03 Desember 2009

Uneg Uneg

Siapa yang paling senang dengan ribut ribut saling tuding diantara pejabat sekarang ini, tentulah Pengacara. Mereka kebanjiran job untuk mendampingi para pejabat. Tarif menjadi penasihat hukum para pembesar itu tentunya ratusan juta rupiah. Belum lagi jika artis top yang terkena kasus.

Dimata saya pengacara adalah profesi yang menyebalkan setelah polisi, jaksa, hakim dan anggota DPR. Bisa dilihat gaya mereka berkoar koar di televisi, mengutip pasal pasal hukum. Mereka dibayar untuk mencari celah celah dalam hukum perundangan Indonesia yang memang sangat lemah.

Dengan enaknya mereka menyebut hukum adalah panglima, negara ini adalah negara hukum. Hukum yang mana? yang benar duit adalah panglima mereka. Dasar bodoh harusnya cita cita negara Indonesia adalah Negara Kesejahteraan bukan Negara hukum. Hukum dibuat untuk melindungi rakyat bukannya untuk melepaskan penjahat.

Dan hangudubilah syaiton, saya benar benar muak dengan para pengacara. Apa jadinya jika Indonesia penuh dengan para penyamun yang berwujud pengacara. Mereka kerap menyatakan hukum diibaratkan pedang yang lurus dan tajam, tapi kenyataannya di tangan mereka, hukum laksana keris yang bisa dibengkok bengkok tergantung pesanan. Bisa berluk 7 sampai 12...

Saya melihat Ruhut Sitompul dari Partai Demokrat, dan saya berdoa mudah mudahan orang ini tidak akan muncul lagi di media manapun untuk selamanya. Pernyataan pernyataannya yang astagfirullah begonya sudah cukup sering membuat malu orang Indonesia. Mulai dari orang Arab yang katanya tidak pernah menyumbang peranan apapun bagi Indonesia (satu lagi orang tolol yang males membaca sejarah), sampai kelakuan penjilatnya dalam membela keluarga Presiden. Sebenarnya saya tidak suka menyumpahi orang, namun melihat orang ini mulut saya secara otomatis mengeluarkan sumpah serapah.

Tapi ditengah rasa ingin muntah ini, saya cukup salut dengan pengacara pro bono dari LBH yang berpenampilan sederhana dan menangani kasus kasus kering yang biasanya menimpa wong melarat.

Memang sudah hukum alam orang orang yang menjalani profesinya dengan rasa keadilan sangatlah langka. Berlian memang tidak muncul di sembarang tempat.

28 November 2009

Negara Truly Maling

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat undangan cause untuk bergabung dalam "Truly Malingsia". Ho..ho rupanya masih ada yang panas sehingga membuat cause ini di facebook.

Dari sisi nasionalisme dengan semboyan "right or wrong is my country" tentu ini wajib didukung. Tapi kok saya merasa kurang sreg dengan cause ini.

Kurang sreg karena dengan situasi negara seperti ini kok julukan maling itu rasanya seperti menunjuk diri sendiri.

Malaysia memang bersalah karena mengaku ngaku asal batik dan tari pendet. Tapi mereka sudah meminta maaf. Batik dan tari pendet tetap milik Indonesia. Sisi baiknya tiba tiba pemerintah jadi memperhatikan kebudayaan miliknya sendiri.

Kembali ke sebutan maling itu. Maling maling lain yang lebih merugikan karena menyelewengkan uang rakyat bebas berseliweran di Indonesia, bahkan Polisi dan Jaksa seakan tutup mata. Antara maling dan pejabat hampir susah dibedakan. Maling belum tentu pejabat, tapi pejabat hampir sebagian besar merangkap maling. Orang orang yang berniat memberantas para maling justru harus siap siap kemalingan nyawanya sendiri.

Daripada menuduh negara lain maling, mbok ya lihat dulu diri sendiri jangan jangan sebutan Truly Maling itu lebih pantas disandang Indonesia karena pejabatnya terkenal suka melindungi para maling yang telah mencoleng uang negara. Jangan jangan nanti Republik Indonesia lebih dikenal dengan Republik Maling.
Maling teriak maling kan jadinya

Saya lebih memilih nasionalisme dengan akal sehat daripada nasionalisme membabi buta. Karena kita bukan babi toh?

13 November 2009

Peradaban Agung Yang Terlupakan

Saya selalu terpikat dengan peradaban Asia yang misterius, kadang terkesan penuh mitologi, secara fisik terlihat suram, kumuh dan tidak berkilau seanggun budaya Eropa dalam kasus ini Romawi dan Yunani yang menampilkan sisi klasik aristokrasi.

Sangat mudah dimengerti mengapa orang selalu menoleh ke Perancis atau negara Eropa lain baik barat maupun timur dalam hal kebudayaan dan mencibir terhadap India yang lekat dengan kekumuhan dan kemiskinan.

Padahal jika kita mau sedikit bersusah payah membaca akan segera diketahui bahwa Peradaban yang tertua berteknologi tinggi ditemukan di wilayah India-Pakistan yang terkenal dengan "Peradaban Lembah Indus" berikut kota Mohenjodaro-Harappa. Setelah itu berturut turut muncul Mesopotamia, Mesir, Maya baru kemudian Cina, Yunani dan Romawi. Semua berawal dari Asia, Afrika lalu Eropa. Jadi Budaya Hellenistic ala Yunani dan Romawi yang menjadi cikal bakal peradaban barat dan selalu disanjung sanjung selama ini sebenarnya berusia muda.

Kitab suci Veda merupakan kitab suci tertua saat ini, menurut para ahli dikodifikasikan atau ditulis sekitar sekitar 3000 SM dan dapat disimpulkan budaya tulis di India telah ada 5000 tahun yang lalu. Jika Veda baru ditulis sekitar 5000 tahun yang lalu bisa diartikan bahwa Veda lisan harusnya telah beredar jauh sebelum itu. Yang berarti pulaIndia telah mengenal budaya tulis lebih dahulu dibanding bangsa lainnya.

Dari beberapa bacaan, saya mengerti bahwa Veda bukan saja kitab spiritual keagamaan namun juga merupakan kitab pengetahuan.

Cukup mencengangkan bahwa teori Big Bang mengenai penciptaan alam semesta yang baru diketemukan di abad 20 sebenarnya telah ada dalam Veda, teori relativitasnya Einstein pun telah ada. Mungkin yang dapat membacanya secara tepat adalah ahli Veda.

Seperti ini misalnya "Agnisomau bibhratiapa it tah” artinya air terdiri atas Oksigen dan Hidrogen.

Ada banyak hal yang menarik perhatian berhubungan dengan cerita tentang Mahabarata dan Bharatayudha di dalam Veda yang selama ini kita anggap sebagai dongeng. Berbagai penemuan arkeologis bermunculan seperti kerajaan Dwaraka milik Kresna yang dikisahkan tenggelam ternyata ditemukan situsnya di perbatasan laut India dan Arab. Perang Bharatayuda menurut catatan arkeologis kemungkinan besar memang terjadi karena ditemukan bekas zat radio aktif (nuklir ?) yang cukup besar di bekas wilayah Kurusetra.

Jika begitu apakah pada perang besar ribuan tahun lalu telah dikenal teknologi nuklir? Wallahualam.

Namun segala penemuan itu mudah mudahan dapat membuka mata manusia bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya telah terjadi.

Seperti ambisi Hitler akan adanya ras super bangsa Arya yang diklaim berambut pirang dan bermata biru. Klaim yang akhirnya dibantah oleh para ilmuwan dan arkeologis karena bangsa Arya itu adalah bangsa yang menurunkan bangsa Persia (sekarang Iran).

Begitu juga dengan Max Muller ahli sanskrit asal Jerman yang menyatakan bahwa Peradaban Lembah Indus hancur karena serangan bangsa Arya terhadap bangsa Dravida, bangsa asli India yang berkulit hitam. Suatu teori yang dibantah habis habisan oleh para ahli sejarah India karena manipulatif dan bertendensi adanya niat penghapusan sejarah asal usul bangsa India.

Memang pada akhirnya budaya selatan yang lebih tua tunduk saat Alexander Agung dari Macedonia memulai ekspedisinya menaklukan Persia dan akhirnya Hindustan sehingga menyebarnya budaya Hellenisme dan itu wajar karena setiap peradaban ada masanya. Tapi keagungan budaya selatan tidaklah luntur dengan adanya penaklukan tersebut.

Begitu pula dengan Indonesia yang notabene berada di asia dan lebih dahulu terpapar oleh budaya India, bahkan bukan tidak mungkin pusat Atlantis yang misterius berada di Indonesia (senyum senyum) seperti kata Profesor Aryoso Santos.

Mungkin dengan mengetahui serba sedikit tentang asal kebudayaan dunia bisa membuat mata kita lebih terbuka dan lebih bisa menempatkan budaya barat pada tempatnya. Bahwa sesuatu yang gemerlap tidak selalu unggul. Bisa jadi negara negara dunia ketiga yang miskin dan terbelakang menyimpan kegemilangan masa silam yang coba disembunyikan oleh pihak pihak yang tidak ingin posisinya tergeser oleh kebangkitan negara negara selatan.

11 November 2009

Tragedi Rakyat Minang dari Pembaharu ke Anak Manis

Ada sebuah Divisi tentara yang sangat terkenal pada masa pergolakan kemerdekaan. Selama ini kita hanya mengenal Divisi Diponegoro dan Divisi Siliwangi yang melegenda dengan Long March Siliwangi-nya.

Divisi tersebut berada di Sumatera dan dikenal masa itu dengan nama Divisi Banteng. Dalam divisi itu ada sebuah kompi yang terkenal dengan keberanian dalam menghadapi Inggris dan Belanda, Kompi Harimau Kuranji yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.

Pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang berpindah pindah dari Bukit Tinggi, perkebunan teh Halaban, Bidar Alam dan Payakumbuh, Divisi Bantenglah yang terus bergerak melindungi pemerintahan sementara itu dari serangan Belanda. Sementara di New Delhi AA Maramis terus menyuarakan bahwa Republik Indonesia masih tetap berdiri walaupun Yogyakarta telah diduduki Belanda dan Soekarno Hatta ditawan.

