22 Agustus 2009

Perjalanan

Pagi itu saya bersiap siap menuju Pulau Pari yang terletak di gugusan Kepulauan Seribu.

Dengan menggendong ransel yang cukup berat saya mengayun langkah menuju tempat pertemuan di sebuah kantin kecil di YTKI. Janji untuk berkumpul jam 9 pagi.

Terminal Blok M sudah mulai ramai, setelah melirik arloji ternyata masih jam 8 kurang, sempat termangu mangu sejenak akhirnya memutuskan untuk berkeliaran melihat lihat di sekitar terminal mumpung sempat.

Jam 9 kurang sedikit saya sampai di YTKI, celingak celinguk ternyata belum ada orang. Ya sudah minum dulu,,,,Belum habis minuman terlihat Erwin melambaikan tangan di parkiran kemudian Daniel juga datang. Sempat mengobrol sebentar sebelum akhirnya berjalan bareng menuju parkir lantai 8. Di sana sudah menunggu 4 teman lagi untuk bergabung.

Persinggahan pertama adalah pelabuhan Rawa Saban, Muara Cituis, di tangerang. Di sana ada kapal penyeberangan ke pulau Pari yang berangkat jam 12:00. Kami bertujuh menuju warung dekat pelabuhan untuk makan siang setelah menitipkan mobil di rumah penduduk. Hawa panas dan bau khas pelabuhan terasa menyengat.

Rawa Saban adalah pelabuhan kecil yang dangkal karena lumpur yang menimbuni dasar pantai. Tidak jarang kapal kandas sebelum masuk pelabuhan saking dangkalnya. Bayangkan hampir 100 meter dari pelabuhan kedalamannya masih setinggu pinggang. Kenek kapal seringkali harus mencebur karena dasar kapal tersangkut sesuatu.

Tidak terlalu banyak penumpang kapal, saya melongok ke atas atap kapal yang mengangkut juga motor motor dan hasil bumi.

Perjalanan ke Pulau Pari dengan kapal memakan waktu sekitar 1,5 jam, ombak pantai utara sangatlah tenang, tidak ada apa apanya dibanding pantai selatan yang saya kenal.

Perlahan lahan pulau Pari mulai terlihat, ternyata pulau ini dikelilingi palung sehingga perairan sekitarnya terlihat seperti kolam yang tenang. Lautnya dangkal berair jernih sehingga terlihat jelas rumput liar yang tumbuh dalam laut. Tidak ada resort di pulau ini yang justru terlihat makin alami.

Turun kapal kami menyusuri jalan pulau yang terbuat dari cornblock dan cukup teduh menuju rumah Pak Ujang, salah satu tokoh perlindungan biota laut di pulau itu untuk menginap. Ternyata Pak Ujang telah menyambut kami dan mengeluarkan makanan kecil berupa sukun goreng, dilanjutkan dengan makanan utama berupa ikan belanak goreng yang seperti ikan jaman purba, rajungan dan ikan lain yang entah apa namanya.

Tujuan kami ke pulau Pari adalah untuk melihat keramba ikan kakap putih milik Erwin dan Jaffry yang dikelola oleh Pak Ujang dan anak buahnya. Saya memang berminat mencoba merambah ke budidaya kakap putih. Tapi untuk itu memang harus melihat langsung lokasi pembiakan yang berada sedikit di tengah laut sehingga harus selalu menggunakan perahu.

Puas mengelilingi keramba dengan perahu kecil, kami segera kembali sambil membicarakan beberapa kemungkinan. Tentunya saya harus mengamati dulu perkembangan baru kemudian menentukan langkah selanjutnya seperti letak keramba, jumlah tenaga kerja, dsb.

Setelah mengobrol kesana kemari ternyata baru saya tahu bahwa sebelumnya penduduk pulau menanam rumput laut bertahun tahun yang lalu bahkan sempat menjadi primadona. Namun semuanya berakhir akibat polusi yang berasal dari industri yang membuang limbah di laut lepas,,,,,miris.!!! Singkatnya penduduk pulau membutuhkan dana untuk beralih produksi.

Karena perairannya yang jernih, kegiatan snorkeling sering diadakan di sini. Lagi menurut Pak Ujang, tanah di pulau Pari ternyata sempat dijual ke pengusaha non Pribumi dan sampai sekarang masih bersengketa.

Menghabiskan sore itu kami berkeliaran mengelilingi jalan jalan di pulau kecil tersebut, menyusuri pantai, melihat budidaya bakau dan mengunjungi balai penelitian LIPI sampai adzan Maghrib terdengar.

Mandi dengan menggunakan air pulau yang payau tentu kurang enak, tapi ternyata air di pulau ini berkualitas paling baik dibanding pulau pulau lainnya seperti Pulau Pramuka, pulau Lancang dsb.

Malamnya kami berniat memancing di tengah laut, jam 9 malam dengan tersaruk saruk hanya ditemani sinar bulan kami berjalan menyusuri hutan kecil menuju pantai dan susah payah mendorong perahu perahu ke laut. Laut yang tampak kehitaman sangatlah tenang. Malangnya perahu yang saya tumpangi tidak mendapat ikan sama sekali. Bosan, akhirnya kembali ke darat setelah 2 jam berputar putar dengan sia sia. Pemandu perahu kami tidak berani terlalu ke tengah, takut dengan bajak laut katanya. Ngeri juga dengan adanya perempuan di perahu bisa dipastikan tidak akan selamat jika bertemu bajak laut yang katanya kebanyakan berasal dari Sulawesi.

Dengan ditemani oleh salah satu anak buah Pak Ujang, saya mendengarkan kehidupan nelayan yang keras. Hampir semua nelayan yang juga menjadi penyelam mempunyai paru paru rusak akibat seringnya menyelam menggunakan udara dari kompresor yang tercemar CO2 karena mahalnya peralatan selam yang menggunakan oksigen murni.

Saya hanya bisa manggut manggut berusaha memahami di tengah angin laut yang menggigit tulang.

Setelah itu kita tidur karena keesokan harinya harus kembali ke Jakarta pagi pagi.
Paginya setelah sarapan kita bersiap ke dermaga, kali ini saya dan Daniel memilih duduk di atap kapal karena penasaran. Bersama beberapa unit motor dan kayu kayu yang diikat akhirnya saya memilih tempat di atap bagian tengah. Menarik juga berada di atas atap kapal yang melaju,,,melihat ombak yang landai, saya merasa jika terjadi sesuatu saya masih mampu berenang.

Mendekati Rawa Saban kapal sempat terhambat karena pendangkalan, was was juga takut kapal kandas. Melihat air laut yang kotor lebih mengerikan dibanding jika harus berenang di perairan lepas tadi.

Syukurlah kapal akhirnya bisa menghampiri dermaga. Sungguh perjalanan yang menarik. Namun buat saya belum selesai karena turun dari kapal saya harus segera bersiap menuju pegunungan.

(foto foto ada di facebook)

1 komentar:

aslam mengatakan...

tiket dari rawa saban ke pulau pari itu berapa ya??