditambah wahyu jadilah ia orang yang disegani. Sang wahyu dalam hal ini memang tidak pandang bulu kemana ia akan jatuh, seorang perampok sadis bisa ketiban untung, sedangkan Lohgawe sang brahmana suci hanya ketitipan menjaga manusia pilihan tersebut.

Sementara Ken Dedes, apalah keistimewaan perempuan ini selain hanya kebetulan mendapat wahyu.

Berdua, para pembawa wahyu ini menurunkan manusia manusia yang kelak katanya menjadi raja tanah Jawa. Tapi toh wahyu tersebut ada masa kadaluawarsa, wahyu tidak dapat diturunkan kepada anak cucu sekehendak hati. Terbukti wahyu mendadak terhenti saat para keturunan mereka saling bunuh. Trah Kusumah Rembesing Madu tidak ada gunanya sama sekali, Singasari hancur berkeping keping.

Wahyu muncul kembali pada diri Raden Wijaya saat membangun hutan Tarik, bersama Sri Jayendradewi Dyah Gayatri mereka kelak bercucukan Raden Tetep alias Hayam Wuruk.

Apakah Majapahit besar karena Hayam Wuruk, karena galur wahyu dan kedudukannya sebagai trah orang orang terpilih? omong kosong!!!......

Majapahit besar justru karena kerja keras Gajah Mada, Sang Mahapatih Hamangkubumi yang berasal dari orang biasa. Keturunan pidak pidarakan bukan orang yang mendadak kewahyon seperti layaknya Ken Arok.

Imperium Majapahit terwujud karena seorang Gajah Mada yang rela meninggalkan kesenangan dunia demi terwujudnya kebesaran negara.

Hayam Wuruk dan keluarganya bisa duduk manis di atas tahta`karena Gajah Mada yang menggelar pemerintahan dan membangun angkatan perang dengan visinya yang jauh ke depan.

Terbukti setelah Mpu Mada wafat, Hayam Wuruk tidak lagi mampu mengendalikan negara negara bawahan. Satu demi satu lepas. Para bangsawan yang ketularan madu tersebut tidak ada apa apanya dibanding Gajah Mada. Mereka tidak jauh beda seperti rakyat kebanyakan yang ngiler melihat kekuasaan.

Anak keturunannya berebut tahta. Wilwatikta hancur lebur akibat perang saudara, akibat ketamakan para keturunan trah terhormat.

Sejarah yang sama juga terulang pada jaman Mataram Islam. yang juga mengaku keturunan Raja Majapahit. Para Raja menjual wilayah dan harga dirinya kepada Belanda. Apanya yang rembesing madu? Madu sudah berubah menjadi racun. Para bangsawan malas yang akhirnya digilas oleh jaman

Sayang Gajah Mada tidak menikah sehingga tidak meninggalkan keturunan, tidak ada prasasti hidup untuk menggemakan hasil kerja kerasnya.

Sungguh saya ingin menempeleng orang orang yang mengaku sebagai trah kusuma rembesing madunya Majapahit, orang orang yang tak tahu malu mengakui kebesaran Majapahit sebagai kebesaran leluhurnya.

Jika boleh jujur, bukankah mereka sebenarnya hanya keturunan Ken Arok si perampok?

22 Agustus 2009

Perjalanan

Pagi itu saya bersiap siap menuju Pulau Pari yang terletak di gugusan Kepulauan Seribu.

Dengan menggendong ransel yang cukup berat saya mengayun langkah menuju tempat pertemuan di sebuah kantin kecil di YTKI. Janji untuk berkumpul jam 9 pagi.

Terminal Blok M sudah mulai ramai, setelah melirik arloji ternyata masih jam 8 kurang, sempat termangu mangu sejenak akhirnya memutuskan untuk berkeliaran melihat lihat di sekitar terminal mumpung sempat.