Tragisnya setelah itu di tahun 1949 Divisi Banteng justru diciutkan hanya menjadi 1 brigade. Anggota anggotanya banyak yang pensiun dini atau terpaksa bergabung dengan divisi lainnya di Jawa.

Pada bulan September 1956 saat reuni ex Divisi Banteng di komplek perfilman Persari munculah gagasan untuk mendirikan Dewan Banteng yang fokus pada pembangunan ekonomi di Sumatera Barat setelah kecewa melihat pemerintah pusat yang terlalu memprioritaskan Jawa dan membiarkan daerah lainnya morat marit padahal pada masa itu 70% hasil ekspor berasal dari Sumatera sedangkan Jawa hanya menyumbang 17%.

Dewan Banteng membuktikan janjinya, Sumatera Barat menghentikan upetinya kepada pusat dan menggunakannya untuk keperluan daerah. Pembangunan di Sumatera melaju pesat melampaui daerah lainnya. Tidak hanya itu Dewan Banteng aktif mengadakan perdagangan luar negeri secara langsung tanpa melalui pusat.

Soekarno kelihatannya tidak tertarik pada pembangunan ekonomi, sang Presiden sibuk mengadakan lawatan lawatan dengan rombongan besar ke luar negeri sambil memperkenalkan konsep Nasakomnya. Sibuk melawan imperialisme dan demokrasi liberal namun lalai menyiapkan rakyatnya untuk matang secara ekonomi.

Terlihat sekali perbedaan visi antara pemerintah daerah dan pusat setelah Indonesia merdeka. Bagi daerah kemakmuran bisa dicapai apabila pusat memberikan kebebasan bagi daerah untuk menjalankan kebijakan yang sesuai. Sedangkan pusat yang dikendalikan oleh Soekarno menganut paham sentralistis feodal. Suatu hal yang sangat bertentangan dengan budaya egaliter rakyat Sumatera Barat. Rakyat Minang sudah lama mengenal konsep desentralisasi otonomi daerah dengan istilah nagari

Perbedaan ini kian menajam dan dimanfaatkan dengan cerdik oleh PKI yang berdiri di belakang Soekarno ditambah dengan peristiwa pemboman di Cikini tahun 1957 yang menyebabkan banyak tokoh Masyumi mengungsi dari Jakarta ke Padang karena mendapat teror.

Bisul itu pun pecah, pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syafrudin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. Hal ini dimaksudkan sebagai koreksi atas pemerintah pusat yang dinilai tidak peduli dengan pembangunan daerah karena permintaan mereka agar membentuk zaken cabinet yang terdiri dari orang orang yang cakap dalam bidangnya serta kembali pada tindakan yang konstitusionil sesuai UUD tidak digubris.

Amerika yang cemas melihat pengaruh komunis kian meluas diam diam ikut bermain dengan mendukung gerakan PRRI dan mengirimkan senjata senjata.

Soekarno dan Nasution yang waktu itu menjabat sebagai KSAD menjawab pengumuman itu dengan menerjunkan pasukan terbaiknya untuk menghadapi PRRI yang didukung penuh oleh rakyat Sumatera. Dukungan rakyat Sumatera terhadap PRRI adalah dukungan tulus karena mereka melihat pengabdian Dewan Banteng demi kemajuan daerahnya.

Akhirnya perang saudara yang mengerikan terjadi, dibawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dengan sandi operasi 17 Agustusnya, pasukan tempur gabungan dengan kekuatan penuh mendarat di pantai Parupuk Tabing 2 bulan setelah pengumuman PRRI. Pasukan itu dengan cepat mendesak pasukan rakyat dan hari itu juga Padang jatuh.

Pasukan darat yang terdiri dari Divisi Diponegoro dan Siliwangi terus mengejar sampai ke hutan. Tanpa belas kasihan ribuan rakyat dibantai. Ada banyak cerita tentang kekejaman Divisi Diponegoro ini. Mereka menganggap ini adalah seperti ekspedisi Pamalayu, saat Kertanegara dari Singasari menaklukan kerajaan Pagaruyung. Setelah bergerilya selama 3 tahun akhirnya Ahmad Husein dan Syafrudin Prawiranegara menyerah demi rakyat Sumatera.

Tragedi PRRI ini menimbulkan luka mendalam terhadap masyarakat Minangkabau. Kebanggaan mereka sebagai masyarakat yang berpandangan maju, intelektual dan merdeka terampas dengan perlakuan militer saat itu. Gerakan yang dimaksudkan untuk membuka mata pusat atas ketidakadilan dalam porsi pembangunan dijawab dengan senjata.

Budaya egaliter Minangkabau mungkin jauh lebih tua dari konsep Liberte, Egalite & Fraternette-nya JJ Rousseau yang menjadi simbol revolusi Perancis akhirnya harus tunduk terhadap budaya feodal dari negara yang dulu dibelanya mati matian

Sejak saat itu Minangkabau menjadi anak manis. Sumatera Barat bukan lagi pusat alternatif yang dulu menghasilkan banyak tokoh dalam spektrum kebangsaan yang sangat luas dari Tan Malaka sampai Hamka.

Namun kebisuan itu nampaknya mulai terkoyak; para penulis muda Minang yang mewarisi kemandirian intelektual para pendahulunya mulai mempertanyakan stigma pemberontak yang ditempelkan di dahi mereka.

Sudah saatnya mengembalikan semangat rakyat Minang yang cinta akan kemerdekaan, persamaan derajat dan intelektualitas.

Bagi seorang Ahmad Husein, nasionalisme bukanlah kesetiaan yang membuta terhadap pemerintah yang sah. Seorang nasionalis tulen haruslah berani mengungkapkan mana yang benar dan mana yang salah agar semua dapat berjalan sesuai dengan cita cita luhur bangsanya.

27 Oktober 2009

Tengah malam menjelang, kali ini sasadara sudi memunculkan rupanya yang kuning cerah.

Sosok laki laki berikat kepala wulung berjalan pelan, bayangan meriap mengikuti langkahnya. Sekali kali ia mendongak menatap sinar bulan yang muncrat keemasan.

"Diajeng" keluhnya perlahan,,,,namun ia tetap melangkah membawa hatinya yang retak.

Cahaya sasadara yang gemilang juga memancing minat seorang perempuan untuk memandangi, sekedar menuntaskan isi benak yang nyaris meluap. Pontang panting ia berusaha meredam resahnya.

"Sedang apa kau kakang?"...gumamnya miris. Atas nama kerinduan ia menatap lintang alihan yang meluncur membelah langit.

Amat riuh sepasang manusia itu serentak mengadukan nasibnya kepada lintang alihan yang kebetulan sedang melintas. Angin berdesau lirih memantulkan asmarandhana yang terpenjara oleh takdir.

Nyaris berantakan hati Rakryan Kanuruhan Mahesa Giri saat ini.

Bagi Dyah Narya Rukmi wajah teduh Mahesa Giri adalah gelegak lautan itu sendiri, gelegak yang selalu membawanya pada keindahan ragawi. sudah menjadi kodrat pertemuan dua arus yang berbeda akan selalu menimbulkan gelombang.

Namun sekuat kuatnya gelombang tidak dapat melewati garis pantai yang telah ditentukan. Hasrat yang meluap harus tunduk kepada garis Yang Maha Agung.

Malam semakin larut, suara burung bence melengking tajam menyela angan sang Kanuruhan. Kehangatan tubuh Narya Rukmi masih tetap membekas menimbulkan rindu dan nyeri sekaligus.
"Tahukah kau isi hatiku, Narya Rukmi" desahnya berat.

"Rindukah kau padaku kakang?" lirih perempuan itu berbisik

15 Oktober 2009

Keagungan Sebuah Mandala

Kunjungan terakhir ke Borobudur sangat berkesan. Kunjungan pertama saat SMA dulu sama sekali tidak terekam jelas mungkin karena masih belum mengerti.

Saat terlihat keagungan mandala tersebut dari kejauhan, hatiku berdegup keras. Seolah lambaian dari masa silam berdiri tegak menampakkan wujudnya. Seakan melihat sendiri sosok Rakai Pikatan, Raja Agung dari wangsa Sanjaya sedang melambaikan tangan di anak tangga Kamadhatu. Sosok yang menyatukan dua dinasti besar saat itu, Syailendra dan Sanjaya.

Sambharabudhara yang kelak dikenal dengan Candi Borobudur membawa ajaran Budha bermazab Mahayana. Dimana pada abad ke 9 kerajaan Mataram Kuno yang masih berkedudukan di Jawa Tengah menganut agama Budha Mahayana di bawah pemerintahan Samarattungga dari wangsa Syailendra.

Diperkirakan pada masa Samarattungga inilah pembangunan Borobudur dimulai, yang kalau dikatakan memakan waktu 1 abad berarti dimulai pada abad ke 8 dan diselesaikan saat kekuasaan pindah ke tangan Rakai Pikatan, suami dari Pramodawardhani yang berarti menantu Samarattungga.

Boleh dikatakan pada masa Rakai Pikatan inilah 2 candi masyur yaitu Borobudur dan Prambanan diresmikan. 2 Candi yang membawa peradaban berbeda : Budha dan Hindu.

Borobudur diresmikan oleh sang permaisuri Pramodawardhani yang beragama Budha sedangkan Prambanan didirikan atas prakarsa Rakai Pikatan sang Maharaja Mataram Kuno yang memeluk Hindu Syiwa.

Menyusuri tingkatan Candi yang melambangkan 4 tingkatan kehidupan (Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu dan Arupa) mengingatkan aku pada 4 tingkat nafsu dalam ajaran Sufi Islam : Ammarah, Lawwamah, Mulhamah dan Muthma'inah.

Mengelilingi candi laksana memberikan salam penghormatan terhadap sang arsitek Gunadharma yang berhasil menampilkan religiusitas sekaligus mistis abadi. Memandangi ukiran sekeliling candi berusaha menyerap aroma kehidupan lebih dari 1000 tahun lampau. Mengira ngira bagaimana mengikat batuan ini dengan kuat hanya dengan sistem kait antara batu.

Candi ini terlupakan berabad abad setelah Mataram Kuno berpindah ke Jawa Timur pada jaman Mpu Sindok. Apakah letusan merapi yang menyebabkan perpindahan itu? masih belum jelas.
Yang pasti Candi ini terkubur menjadi bukit dan ditemukan kembali pada jaman Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles di abad 19.

Cukup aneh karena pujangga pujangga kerajaan tidak mewariskan warta tentang kebesaran candi ini kepada Raja raja setelahnya.

Kebesaran Mataram kuno terputus pada jaman Dharmawangsa Teguh. Runtuh setelah serangan dari Wurawari. Kerajaan baru Kahuripan yang didirikan oleh menantunya Airlangga boleh dibilang lepas dari wangsa Syailendra maupun Sanjaya.

Bukankah hal jamak raja baru tidak ingin kebesarannya tertutup oleh raja pendahulunya. Tidak heran bila para Mpu membuat cerita yang menonjolkan raja yang berkuasa pada saat itu dan menghilangkan peran para pendahulunya.

Kita tidak akan menemukan tulisan tentang candi Prambanan pada rontal kitab Desa Vernana atau yang lebih dikenal dengan Negarakertagama karya Pancaksara nama sandi dari Mpu Prapanca pada jaman Majapahit. Padahal Majapahit menganut pula ajaran Hindu Syiwa, namun bisa dimengerti karena Majapahit sebenarnya telah terputus dengan Mataram kuno. Trah Girindrawangsa tidak ada hubungan lagi dengan wangsa Sanjaya, Syailendra atau Isyana.

Budaya tulis saat itu hanya dimiliki oleh kaum Brahmana dan Ksatria. Kalangan sudra yang merupakan kalangan terbanyak tidak diijinkan memiliki pengetahuan seperti halnya 2 kasta atas tersebut. Sehingga bila suatu kerajaan musnah, musnah pulalah jejak dan pengetahuan tentang keberadaannya kecuali jika meninggalkan prasasti di tempat lain.

Sejenak aku berusaha merekam utuh citra sambharabudhara, seperti halnya mencoba merangkum sosok Rakai Pikatan ke dalam mimpi mimpi tentang masa silam dimana tanah ini masih berwujud jatidiri yang berbeda.

10 Oktober 2009

Trilogi Dukuh Paruk

Ingat Novel Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari yang memikat itu? Sebuah trilogi budaya yang telah diterjemahkan ke dalam 5 bahasa asing.

Kalau dimasa remaja dulu saya tidak sengaja menemukan novel tersebut di perpustakaan sekolah dan segera terbenam dalam budaya Banyumas di era tahun 1960-an walau nalar beliaku yang belum genap 14 tahun masih terbengong bengong takjub membaca tradisi bukak klambu yang menggambarkan upacara pelepasan kegadisan seorang ronggeng.

Setelah dewasa saya bersyukur bisa menyelesaikan 2 buku lainnya dari trilogi Dukuh Paruk yaitu Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala.

Ahmad Tohari melukiskan dengan jeli sebuah padukuhan kecil, terbelakang dan melarat bernama Dukuh Paruk yang terletak di Banyumas sana. Dukuh Paruk yang kusam seakan akan mendapatkan energinya kembali saat roh penari ronggeng dipercaya menitis pada Srintil seorang gadis kecil yang kehilangan kedua orang tuanya akibat keracunan tempe bongkrek.

Srintil yang memang memiliki kelebihan fisik dari gadis gadis sekampungnya telah dipersiapkan oleh dukun ronggeng Ki dan Nyai Kartareja. Seorang ronggeng haruslah mempunyai kelebihan daya tarik seksualitas dari wanita lain dan itu dimiliki oleh Srintil. Srintil dihormati oleh setiap wanita di Paruk dengan panggilan Jeng Nganten.

Saya dibuat terpaku dengan kemiskinan yang diperlihatkan dengan gamblang. Rumah rumah dari bilik dengan atap rumbia, halaman yang digunakan untuk buang hajat bahkan sudut kamar tidur yang masih beralaskan tanah sering dipakai untuk buang air kecil. Demikian pula dengan penggambaran seksualitas yang nyaris tanpa tedeng aling aling namun tidak porno.

Tradisi penghormatan terhadap leluhur ditunjukkan dengan pembakaran menyan di makam Ki Secamanggala setiap akan mementaskan tayub.

Srintil tidak meminta untuk menjadi Ronggeng, ia hanya ingin menjadi seorang istri. Cinta terhadap Rasus, teman sepermainan dari kecil membuatnya menyalahi kodrat seorang Ronggeng.

Pada akhirnya penghuni Dukuh Paruk dengan kelompok ronggengnya tidak dapat menghindar dari huru hara berdarah tahun 1965. Kepolosan seni ronggeng dimanfaatkan oleh ketua dari perkumpulan pemuda rakyat sebagai alat propaganda yang berakibat para sesepuh desa termasuk Srintil harus mendekam di penjara tanpa mengerti salah mereka.

Pada akhirnya Srintil tidak kuat menanggung derita. Srintil yang masih tetap cantik dan menjadi primadona setelah bebas justru terganggu syarafnya setelah impiannya menjadi seorang istri dihancurkan oleh Baljus, pria yang dianggap sebagai kekasih dalam usahanya melupakan Rasus.

Membaca Trilogi ini aku merasa dihempaskan ke dalam kepahitan. Betapa kita merasa sebagai manusia kota besar yang berbudaya tapi sebenarnya berhati serigala. Melihat penduduk desa yang melarat tertatih tertatih berusaha bangkit dari kehancuran desa akibat serbuan tentara. Muak melihat kelakuan manusia manusia kota besar yang tega memanfaatkan kenaifan penduduk desa.

Dalam novel ini tergambarkan budaya, gender, cinta, kemanusiaan dan politik yang berpadu dengan indah namun tidak mendayu dayu.

Pada akhirnya muncul kerinduan untuk menjenguk masa lalu dengan kacamata yang bening. Sayang aku telah menjadi produk masa kini. Produk manusia kota yang sering kejam dan dengki dengan alam dan sesamanya.

08 Oktober 2009

Tanah Semenanjung

Wong Agung Wilis. Aku nyaris bersorak saat menemukan kembali mata rantai yang hilang tentang sejarah Blambangan. Sebuah daerah semenanjung di ujung timur pulau Jawa yang kini dikenal dengan Banyuwangi.

Sebuah kisah sejarah yang sempat dibaca namun tidak sampai tuntas di masa kanak kanak dulu, hasil mencuri curi baca di harian Kompas.

Sebuah trilogi karya Putu Praba Darana yang memaparkan perjuangan rakyat blambangan dari jaman Sawunggaling melawan Belanda. Dengan tokoh tokoh nyata seperti Wong Agung Wilis, Sayu Wiwit, Mas Ramad Surawidjaja dan Mas Sratdadi.

Blambangan runtuh sebagai kerajaan Hindu Syiwa terakhir di Jawa setelah Puputan Bayu tahun 1771 yang memusnahkan hampir 90 persen rakyat Blambangan.

Para pewaris darah Tawang Alun tersebut menolak kehadiran Belanda, menolak tawaran modal raksasa yang berujung pada persundalan walaupun harus dibayar dengan nyawa mereka. Dengan caranya sendiri mereka mentertawakan Raja Raja Mataram yang mereka anggap telah menjadi sundal. Sebutan apa yang pantas bagi orang yang menjual harga dirinya kepada bangsa asing selain sundal.

Dengan teliti Praba Darana memaparkan budaya Blambangan saat itu. Para perempuan Blambangan seperti halnya Bali berkain batik dengan gelang binggal di kaki, cundrik diselipkan di depan dan bertelanjang dada. Penampilan yang membuat otak kotor orang orang Belanda maupun pejabat pejabat Mataram menjadi semakin kotor.

Blambangan tertidur panjang setelah Bhre Wirabumi, putra Hayam Wuruk dari selir yang menjadi penguasa Blambangan terbunuh oleh Raden Gajah dalam huru hara perang paregreg di awal abad 15.

Tanah semenanjung ini menggeliat kembali saat Mas Nuwong, pangeran Pati yang kemudian bergelar Mangkuningrat naik tahta sebagai Raja Blambangan. Sementara adiknya Mas Sirna menjadi Patih yang kelak bergelar Wong Agung Wilis.

Dari Wilis inilah darah para satria Blambangan bergolak melihat tangan asing menjarah kekayaan negeri mereka. Sementara Mangkuningrat dan putra sulungnya dihukum Mati oleh Raja Mengwi di Bali karena bekerja sama dengan Belanda.

Putra Putri Wong Agung Wilis melanjutkan perjuangan orang tua mereka sampai darah Tawang Alun tertumpas nyaris punah dalam Puputan Bayu.

Buku ini sama berharganya dengan tetralogi Buru milik Pramoedya Ananta Toer. Cukup mengherankan trilogi Blambangan yang luar biasa ini bisa lolos dari pencekalan rezim Orde Baru saat itu mengingat cukup banyak sindiran terhadap ketamakan penguasa pribumi terhadap para pemodal asing.

Sementara aku terhenyak saat membaca informasi tentang Putu Praba Darana yang namanya sangat Bali itu. Ternyata ia adalah seorang Pendeta Kristen Bethel beribu orang Jawa berbapak orang Bali. Nyaris tak percaya kalau Putu Praba Darana ini adalah pengarang Trilogi Blambangan yang sangat kental dengan nuansa Hindu Syiwanya.

Namun itulah yang patut dihormati, seorang agamawan yang tidak melupakan sejarah asal usulnya.

26 September 2009

Mudiknya Orang Indonesia

Mudik.....sebagai warga muslim Indonesia tentu sudah sangat akrab dengan kata itu. Bisa dibilang mudik selalu berkorelasi dengan Lebaran. Di saat hari raya itulah puluhan bahkan mungkin ratusan ribu warga berduyun duyun kembali ke tanah leluhur, kembali ke asal sebagaimana fitrahnya sebagai manusia yang kelak kembali kepada pencipta-Nya.