Jam 9 kurang sedikit saya sampai di YTKI, celingak celinguk ternyata belum ada orang. Ya sudah minum dulu,,,,Belum habis minuman terlihat Erwin melambaikan tangan di parkiran kemudian Daniel juga datang. Sempat mengobrol sebentar sebelum akhirnya berjalan bareng menuju parkir lantai 8. Di sana sudah menunggu 4 teman lagi untuk bergabung.

Persinggahan pertama adalah pelabuhan Rawa Saban, Muara Cituis, di tangerang. Di sana ada kapal penyeberangan ke pulau Pari yang berangkat jam 12:00. Kami bertujuh menuju warung dekat pelabuhan untuk makan siang setelah menitipkan mobil di rumah penduduk. Hawa panas dan bau khas pelabuhan terasa menyengat.

Rawa Saban adalah pelabuhan kecil yang dangkal karena lumpur yang menimbuni dasar pantai. Tidak jarang kapal kandas sebelum masuk pelabuhan saking dangkalnya. Bayangkan hampir 100 meter dari pelabuhan kedalamannya masih setinggu pinggang. Kenek kapal seringkali harus mencebur karena dasar kapal tersangkut sesuatu.

Tidak terlalu banyak penumpang kapal, saya melongok ke atas atap kapal yang mengangkut juga motor motor dan hasil bumi.

Perjalanan ke Pulau Pari dengan kapal memakan waktu sekitar 1,5 jam, ombak pantai utara sangatlah tenang, tidak ada apa apanya dibanding pantai selatan yang saya kenal.

Perlahan lahan pulau Pari mulai terlihat, ternyata pulau ini dikelilingi palung sehingga perairan sekitarnya terlihat seperti kolam yang tenang. Lautnya dangkal berair jernih sehingga terlihat jelas rumput liar yang tumbuh dalam laut. Tidak ada resort di pulau ini yang justru terlihat makin alami.

Turun kapal kami menyusuri jalan pulau yang terbuat dari cornblock dan cukup teduh menuju rumah Pak Ujang, salah satu tokoh perlindungan biota laut di pulau itu untuk menginap. Ternyata Pak Ujang telah menyambut kami dan mengeluarkan makanan kecil berupa sukun goreng, dilanjutkan dengan makanan utama berupa ikan belanak goreng yang seperti ikan jaman purba, rajungan dan ikan lain yang entah apa namanya.

Tujuan kami ke pulau Pari adalah untuk melihat keramba ikan kakap putih milik Erwin dan Jaffry yang dikelola oleh Pak Ujang dan anak buahnya. Saya memang berminat mencoba merambah ke budidaya kakap putih. Tapi untuk itu memang harus melihat langsung lokasi pembiakan yang berada sedikit di tengah laut sehingga harus selalu menggunakan perahu.

Puas mengelilingi keramba dengan perahu kecil, kami segera kembali sambil membicarakan beberapa kemungkinan. Tentunya saya harus mengamati dulu perkembangan baru kemudian menentukan langkah selanjutnya seperti letak keramba, jumlah tenaga kerja, dsb.

Setelah mengobrol kesana kemari ternyata baru saya tahu bahwa sebelumnya penduduk pulau menanam rumput laut bertahun tahun yang lalu bahkan sempat menjadi primadona. Namun semuanya berakhir akibat polusi yang berasal dari industri yang membuang limbah di laut lepas,,,,,miris.!!! Singkatnya penduduk pulau membutuhkan dana untuk beralih produksi.

Karena perairannya yang jernih, kegiatan snorkeling sering diadakan di sini. Lagi menurut Pak Ujang, tanah di pulau Pari ternyata sempat dijual ke pengusaha non Pribumi dan sampai sekarang masih bersengketa.

Menghabiskan sore itu kami berkeliaran mengelilingi jalan jalan di pulau kecil tersebut, menyusuri pantai, melihat budidaya bakau dan mengunjungi balai penelitian LIPI sampai adzan Maghrib terdengar.