Mengharukan melihat ribuan manusia yang kebanyakan sedang berpuasa itu serentak melakukan perjalanan panjang yang sering tersendat di tengah teriknya surya. Demi mereguk kembali kesegaran dan kebersihan spiritual di tempat asal. Di tanah leluhur itulah mereka me-recharge batin sebagai bekal menghadapi kembali siksaan rohani di tanah asing Jakarta.

Mudik memang milik Indonesia, sebuah kultur unik yang tidak akan ditemui di tanah Arab sebagai asal Islam. Sebuah kebudayaan yang nyaris menjadi ibadah wajib setelah sholat Ied dan zakat fitrah.

Mudik juga bisa berubah dari merekatkan tali silaturahim menjadi ajang pemanjaan nafsu komsumtif hasil didikan kota besar namun juga merupakan penggerak putaran ekonomi yang luar biasa bagi kampung halaman. Kuatnya panggilan untuk mudik bisa dilihat dari moda transportasi yang digunakan, bukan hal yang aneh perjalanan ke pelosok Jawa yang memakan waktu lebih dari 10 jam dilakukan oleh ayah ibu bersama 2 anak dengan motor, bahkan kadang ditambah dengan tas berisi pakaian yang diletakkan di belakang dengan bantuan sambungan bambu. Tidak jarang 10 orang mudik bersama dengan menggunakan mobil pick up terbuka yang hanya ditutupi terpal. Semua hanya demi bersilahturahmi dengan kerabat di kampung halaman.

Memang moment pulang kampung juga dikenal di negara barat seperti saat Thanksgiving atau Christmas hanya mungkin tidak sefenomenal di negara kita ini. Di Amerika misalnya kota kota termuka tidak hanya Washington sebagai ibu kota tapi juga ada LA, California, Ohio, Chicago, Seatle, Miami dan kota kota modern lainnya dimana penduduk negara adikuasa tersebut tidak perlu tumplek blek hanya di ibu kota untuk belajar atau mencari nafkah. Hal itu ditambah dengan infrastruktur antar kota bahkan negara bagian yang sangat baik.

Sekarang bandingkan dengan Indonesia, Jawa dengan Jakarta sebagai pusat dari segala pusat kegiatan baik ekonomi, pendidikan, pemerintahan dan bahkan juga kemaksiatan. Jakarta adalah tempat ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia dari berbagai pulau untuk tinggal, mencari nafkah dan juga menuntut ilmu. Kota kota seperti Surabaya, Bandung, Yogyakarta masih berfungsi hanya sebagai penyangga. Apalagi kota kota di luar jawa, SDM mereka tersedot ke jawa sehingga perkembangan kota mereka sendiri mandeg.

Jakarta yang hanya setitik kecil di peta Indonesia ternyata harus menampung para manusia dari pulau yang bahkan lebih besar dari Jawa; tidak heran infrastruktur di Jawa tidak pernah mampu mengejar angka urbanisasi yang mengikuti deret ukur. Saat kaum urban serentak bergerak saat itu pula kemacetan luar biasa melanda jawa. Bukankah fantastis keterlaluannya jika Jakarta-Yogya harus ditempuh selama 30 jam perjalanan darat, melebihi lamanya perjalanan Jakarta-Paris dengan pesawat.

Selama pemerintah Indonesia masih tetap mengikuti gaya VOC yang menempatkan Jawa sebagai sentra model pembangunan selama itu pulalah kesemrawutan akan terus berlangsung.

Mudik adalah suatu keindahan spiritual, alangkah dahsyatnya kekuatan mudik apabila pemerintah meninjau kembali kebijaksanaan pembangunan kota kota di jawa dan non jawa. Jangan sampai kota kota itu menjadi seragam karena para pemudik hanya mengenal satu kebudayaan. Kebudayaan Jakarta.


17 September 2009

Antara Noordin dan Munir

Wajah Kapolri Bambang Hendarso Danuri berseri seri, betapa tidak karena bintangnya seakan makin moncer belakangan ini. Kabar terbaru anak buahnya berhasil membunuh Noordin M. Top, teroris paling top se Asia. Tuntas juga akhirnya perburuan jaringan teroris yang memakan waktu bertahun tahun. Perburuan yang nyaris serupa dengan reality show.

Keberhasilan yang disambut gempita saat konferensi Pers karena bagaimanapun perang melawan terorisme adalah jargon yang paling populer saat ini.

Masih ingat tayangan bom Bali dan Marriot 2 dimana para korban yang umumnya orang asing bergelimpangan.

Anggaplah saya rasis, namun tidak bisa tidak ada sesuatu yang menggelitik syaraf usil saya. Apakah harus bule yang jadi korban baru polisi kita jor jor-an memburu para pelaku.

Bagaimana dengan kejahatan lain seperti misteri pembunuhan Munir misalnya, tampaknya polisi bermalas malasan dalam mengungkap pelakunya. Belum lagi kasus hilangnya Wiji Thukul.

Justru dalam bidang kejahatan kemanusiaan, Polisi tampak abai dengan kasus 2 pendekar hak asasi manusia itu.

Bagi saya pribadi pemecahan pembunuhan dua orang penerima penghargaan Yap Thiam Hien award tersebut lebih berharga dibanding pengejaran 100 orang Noordin M. Top. Kematian dua orang yang sangat menghargai kehidupan sangat menyakitkan dibandingkan kelakuan Noordin M. Top yang menghargai murah nyawa manusia. Satu Noordin mati masih ada Noordin lain, namun belum tentu ada pengganti Munir.

Kelakuan Noordin memang menjijikkan menebar teror sekaligus benih keturunan dimana mana, tapi yang paling mengecewakan nampaknya media terpancing untuk mengekspos habis habisan dan polisi akhirnya menjadi banci tampil.

Tampak luar kejahatan telah ditumpas tapi sebenarnya kejahatan dalam bentuk lain telah lahir. Pengkhianatan terhadap rasa kemanusiaan dan keadilan. Aib yang jelas terlihat tapi tidak dirasakan.

Betapa tragisnya, nyawa Munir dan Wiji Thukul seperti tidak ada apa apanya dibanding nyawa bule bule tersebut. Kematian mereka tetap tersembunyi rapat tanpa niatan untuk menguaknya.

14 September 2009

A Short Note for Hatta

Beberapa hari ini ada sesuatu yang terasa mengganjal di hati saya.

Bermula dari membaca tulisan seseorang tentang Mohamad Hatta. Yang menyengat adalah pernyataan orang itu bahwa orang orang seperti Soekarno dan Hatta bukanlah pahlawan tapi hanyalah pendukung pilar sekularisme.

Terus terang saya luar biasa geram, orang yang tinggal menikmati hasil perjuangan para bapak bangsa tersebut dengan enaknya melemparkan tuduhan keji seperti itu.

Terutama terhadap Hatta, siapa yang meragukan kebersihan hati seorang Hatta. Seorang Buya Hamka saja mengakui pemikiran beliau dengan memuat tulisannya di Panji Masyarakat, Majalah yang dipimpin oleh Hamka.

Hatta telah berjuang sejak belia untuk Indonesia. Sebagai ketua Partai PNI Baru ia membangun jaringan diantara kaum pelajar dan menggalang persatuan. Melalui pidatonya "Indonesia Vrij" ia terang terangan menggugat penjajahan Belanda atas Indonesia. Bertahun tahun ia menjalani pembuangan di Banda Neira bersama Tjipto Mangunkoesoemo seorang tokoh Indische Partij.

Siapa pun mengakui bahwa Hatta adalah seseorang yang selalu sesuai antara pernyataan dan tindakannya; seorang zuhud yang tidak silau dengan jabatan. Ia justru mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden saat merasa tidak sesuai dengan tindakan Bung Karno yang merubah tatanan pemerintahan menjadi demokrasi terpimpin yang sentralistis.

Melalui tulisan "Demokrasi Kita" yang dimuat di majalah Panji Masyarakat, ia mengeritik pelaku demokrasi, para pemimpin partai yang mengejar jabatan dalam kabinet. Memang dalam demokrasi multipartai saat itu terdapat perselisihan yang menyebabkan kabinet bolak balik mengalami pergantian sehingga banyak program pembangunan yang terbengkalai. Tapi sekali lagi Hatta membedakan antara pelaku demokrasi dengan sistem demokrasi itu sendiri.

Jauh sebelum marak sebutan ekonomi kerakyatan yang kini digembar gemborkan oleh para pahlawan kesiangan itu, Hatta telah merancang sistem perekonomian berbasis kerakyatan seperti Koperasi.

Hatta memang menghapuskan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang kini dipermasalahkan orang orang picik tersebut yaitu "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" namun sebenarnya itu tidak menghilangkan esensi kewajiban sebagai seorang pemeluk agama. Hatta adalah muslim yang sesungguhnya.

Ia melakukan itu demi persatuan bangsa Indonesia karena menyadari negara ini dibangun atas pengorbanan anak negeri yang berasal dari multi agama. Bahwa tidak perlu penulisan formal terhadap suatu agama, yang penting adalah penerapan ajaran agama terhadap diri pribadi.

Bahkan Quraish Shihab juga menegaskan untuk memilih pemimpin yang benar benar menerapkan ajaran agama yang dianutnya apapun agama tersebut karena menurut beliau agama apapun pasti mengajarkan kebaikan.

Tulisan saya kali ini merupakan penghormatan saya terhadap Mohamad Hatta sebagai seorang bapak bangsa sekaligus sebagai seorang muslim.

06 September 2009

Setetes Nasionalisme

Siang itu matahari bersinar terik, 2 anak perempuan berseragam SMP terlihat berjalan sambil mengobrol. Obrolan berkisar pada dunia remaja seperti musik dan artis.

"Selera elo rendah!" kata si gadis yang satu kepada temannya seorang anak perempuan bertubuh kurus seperti lidi.

Si kurus terhenyak, tanpa segan ia memamerkan wajah sebalnya. "Ngapain sih elo suka sama lagu lagu Indonesia?" serang temannya sekali lagi. "Emang kenapa?" tanya si kurus tandas.,,,,"Kampungan, tahu!!" balas temannya lagi.

Kali ini anak kurus itu tidak berkata kata kecuali terdiam,,,,

Penggalan dialog puluhan tahun silam itu tiba tiba terngiang lagi saat sedang ramainya klaim budaya Indonesia oleh Malaysia.

Anak kurus yang kini telah dewasa itu hanya bisa tersenyum sinis mendengar orang orang yang terbiasa menari balet dan salsa, menyukai musik Jazz tiba tiba ikut berteriak saat reog Ponorogo dan tari pendet dicolong oleh Malaysia. Orang orang yang selalu bangga bila cas cis cus dalam bahasa Inggris kini seperti kebakaran jenggot.

Tiba tiba rasa bangga akan budaya dan bahasa Indonesia demikian meruak.

Ia hanya bisa mengurut dada, Ia produk masa kini tapi tak pernah bisa lebur dengan kekinian. Ia mencintai segala sesuatu yang kuno dan usang yang berasal dari negerinya. Seperti lagu lagu Ismail Marzuki yang diciptakan jauh sebelum ia lahir, film film jadul seperti Gita Cinta dari SMA. File file sejarah yang dilupakan orang tapi justru terlihat sexy di matanya.
Ia benci Jazz, musik barat yang menampilkan nada nada setengah dan selalu tanggung itu serta selalu heran kenapa jika Java Jazz bisa diadakan setahun sekali dengan gegap gempita tapi tidak ada dana untuk event musik tradisional yang dipadukan dengan musik pop Indonesia misalnya.
Ia mengagumi bahasa bahasa etnis kepulauan dan selalu menunggu nunggu karya iklan rokok yang menampilkan budaya Indonesia.

Benar ia pernah menyukai boys band luar negeri seperti Boyzone, Backstreetboys tapi itu tidak menghilangkan kesukaannya akan pemusik pemusik lokal seperti Chrisye, Kahitna, Gigi dan sederet group musik pada masa itu. Ia justru bertepuk tangan keras keras saat melihat konser Chrisye yang menampilkan Waljinah.

Kali ini ia menggeleng geleng, sesuatu yang dianggap kampungan di masa lalu kini menjadi trend. Trend nasionalisme.

03 September 2009

Farag Fouda - kebenaran Yang Hilang

Baru baru ini saya membaca buku karangan Farag Fouda, seorang intelektual Mesir. Sebelumnya saya belum pernah mendengar nama tersebut, namun setelah research singkat di Google ternyata nama ini cukup menghebohkan di kalangan agamawan. Buku ini direferensikan oleh beberapa orang seperti Goenawan Mohamad dan Ahmad Syafii Maarif tapi dihujat oleh beberapa kelompok Muslim yang lain.

Al Khulafa Al Rasyidun atau 4 khalifah pertama setelah Nabi Muhammad SAW adalah orang orang yang sangat dihormati di dunia Islam, dan jaman mereka dianggap sebagai jaman keemasan tapi dengan gamblang Fouda menuliskan kematian Khalifah ketiga Usman bin Affan yang tragis akibat dibunuh sesama muslim dimana jenazahnya bahkan sempat ditolak untuk dimakamkan di pemakaman Muslim. Hal ini sudah tentu menyulut kemarahan dunia Islam. Banyak hujatan terhadap Fouda karena apa yang dituliskan dianggap tidak berasal dari sumber yang sahih.

Jaman 4 Khalifah itupun menurut Fouda hanyalah jaman biasa saja bahkan penuh dengan peperangan diantara kaum muslimin yang merupakan para sahabat Nabi.

Saya pernah menulis bahwa jaman setelah keempat Khalifah tersebut tak lebih dari jaman dinasti turun temurun dimana para khalifah jatuh pada hedonisme. Namun Fouda dengan lebih rinci menguraikan Khalifah Yazid yang mempunyai ribuan gundik, Al Walid yang seorang homoseksual dan hobby membidik Al Qur'an dengan panahnya. Atau pendiri dinasti Abbasiyah yang dijuluki Al Saffah alias si penjagal. Keadaan yang sungguh membuat saya tercengang.

Tapi Fouda juga mengungkapkan dengan hedonisme tersebut justru dunia pengetahuan jaman dinasti Abbasiyah berkembang cemerlang. Bahwa pemimpin di bidang agama dan politik atau negarawan memang harus dibedakan. Mungkin Muhammad SAW memang dianugerahi kemampuan sebagai pemuka agama sekaligus pemimpin politik namun hal ini tidak berlaku terhadap pemimpin sesudahnya. Hal ini memang menimbulkan kebingungan jika orang mencampuradukkan antara kedudukan Khalifah sebagai pemimpin negara sekaligus pemuka agama. Karena hampir tidak ada satupun Khalifah baik dari dinasti Abbasiyah maupun Umayyah yang benar benar taat pada hukum hukum Islam.

Tiba tiba saya teringat kepada jaman Amangkurat 1 yang kabarnya telah membantai ribuan ulama justru dengan kedudukannya sebagai Sayyidin Panotogomo Khalifatulah tanah Jawi. Terasa sekali persamaannya.

Saya pribadi kurang menguasai sejarah Islam dan sama sekali tidak menguasai ilmu hadis. Apa yang saya baca dari berbagai buku termasuk dari Farag Fouda ini saya anggap sebagai alternatif pembelajaran. Tapi jika saja Fouda menulis ide idenya ini dengan bahasa yang sedikit lebih halus mungkin akibatnya tidak sefatal sehingga harus kehilangan nyawanya.

Latar belakang Fouda sebagai Doktor ekonomi pertanian dan bukan ahli hadis maupun fiqih bisa jadi turut memacu kemarahan dunia Islam di Mesir khususnya.

Saya juga tidak memungkiri jika masa perkembangan awal Islam memang sebrutal itu, tapi ada banyak orang yang tidak ingin romantisme mereka diganggu dengan pemaparan yang tidak sesuai dengan impian. Sejarah memang tidak sakral maka selalu terbuka kemungkinan penemuan fakta fakta yang bisa merubah pandangan terhadap masa lalu walaupun diperlukan perjuangan berat untuk itu.

Sejarah dan tokoh tokoh agama yang serba suci tak tercela memang lebih pantas untuk diperdengarkan sebagai dongeng untuk anak anak. Tidak mungkin menceritakan pembalasan dendam Al Saffah terhadap bani Umayyah dengan membakari mayat mayat mereka kepada anak anak seperti sama tidak mungkinnya bagi umat Kristiani menceritakan kepada anak anak mereka perihal Daud yang merebut Betsyeba dari tangan Uria.

Ada juga terbersit angan angan apakah sejarah Islam yang berdarah darah itu karena sifat bangsa Arab yang getas dan puritan, apakah tidak salah Tuhan menurunkan wahyu di tanah Arab. Mengapa Islam tidak bermula di Indonesia misalnya, bukankah pada abad ke 6 sudah ada kerajaan Hindu Tarumanegara. Islam yang berprinsip egaliter tentu sesuai dengan keadaan Umat Hindu yang berkasta kasta.

Tapi mungkin juga jika Islam diturunkan di Indonesia pertama kali perkembangannya tidak akan seekspansif sekarang. Mengingat watak kita yang cenderung permisif dan halus, sama sekali bukan tipe penyebar agama dan belum mapannya pelayaran antar negara. Lihat saja agama Hindu dan Budha yang telah datang lebih dulu toh tidak membuat para penganutnya di nusantara melanglang ke belahan dunia lain untuk menyebar ajaran itu.

Tentu berbeda dengan bangsa Arab yang agresif sesuai dengan asalnya di daerah gurun serta berjiwa pedagang dan pengembara dimana semua masalah diselesaikan dengan pedang.

Agama ini akhirnya bertemu dengan super soulmatenya yaitu Kristiani yang juga sangat agresif dalam menyebarkan kepercayaannya. Dua agama pedang bertemu saling memperebutkan tempat pertama sekali lagi atas nama Tuhan dan melupakan kedamaian yang merupakan prinsip dasar.

Sekali lagi buku karya Fouda ini tidaklah harus membuat kita membenci sejarah Islam tapi tidak juga harus ditolak mentah mentah. Buku ini adalah sebuah alternatif pemikiran yang coba meneropong masa lalu dengan lebih manusiawi.


31 Agustus 2009

Trah Kusuma Rembesing Madu

Trah Kusuma Rembesing Madu, kata kata itu sering keluar dari mulut para bangsawan Jawa untuk menegaskan bahwa mereka keturunan orang orang terpilih.

Kalau jaman dulu kita masih bisa manggut manggut mengamini, jaman sekarang kita terpaksa manggut manggut sambil diam diam menahan tawa. Tentu bukan masanya lagi melihat segala sesuatu dari asal keturunan.

Sebenarnya apa sih yang membuat leluhur mereka menjadi berdarah biru? semata mata wahyu atau hasil kerja keras.

Jika ditelusuri ke belakang, katakanlah pada masa Ken Arok. Bisa dikatakan ia hanya seorang perampok yang kebetulan katanya mendapatkan wahyu. Otak yang cerdas ditambah wahyu jadilah ia orang yang disegani. Sang wahyu dalam hal ini memang tidak pandang bulu kemana ia akan jatuh, seorang perampok sadis bisa ketiban untung, sedangkan Lohgawe sang brahmana suci hanya ketitipan menjaga manusia pilihan tersebut.

Sementara Ken Dedes, apalah keistimewaan perempuan ini selain hanya kebetulan mendapat wahyu.

Berdua, para pembawa wahyu ini menurunkan manusia manusia yang kelak katanya menjadi raja tanah Jawa. Tapi toh wahyu tersebut ada masa kadaluawarsa, wahyu tidak dapat diturunkan kepada anak cucu sekehendak hati. Terbukti wahyu mendadak terhenti saat para keturunan mereka saling bunuh. Trah Kusumah Rembesing Madu tidak ada gunanya sama sekali, Singasari hancur berkeping keping.