Mandi dengan menggunakan air pulau yang payau tentu kurang enak, tapi ternyata air di pulau ini berkualitas paling baik dibanding pulau pulau lainnya seperti Pulau Pramuka, pulau Lancang dsb.

Malamnya kami berniat memancing di tengah laut, jam 9 malam dengan tersaruk saruk hanya ditemani sinar bulan kami berjalan menyusuri hutan kecil menuju pantai dan susah payah mendorong perahu perahu ke laut. Laut yang tampak kehitaman sangatlah tenang. Malangnya perahu yang saya tumpangi tidak mendapat ikan sama sekali. Bosan, akhirnya kembali ke darat setelah 2 jam berputar putar dengan sia sia. Pemandu perahu kami tidak berani terlalu ke tengah, takut dengan bajak laut katanya. Ngeri juga dengan adanya perempuan di perahu bisa dipastikan tidak akan selamat jika bertemu bajak laut yang katanya kebanyakan berasal dari Sulawesi.

Dengan ditemani oleh salah satu anak buah Pak Ujang, saya mendengarkan kehidupan nelayan yang keras. Hampir semua nelayan yang juga menjadi penyelam mempunyai paru paru rusak akibat seringnya menyelam menggunakan udara dari kompresor yang tercemar CO2 karena mahalnya peralatan selam yang menggunakan oksigen murni.

Saya hanya bisa manggut manggut berusaha memahami di tengah angin laut yang menggigit tulang.

Setelah itu kita tidur karena keesokan harinya harus kembali ke Jakarta pagi pagi.
Paginya setelah sarapan kita bersiap ke dermaga, kali ini saya dan Daniel memilih duduk di atap kapal karena penasaran. Bersama beberapa unit motor dan kayu kayu yang diikat akhirnya saya memilih tempat di atap bagian tengah. Menarik juga berada di atas atap kapal yang melaju,,,melihat ombak yang landai, saya merasa jika terjadi sesuatu saya masih mampu berenang.

Mendekati Rawa Saban kapal sempat terhambat karena pendangkalan, was was juga takut kapal kandas. Melihat air laut yang kotor lebih mengerikan dibanding jika harus berenang di perairan lepas tadi.

Syukurlah kapal akhirnya bisa menghampiri dermaga. Sungguh perjalanan yang menarik. Namun buat saya belum selesai karena turun dari kapal saya harus segera bersiap menuju pegunungan.

(foto foto ada di facebook)