Wahyu muncul kembali pada diri Raden Wijaya saat membangun hutan Tarik, bersama Sri Jayendradewi Dyah Gayatri mereka kelak bercucukan Raden Tetep alias Hayam Wuruk.

Apakah Majapahit besar karena Hayam Wuruk, karena galur wahyu dan kedudukannya sebagai trah orang orang terpilih? omong kosong!!!......

Majapahit besar justru karena kerja keras Gajah Mada, Sang Mahapatih Hamangkubumi yang berasal dari orang biasa. Keturunan pidak pidarakan bukan orang yang mendadak kewahyon seperti layaknya Ken Arok.

Imperium Majapahit terwujud karena seorang Gajah Mada yang rela meninggalkan kesenangan dunia demi terwujudnya kebesaran negara.

Hayam Wuruk dan keluarganya bisa duduk manis di atas tahta`karena Gajah Mada yang menggelar pemerintahan dan membangun angkatan perang dengan visinya yang jauh ke depan.

Terbukti setelah Mpu Mada wafat, Hayam Wuruk tidak lagi mampu mengendalikan negara negara bawahan. Satu demi satu lepas. Para bangsawan yang ketularan madu tersebut tidak ada apa apanya dibanding Gajah Mada. Mereka tidak jauh beda seperti rakyat kebanyakan yang ngiler melihat kekuasaan.

Anak keturunannya berebut tahta. Wilwatikta hancur lebur akibat perang saudara, akibat ketamakan para keturunan trah terhormat.

Sejarah yang sama juga terulang pada jaman Mataram Islam. yang juga mengaku keturunan Raja Majapahit. Para Raja menjual wilayah dan harga dirinya kepada Belanda. Apanya yang rembesing madu? Madu sudah berubah menjadi racun. Para bangsawan malas yang akhirnya digilas oleh jaman

Sayang Gajah Mada tidak menikah sehingga tidak meninggalkan keturunan, tidak ada prasasti hidup untuk menggemakan hasil kerja kerasnya.

Sungguh saya ingin menempeleng orang orang yang mengaku sebagai trah kusuma rembesing madunya Majapahit, orang orang yang tak tahu malu mengakui kebesaran Majapahit sebagai kebesaran leluhurnya.

Jika boleh jujur, bukankah mereka sebenarnya hanya keturunan Ken Arok si perampok?

22 Agustus 2009

Perjalanan

Pagi itu saya bersiap siap menuju Pulau Pari yang terletak di gugusan Kepulauan Seribu.

Dengan menggendong ransel yang cukup berat saya mengayun langkah menuju tempat pertemuan di sebuah kantin kecil di YTKI. Janji untuk berkumpul jam 9 pagi.

Terminal Blok M sudah mulai ramai, setelah melirik arloji ternyata masih jam 8 kurang, sempat termangu mangu sejenak akhirnya memutuskan untuk berkeliaran melihat lihat di sekitar terminal mumpung sempat.

Jam 9 kurang sedikit saya sampai di YTKI, celingak celinguk ternyata belum ada orang. Ya sudah minum dulu,,,,Belum habis minuman terlihat Erwin melambaikan tangan di parkiran kemudian Daniel juga datang. Sempat mengobrol sebentar sebelum akhirnya berjalan bareng menuju parkir lantai 8. Di sana sudah menunggu 4 teman lagi untuk bergabung.

Persinggahan pertama adalah pelabuhan Rawa Saban, Muara Cituis, di tangerang. Di sana ada kapal penyeberangan ke pulau Pari yang berangkat jam 12:00. Kami bertujuh menuju warung dekat pelabuhan untuk makan siang setelah menitipkan mobil di rumah penduduk. Hawa panas dan bau khas pelabuhan terasa menyengat.

Rawa Saban adalah pelabuhan kecil yang dangkal karena lumpur yang menimbuni dasar pantai. Tidak jarang kapal kandas sebelum masuk pelabuhan saking dangkalnya. Bayangkan hampir 100 meter dari pelabuhan kedalamannya masih setinggu pinggang. Kenek kapal seringkali harus mencebur karena dasar kapal tersangkut sesuatu.

Tidak terlalu banyak penumpang kapal, saya melongok ke atas atap kapal yang mengangkut juga motor motor dan hasil bumi.

Perjalanan ke Pulau Pari dengan kapal memakan waktu sekitar 1,5 jam, ombak pantai utara sangatlah tenang, tidak ada apa apanya dibanding pantai selatan yang saya kenal.

Perlahan lahan pulau Pari mulai terlihat, ternyata pulau ini dikelilingi palung sehingga perairan sekitarnya terlihat seperti kolam yang tenang. Lautnya dangkal berair jernih sehingga terlihat jelas rumput liar yang tumbuh dalam laut. Tidak ada resort di pulau ini yang justru terlihat makin alami.

Turun kapal kami menyusuri jalan pulau yang terbuat dari cornblock dan cukup teduh menuju rumah Pak Ujang, salah satu tokoh perlindungan biota laut di pulau itu untuk menginap. Ternyata Pak Ujang telah menyambut kami dan mengeluarkan makanan kecil berupa sukun goreng, dilanjutkan dengan makanan utama berupa ikan belanak goreng yang seperti ikan jaman purba, rajungan dan ikan lain yang entah apa namanya.

Tujuan kami ke pulau Pari adalah untuk melihat keramba ikan kakap putih milik Erwin dan Jaffry yang dikelola oleh Pak Ujang dan anak buahnya. Saya memang berminat mencoba merambah ke budidaya kakap putih. Tapi untuk itu memang harus melihat langsung lokasi pembiakan yang berada sedikit di tengah laut sehingga harus selalu menggunakan perahu.

Puas mengelilingi keramba dengan perahu kecil, kami segera kembali sambil membicarakan beberapa kemungkinan. Tentunya saya harus mengamati dulu perkembangan baru kemudian menentukan langkah selanjutnya seperti letak keramba, jumlah tenaga kerja, dsb.

Setelah mengobrol kesana kemari ternyata baru saya tahu bahwa sebelumnya penduduk pulau menanam rumput laut bertahun tahun yang lalu bahkan sempat menjadi primadona. Namun semuanya berakhir akibat polusi yang berasal dari industri yang membuang limbah di laut lepas,,,,,miris.!!! Singkatnya penduduk pulau membutuhkan dana untuk beralih produksi.

Karena perairannya yang jernih, kegiatan snorkeling sering diadakan di sini. Lagi menurut Pak Ujang, tanah di pulau Pari ternyata sempat dijual ke pengusaha non Pribumi dan sampai sekarang masih bersengketa.

Menghabiskan sore itu kami berkeliaran mengelilingi jalan jalan di pulau kecil tersebut, menyusuri pantai, melihat budidaya bakau dan mengunjungi balai penelitian LIPI sampai adzan Maghrib terdengar.

Mandi dengan menggunakan air pulau yang payau tentu kurang enak, tapi ternyata air di pulau ini berkualitas paling baik dibanding pulau pulau lainnya seperti Pulau Pramuka, pulau Lancang dsb.

Malamnya kami berniat memancing di tengah laut, jam 9 malam dengan tersaruk saruk hanya ditemani sinar bulan kami berjalan menyusuri hutan kecil menuju pantai dan susah payah mendorong perahu perahu ke laut. Laut yang tampak kehitaman sangatlah tenang. Malangnya perahu yang saya tumpangi tidak mendapat ikan sama sekali. Bosan, akhirnya kembali ke darat setelah 2 jam berputar putar dengan sia sia. Pemandu perahu kami tidak berani terlalu ke tengah, takut dengan bajak laut katanya. Ngeri juga dengan adanya perempuan di perahu bisa dipastikan tidak akan selamat jika bertemu bajak laut yang katanya kebanyakan berasal dari Sulawesi.

Dengan ditemani oleh salah satu anak buah Pak Ujang, saya mendengarkan kehidupan nelayan yang keras. Hampir semua nelayan yang juga menjadi penyelam mempunyai paru paru rusak akibat seringnya menyelam menggunakan udara dari kompresor yang tercemar CO2 karena mahalnya peralatan selam yang menggunakan oksigen murni.

Saya hanya bisa manggut manggut berusaha memahami di tengah angin laut yang menggigit tulang.

Setelah itu kita tidur karena keesokan harinya harus kembali ke Jakarta pagi pagi.
Paginya setelah sarapan kita bersiap ke dermaga, kali ini saya dan Daniel memilih duduk di atap kapal karena penasaran. Bersama beberapa unit motor dan kayu kayu yang diikat akhirnya saya memilih tempat di atap bagian tengah. Menarik juga berada di atas atap kapal yang melaju,,,melihat ombak yang landai, saya merasa jika terjadi sesuatu saya masih mampu berenang.

Mendekati Rawa Saban kapal sempat terhambat karena pendangkalan, was was juga takut kapal kandas. Melihat air laut yang kotor lebih mengerikan dibanding jika harus berenang di perairan lepas tadi.

Syukurlah kapal akhirnya bisa menghampiri dermaga. Sungguh perjalanan yang menarik. Namun buat saya belum selesai karena turun dari kapal saya harus segera bersiap menuju pegunungan.

(foto foto ada di facebook)

20 Agustus 2009

Atas nama perubahan

Perubahan hampir selalu identik dengan kemajuan. Jaman selalu bergerak selalu berubah mengikuti kodrat sifat manusia yang selalu ingin lebih. Hanya saja perubahan tersebut ibarat pisau bermata dua, baik disatu sisi namun belum tentu di sisi lain.
Indonesia sebagai negara berkembang tentu membutuhkan banyak perubahan sebagai alat transisi mengejar kemajuan agar setara dengan negara lain.
Dari sekian banyak bidang, ada satu yang sedang digalakkan yaitu infrastruktur untuk transportasi alias jalan. Sejak Daendels berupaya menghubungkan sudut sudut pulau Jawa dengan Jalan Raya Posnya, pemerintah Republik pun memperluas usaha Daendels tidak saja di pulau Jawa tapi juga menghubungkan pulau Jawa dengan pulau sekitar.
Tak pelak jalan jalan yang dibangun di Jawa membuat kota kota utama menjadi metropolitan dan rejeki perubahan yang semula diharapkan juga dapat dinikmati oleh kota kota kecil sekitarnya apa boleh buat tinggal harapan. Dari buku Ekspedisi Anyer Panarukan dapat dibaca nasib kota kota kecil yang dilalui jalan raya tersebut.
Kota kota tersebut menjadi kota penyangga bagi kota besar, timbulnya urbanisasi besar besaran, investor kota besar yang akhirnya menjarah tanah kota kota kecil itu dan menyisakan problem bagi penduduk setempat.
Yang terbaru adalah pembangunan jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dengan Madura. Di hari pertama jembatan itu beroperasi pelabuhan laut Kamal Madura dan Tanjung Perak Surabaya mendadak sepi, yang berimbas kepada pendapatan kapal laut dan pedagang sekitar pelabuhan. Seretnya rejeki tentu akan berkelanjutan di hari hari setelahnya.
Entah apa rencana pemerintah untuk pelabuhan pelabuhan itu agar tidak terbengkalai. Di sisi lain masyarakat Madura menghadapi tantangan langsung terhadap para pendatang yang menyerbu pulau Mereka. Para pendatang yang lebih berada dan canggih maupun para pendatang yang lebih gigih dalam kegiatan berekonomi. Jangan sampai perekonomian Madura diambil alih oleh Jakarta dan penduduk asli hanya menjadi penonton di kampung sendiri. Mereka masih tetap pontang panting mengais remah remah yang ditinggalkan pendatang,
Belum habis kehebohan akibat Suramadu, tiba tiba telah disiapkan pula pembangunan Jembatan Selat Sunda. Suramadu jelas tidak ada apa apanya dibanding Selat Sunda. Jembatan sepanjang sekitar 30 km ini akan menghubungkan Jawa dengan Lampung melalui selat sunda yang terkenal berombak ganas dengan resiko gempa laut dan letusan gunung api Krakatau. Pelabuhan Merak dan Bakauheni harus bersiap siap menghadapi keadaan ini. Mungkin saja pelabuhan pelabuhan itu bisa beralih menjadi pelabuhan wisata misalnya.
Timbul pertanyaan perlukah jembatan jembatan itu dibangun? Siapakah yang paling menikmati kemudahan tersebut, penduduk asli ataukah lagi lagi Jawa dengan kata lain Jakarta yang paling diuntungkan?
Kemarin ini Kompas menurunkan laporan mengenai pulau pulau perbatasan yang berkondisi mengenaskan. Apakah tidak sebaiknya dana 100 trilyun untuk jembatan Selat Sunda dialihkan untuk membangun daerah daerah tersebut agar penduduk asli turut dapat menikmati 64 tahun kemerdekaan RI.
Akan kemanakah pelabuhan pelabuhan kita? apakah nasibnya akan meniru Lasem, bekas pelabuhan kuno yang dahulu begitu masyur. Bagaimana nasib pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang dulu bernama Ujung Galuh tempat pemusatan armada kapal perang Majapahit, relakah kita kehilangan lagi satu lambang identitas sebagai negara kepulauan?
Hanya sekedar pertanyaan.

16 Agustus 2009

Gerakan Rakyat Dunia Ketiga

Membaca buku mengenai Gerakan Rakyat Dunia Ketiga terbitan INSIST diantara sekian banyak gerakan massa saya tertarik dengan gerakan Narmada Bachao Andolan yang menentang pembangunan waduk Sardar Sarovar di India. Waduk yang dibangun dari dana pinjaman Bank Dunia ini direncanakan akan mengairi 1,8 juta ha tanah tapi di sisi lain akan menenggelamkan 37 ribu ha tanah termasuk di dalamnya 13 ribu ha hutan primer.

Proyek ini akan mengenyahkan secara paksa ribuan keluarga yang tinggal di lembah Narmada. Mereka dicabut secara paksa dari lingkungan mereka tanpa mendapatkan kompensasi yang memadai.

Pengenyahan secara paksa ini mengingatkan pada peristiwa pembangunan waduk Kedung Ombo sekitar tahun 1989 yang entah kenapa sama persis keadaannya. Proyek ini juga dibangun dengan pinjaman Bank Dunia. Penghuni Kedung Ombo juga dienyahkan secara paksa, keluarga keluarga yang bertekad mempertahankan haknya diintimidasi oleh aparat.

Rakyat dari 2 negara yang sama sama merupakan negara dunia ketiga mengalami nasib serupa; kehilangan hak mereka atas penghidupan dan tempat tinggal.

Hanya jika Kedung Ombo minim sekali dukungannya akibat pemerintahan represif orde baru sedangkan gerakan Narmada didukung luas oleh para Intelektual, profesional, pemimpin masyarakat. Gerakan ini juga menyajikan analisis dampak lingkungan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Gerakan gerakan rakyat diberbagai negara tersebut menunjukkan penentangan atas ekonomi Kapitalis yang menghancurkan ekonomi dan budaya kaum pedesaan.

05 Agustus 2009

Grameen dan Ekonomi Kerakyatan

Isu yang dibawa Prabowo tentang ekonomi kerakyatan (sekarang dia masih inget gak ya..?) mengingatkan pada salah satu buku yang saya miliki, sangat inspiratif sehingga tetap menyenangkan walau dibaca berulang ulang. Tentang Bank Kaum Miskin.

Sekedar kilas balik, Saat munculnya sekelompok ekonom di tahun 1970-an, kemudian disebut Mafia Berkeley yang dikomandani oleh Widjojo Nitisastro yang membuka keran besar besar untuk pinjaman asing guna kegiatan makro ekonomi di Indonesia, Profesor Muhammad Yunus seorang dosen ekonomi dari Universitas Chittagong Bangladesh justru merasa frustrasi dengan cara kerja Bank Dunia dan kegiatan makro ekonominya. Segala teori ekonomi canggih yang diajarkannya sama sekali tidak berpengaruh untuk merubah kemiskinan akut disekelilingnya.

Saya membayangkan bahwa sistem laissez faire maupun teori invisible hand nya Adam Smith justru memperburuk kondisi masyarakat akar rumput di Bangladesh. Bandul keseimbangan cenderung bergerak ke arah pemilik modal.

Proyek proyek ekonomi yang didanai oleh Bank Dunia sama sekali tidak menyentuh rakyat miskin, sama seperti di Indonesia justru yang diuntungkan adalah pemilik alat produksi.

Di saat yang sama Bank juga menerapkan sistem diluar jangkauan kaum miskin yang kebanyakan buta huruf untuk meminjam uang.

Yunus terkejut saat mengetahui bahwa hanya USD 27 ,pinjaman yang dibutuhkan oleh 42 keluarga termiskin Bangladesh untuk dapat berwirausaha.

Dengan pemahaman itu, Yunus bergerak menemui bank bank konvensional dengan jaminan dirinya sendiri guna mendapat pinjaman yang akan dipinjamkan kembali kepada keluarga miskin. Bagaikan bola salju dari USD 27, akhirnya Grameen Bank didirikan khusus untuk memberikan pinjaman kepada keluarga miskin di Bangladesh. Pinjaman dengan bunga sangat rendah dan sangat fleksibel.

Usaha Yunus menggerakkan wirausaha skala kecil, bukanlah mudah..ia harus menghadapi kendala dari otoritas keagamaan, budaya dan intimidasi lainnya, termasuk diremehkan oleh Bank Dunia. Setelah berhasil pun ia harus menghadapi Bank Dunia yang mengklaim hasil kerja Grameen Bank sebagai kesuksesan mereka.

Yunus sebagai dosen yang menggeluti teori ekonomi tahu benar bahwa makro yang kuat berasal dari mikro yang baik. Bahwa mengabaikan mikro hanya akan merapuhkan sendi sendi ekonomi makro.

Bahwa orang miskin jangan disuapi dengan donasi tapi berilah mereka kesempatan dengan pinjaman modal. Pemberian tunjangan kesejahteraan hanya akan merampas hak mereka untuk berusaha.

Mungkin Indonesia harus menoleh ke Bangladesh, jika ternyata USA juga belajar ke Bangladesh hal itu nyata mencerminkan bahwa negara adi kuasa itu sebenarnya sangat rapuh. Kegiatan ekonomi mereka dikuasai hanya oleh segelintir orang.

Saatnya menguatkan yang mikro, jika orang orang kecil itu menjadi kuat, bandul ekonomi akan tetap berdiri di tengah tengah.

29 Juli 2009

Apa kabarmu Belahan Jiwa?
Sudah lama kita tak bertemu.
Tampaknya pengembaraan panjang membuat jalan kita tak bersinggungan.
Angin yang bertiup hanya membawa kabar samar.

Tapi jangan kuatir,
Setengah jiwamu masih bersamaku, tersembunyi aman di dalam relung, hanya aku yang tahu.
Bagaimana dengan kepingan hati yang kutitipkan padamu?
Semoga ia tetap utuh dan menemanimu dalam perjalanan hidup.

Sekilas kita saling menyapa di suatu persimpangan, menceritakan pahit manisnya kehidupan
dan bersiap kembali melanjutkan takdir menuju arah yang berbeda.
Saling melambaikan tangan, tak lupa mengguratkan jejak untuk dapat dibaca antara kita.

19 Juli 2009

Teror Itu Bernama Militer

Ada ungkapan ungkapan jahil tapi mendekati kebenaran jika kita membandingkan pemerintahan Soeharto dengan pemerintahan pasca beliau berkenaan dengan teror bom yang marak di Jakarta.

Pada jaman Orba Jakarta sangat aman, ingat petrus? jangan harap bisa membuat kekacauan di Jawa jika masih ingin melihat anak keturunan, masa masa di mana stabilitas politik adalah harga mati. Iklim ekonomi yes politik no. Ali Moertopo dengan Opsusnya mempunyai kekuasaan hampir tak terbatas, setelah Soeharto tentunya. Pembunuhan masal oleh milisi dan tentara berlangsung aman di Timor Timur dan Aceh, jauh dari Jakarta. Tentara terutama AD menguasai segi segi kehidupan dari hilir sampai hulu.