20 Agustus 2009

Atas nama perubahan

Perubahan hampir selalu identik dengan kemajuan. Jaman selalu bergerak selalu berubah mengikuti kodrat sifat manusia yang selalu ingin lebih. Hanya saja perubahan tersebut ibarat pisau bermata dua, baik disatu sisi namun belum tentu di sisi lain.
Indonesia sebagai negara berkembang tentu membutuhkan banyak perubahan sebagai alat transisi mengejar kemajuan agar setara dengan negara lain.
Dari sekian banyak bidang, ada satu yang sedang digalakkan yaitu infrastruktur untuk transportasi alias jalan. Sejak Daendels berupaya menghubungkan sudut sudut pulau Jawa dengan Jalan Raya Posnya, pemerintah Republik pun memperluas usaha Daendels tidak saja di pulau Jawa tapi juga menghubungkan pulau Jawa dengan pulau sekitar.
Tak pelak jalan jalan yang dibangun di Jawa membuat kota kota utama menjadi metropolitan dan rejeki perubahan yang semula diharapkan juga dapat dinikmati oleh kota kota kecil sekitarnya apa boleh buat tinggal harapan. Dari buku Ekspedisi Anyer Panarukan dapat dibaca nasib kota kota kecil yang dilalui jalan raya tersebut.
Kota kota tersebut menjadi kota penyangga bagi kota besar, timbulnya urbanisasi besar besaran, investor kota besar yang akhirnya menjarah tanah kota kota kecil itu dan menyisakan problem bagi penduduk setempat.
Yang terbaru adalah pembangunan jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dengan Madura. Di hari pertama jembatan itu beroperasi pelabuhan laut Kamal Madura dan Tanjung Perak Surabaya mendadak sepi, yang berimbas kepada pendapatan kapal laut dan pedagang sekitar pelabuhan. Seretnya rejeki tentu akan berkelanjutan di hari hari setelahnya.
Entah apa rencana pemerintah untuk pelabuhan pelabuhan itu agar tidak terbengkalai. Di sisi lain masyarakat Madura menghadapi tantangan langsung terhadap para pendatang yang menyerbu pulau Mereka. Para pendatang yang lebih berada dan canggih maupun para pendatang yang lebih gigih dalam kegiatan berekonomi. Jangan sampai perekonomian Madura diambil alih oleh Jakarta dan penduduk asli hanya menjadi penonton di kampung sendiri. Mereka masih tetap pontang panting mengais remah remah yang ditinggalkan pendatang,
Belum habis kehebohan akibat Suramadu, tiba tiba telah disiapkan pula pembangunan Jembatan Selat Sunda. Suramadu jelas tidak ada apa apanya dibanding Selat Sunda. Jembatan sepanjang sekitar 30 km ini akan menghubungkan Jawa dengan Lampung melalui selat sunda yang terkenal berombak ganas dengan resiko gempa laut dan letusan gunung api Krakatau. Pelabuhan Merak dan Bakauheni harus bersiap siap menghadapi keadaan ini. Mungkin saja pelabuhan pelabuhan itu bisa beralih menjadi pelabuhan wisata misalnya.
Timbul pertanyaan perlukah jembatan jembatan itu dibangun? Siapakah yang paling menikmati kemudahan tersebut, penduduk asli ataukah lagi lagi Jawa dengan kata lain Jakarta yang paling diuntungkan?
Kemarin ini Kompas menurunkan laporan mengenai pulau pulau perbatasan yang berkondisi mengenaskan. Apakah tidak sebaiknya dana 100 trilyun untuk jembatan Selat Sunda dialihkan untuk membangun daerah daerah tersebut agar penduduk asli turut dapat menikmati 64 tahun kemerdekaan RI.
Akan kemanakah pelabuhan pelabuhan kita? apakah nasibnya akan meniru Lasem, bekas pelabuhan kuno yang dahulu begitu masyur. Bagaimana nasib pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang dulu bernama Ujung Galuh tempat pemusatan armada kapal perang Majapahit, relakah kita kehilangan lagi satu lambang identitas sebagai negara kepulauan?
Hanya sekedar pertanyaan.

16 Agustus 2009

Gerakan Rakyat Dunia Ketiga

Membaca buku mengenai Gerakan Rakyat Dunia Ketiga terbitan INSIST diantara sekian banyak gerakan massa saya tertarik dengan gerakan Narmada Bachao Andolan yang menentang pembangunan waduk Sardar Sarovar di India. Waduk yang dibangun dari dana pinjaman Bank Dunia ini direncanakan akan mengairi 1,8 juta ha tanah tapi di sisi lain akan menenggelamkan 37 ribu ha tanah termasuk di dalamnya 13 ribu ha hutan primer.

Proyek ini akan mengenyahkan secara paksa ribuan keluarga yang tinggal di lembah Narmada. Mereka dicabut secara paksa dari lingkungan mereka tanpa mendapatkan kompensasi yang memadai.

Pengenyahan secara paksa ini mengingatkan pada peristiwa pembangunan waduk Kedung Ombo sekitar tahun 1989 yang entah kenapa sama persis keadaannya. Proyek ini juga dibangun dengan pinjaman Bank Dunia. Penghuni Kedung Ombo juga dienyahkan secara paksa, keluarga keluarga yang bertekad mempertahankan haknya diintimidasi oleh aparat.

Rakyat dari 2 negara yang sama sama merupakan negara dunia ketiga mengalami nasib serupa; kehilangan hak mereka atas penghidupan dan tempat tinggal.

Hanya jika Kedung Ombo minim sekali dukungannya akibat pemerintahan represif orde baru sedangkan gerakan Narmada didukung luas oleh para Intelektual, profesional, pemimpin masyarakat. Gerakan ini juga menyajikan analisis dampak lingkungan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Gerakan gerakan rakyat diberbagai negara tersebut menunjukkan penentangan atas ekonomi Kapitalis yang menghancurkan ekonomi dan budaya kaum pedesaan.

05 Agustus 2009

Grameen dan Ekonomi Kerakyatan

Isu yang dibawa Prabowo tentang ekonomi kerakyatan (sekarang dia masih inget gak ya..?) mengingatkan pada salah satu buku yang saya miliki, sangat inspiratif sehingga tetap menyenangkan walau dibaca berulang ulang. Tentang Bank Kaum Miskin.

Sekedar kilas balik, Saat munculnya sekelompok ekonom di tahun 1970-an, kemudian disebut Mafia Berkeley yang dikomandani oleh Widjojo Nitisastro yang membuka keran besar besar untuk pinjaman asing guna kegiatan makro ekonomi di Indonesia, Profesor Muhammad Yunus seorang dosen ekonomi dari Universitas Chittagong Bangladesh justru merasa frustrasi dengan cara kerja Bank Dunia dan kegiatan makro ekonominya. Segala teori ekonomi canggih yang diajarkannya sama sekali tidak berpengaruh untuk merubah kemiskinan akut disekelilingnya.

Saya membayangkan bahwa sistem laissez faire maupun teori invisible hand nya Adam Smith justru memperburuk kondisi masyarakat akar rumput di Bangladesh. Bandul keseimbangan cenderung bergerak ke arah pemilik modal.

Proyek proyek ekonomi yang didanai oleh Bank Dunia sama sekali tidak menyentuh rakyat miskin, sama seperti di Indonesia justru yang diuntungkan adalah pemilik alat produksi.

Di saat yang sama Bank juga menerapkan sistem diluar jangkauan kaum miskin yang kebanyakan buta huruf untuk meminjam uang.

Yunus terkejut saat mengetahui bahwa hanya USD 27 ,pinjaman yang dibutuhkan oleh 42 keluarga termiskin Bangladesh untuk dapat berwirausaha.

Dengan pemahaman itu, Yunus bergerak menemui bank bank konvensional dengan jaminan dirinya sendiri guna mendapat pinjaman yang akan dipinjamkan kembali kepada keluarga miskin. Bagaikan bola salju dari USD 27, akhirnya Grameen Bank didirikan khusus untuk memberikan pinjaman kepada keluarga miskin di Bangladesh. Pinjaman dengan bunga sangat rendah dan sangat fleksibel.

Usaha Yunus menggerakkan wirausaha skala kecil, bukanlah mudah..ia harus menghadapi kendala dari otoritas keagamaan, budaya dan intimidasi lainnya, termasuk diremehkan oleh Bank Dunia. Setelah berhasil pun ia harus menghadapi Bank Dunia yang mengklaim hasil kerja Grameen Bank sebagai kesuksesan mereka.

Yunus sebagai dosen yang menggeluti teori ekonomi tahu benar bahwa makro yang kuat berasal dari mikro yang baik. Bahwa mengabaikan mikro hanya akan merapuhkan sendi sendi ekonomi makro.

Bahwa orang miskin jangan disuapi dengan donasi tapi berilah mereka kesempatan dengan pinjaman modal. Pemberian tunjangan kesejahteraan hanya akan merampas hak mereka untuk berusaha.

Mungkin Indonesia harus menoleh ke Bangladesh, jika ternyata USA juga belajar ke Bangladesh hal itu nyata mencerminkan bahwa negara adi kuasa itu sebenarnya sangat rapuh. Kegiatan ekonomi mereka dikuasai hanya oleh segelintir orang.

Saatnya menguatkan yang mikro, jika orang orang kecil itu menjadi kuat, bandul ekonomi akan tetap berdiri di tengah tengah.