Tidak ada yang abadi di dunia ini, rezim Soeharto tumbang, beberapa Presiden telah memimpin Indonesia. Mulailah teror bom marak di Indonesia. Indonesia pasca Soeharto telah menjadi negara bebas dalam banyak arti. Bebas mengeluarkan pendapat, bebas berdemonstrasi, bebas menebar teror.

Entah apa karena dana militer yang hampir habis dipangkas membuat aparat keamanan dan BIN loyo atau memang militer sendiri yang bermain.

Siapa yang bisa membantah peran militer saat penerapan DOM yang berkepanjangan di Aceh. GAM justru memperoleh suply senjata dari TNI. Mungkin saja ada bantahan itu adalah oknum tentara, tapi jika ratusan unit senjata bisa diperjualbelikan maka yang terlibat bisa jadi institusi. Perang Aceh menjadi lahan bisnis tentara. Kita tentu masih ingat pembantaian pesantren Tengku Bantaqiah. Tengku Bantaqiah adalah seorang ulama yang disegani di Aceh. Tuduhan sebagai salah satu Menteri GAM membuatnya divonis penjara selama 20 tahun. Saat Habibie menjabat sebagai Presiden ia dibebaskan. Namun nampaknya militer tidak puas akan keputusan Panglima tertingginya itu dan membuat perhitungan sendiri. Pada tanggal 22 Juli sepasukan tentara menyerbu pesantren Bantaqiah dan tanpa ampun membunuh Tengku Bantaqiah berikut santri santrinya yang sama sekali tidak bersenjata.

Adapun situasi Aceh yang kian membaik membuat TNI kehilangan lahan bisnisnya. Masa paceklik bagi TNI sudah dimulai dengan lepasnya Tim Tim melalui jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999

Timor Timur adalah contoh pahit invasi militer sebuah negara, dimana negara tersebut justru mengingkari salah satu ayat dalam pembukaan UUD nya sendiri "Kemerdekaan itu adalah hak setiap bangsa......".

Jika Fretilin mengumumkan kemerdekaan Timor Timur pada 28 November 1975, hak apakah yang dipunyai oleh Indonesia untuk melancarkan operasi Seroja dengan menerjunkan ribuan prajurit pada tanggal 7 Desember 1975? Apakah dasarnya adalah Deklarasi Balibo tanggal 30 November yang ditandatangani partai partai seperti UDT, Apodeti dan KOTA untuk berintegrasi dengan Indonesia. Aneh karena sebelumnya pada bulan Juni 1974, Adam Malik sebagai Menlu telah mengirimkan surat kepada Ramos Horta yang isinya mendukung perjuangan Timor Timur untuk merdeka.

Perintah PBB agar pasukan Indonesia meninggalkan Timor Timur tidak diacuhkan.

Pada akhirnya diketahui bahwa deklarasi Balibo adalah akal akalan militer Indonesia untuk mensahkan invasi tersebut. Penguasaan Timor Timur telah direncanakan jauh hari sebelumnya dengan dukungan Amerika.

Yang terjadi setelah invasi itu bisa ditebak, Timor Timur menjadi ladang bermain bagi TNI. Dana APBN untuk militer dikucurkan hampir tanpa batas. Pembentukan milisi pro integrasi, pam swakarsa, dan pasokan senjata. Bukan tidak mungkin konflik bersenjata justru dipelihara oleh para pimpinan TNI sendiri, teringat pembicaraan dengan seseorang beberapa waktu yang lalu, bahwa tanah tanah yang dimiliki oleh para Jenderal di Tim Tim justru dijaga oleh Fretilin.
Ribuan prajurit dan rakyat Timor Timur mati sia sia karena permainan ini. Infrastruktur yang dibangun tidak sebanding dengan tumbal yang diberikan.

Insiden Santa Cruz di tahun 1991 pun akhirnya hampir pasti menggambarkan adanya persaingan internal di kalangan militer sendiri antara LB Moerdani dan Prabowo yang berakibat pencopotan Sintong Panjaitan sebagai Panglima Komando Udayana. Walaupun hal ini dibantah habis habisan oleh Militer. Insiden ini mengambil nyawa puluhan demonstran.

Peristiwa ini coba ditutup tutupi oleh tentara namun sialnya sebuah rekaman peristiwa tersebut sempat lolos dan ditayangkan di luar negeri. Rekaman yang akhirnya semakin memojokkan posisi Indonesia.

Rantai pembunuhan yang mengerikan itu akhirnya diputuskan oleh seorang sipil bernama BJ Habibie yang secara mendadak terpaksa harus maju memimpin Indonesia yang porak poranda akibat kerusuhan Mei 1998. Hasil referendum yang diumumkan tanggal 4 September 1999 menghasilkan keputusan Timor Timur lepas dari Indonesia.

Tidak semua orang puas dengan hasil tersebut; para veteran perang, keluarga yang ditinggalkan, milisi pro integrasi bereaksi keras. Eurico Guterres seorang pimpinan milisi pro Integrasi bahkan diseret ke Cipinang akibat pelanggaran HAM. Guterres mungkin adalah salah satu tumbal bagi pro integrasi, entah apa ia menyadari bahwa dukungan murninya bagi pro integrasi justru dimanfaatkan militer demi melanggengkan cengkeramannya di daerah konflik tersebut.

Satu hal yang bisa dipetik, militer memang tidak boleh dibiarkan menguasai segala aspek kehidupan. Dengan senjata, strategi dan rekayasa politik serta hierarki yang ketat mereka bisa berbuat apa saja.

Rakyat Sipil harus bekerja keras mengejar ketertinggalan dalam bidang strategi politik yang sudah sangat matang dikuasai oleh militer.

(berbagai sumber)

08 Juli 2009

Bhisma Dewabrata

Matahari baru saja terbenam sempurna di padang Kuru.

Malam ini adalah hari penghabisan dari perang maut tersebut. Esok segalanya akan ditentukan.

Bhisma Dewabrata menghembuskan nafas perlahan, ia melangkah keluar memandang cakrawala hitam terbentang. Terdengar lengkingan burung pemakan bangkai berpesta mayat korban barata yudha.

"Hampir tiba waktunya, Amba"....ia berdesis. Ia memejamkan mata, lintasan kenangan hampir 50 puluh tahun silam berpendaran. Masih tercium jelas wangi tubuh yang lunglai di pangkuannya, Sekar Kedaton keraton Kasi.

Mata indah Sang Dewi sayu memandangnya, "Aku menunggumu, Kakang...kelak sukmaku akan menjemputmu."

Bhisma membuka matanya, kembali ia menengadah dan berbisik "Maafkan aku Amba, aku terlalu bangga dengan sumpahku untuk wadat seumur hidup sehingga aku tidak mau menerima kenyataan bahwa kau sudah mengguncangkan gairahku. Panah itu terlepas tanpa sengaja, karena keangkuhanku."

Perlahan ia pun kembali ke perkemahan, sekali sekali matanya menjelajah langit seakan mencari sosok yang selalu dirindukannya sebelum kembali larut dalam semadi.

Menjelang tengah malam ia terjaga, terlintas senyum dibibirnya. "Dewiku..." bisiknya, teringat pertemuan dalam semadi. Bhisma yang selama ini teguh menjaga kewadatan, mengikat angan angannya kini luruh. Ia kembali menjadi manusia dalam semadinya, membiarkan hasratnya bertemu dengan Amba menjelang akhir tugasnya sebagai senopati pamungkas dalam perang suci ini.

Lelaki itu bersiap lahir batin, telah berkeramas dan digelungnya rambut dengan rapi. Fajar pun menyingsing, dengan kereta perang dan dada tengadah ia memimpin pasukan Hastinapura menuju kurusetra.

Bhisma Dewabrata, ksatria istimewa pilihan dewata itu mendongak sekali lagi dan tersenyum ya,..Amba, kekasihnya tersenyum, menunggu di pintu gerbang Nirwana. Sementara dari kejauhan Srikandi memandangnya dengan tajam.

"Sebentar lagi..Amba.." bisiknya pasti.

07 Juli 2009

Harta Karun Soekarno

Mistis......itu yang tercermin jika muncul pembicaran tentang harta karun Soekarno. Topik yang sengaja atau tidak telah berkembang menjadi komoditas sensasi belaka.

Hari ini saya kedatangan seorang kerabat. Seperti biasa koleksi buku buku saya dibongkar untuk dibaca sambil menonton TV. Menjelang sore beliau pun pamit pulang, sebelum pulang saya sempat melirik sebundel laporan yang dijilid berbahasa Inggris, sekilas judulnya mengenai investigasi perburuan emas dunia yang tentu saja membuat saya gatal bertanya.

Tanpa sengaja pembicaraan tentang emas menyinggung tentang harta Soekarno. Ketika saya iseng bertanya benarkah ada harta karun Soekarno, beliau hanya mengangguk pendek. Penasaran, karena saya tahu pasti orang ini bukanlah tipikal manusia yang percaya mistis, bahkan cenderung teramat rasional.

Sambil tersenyum, seakan menguji pengetahuan sejarah saya. "Masih ingat tentang New Emerging Forces? " tanyanya. Spontan kepala saya mengangguk, tentu saja itu adalah gerakan negara negara baru merdeka yang dipelopori Soekarno pada tahun 60-an untuk menghadapi kekuatan kapitalis Amerika dan sekutunya.

Kembali beliau mengangguk ngangguk dan menambahkan "Nefo atau New Emerging Forces -nya bung Karno memang untuk melawan kapitalis barat, bahkan lebih jauh lagi ingin membuat gabungan mata uang sendiri melawan dollar seperti halnya Euro pada masa kini."

Melihat saya ternganga, kembali meluncur pertanyaan "jadi apa yang dibutuhkan untuk mata uang baru itu?"................."cadangan emas yang besar..." jawab saya lemah.

"Tapi itu berarti bukan harta Soekarno, karena cadangan emas itu didapat dari negara negara dalam Nefo..yang berarti para kepala negara waktu itu seperti Norodom Sihanouk juga terlibat dalam pengumpulan." tambah saya ngotot.

"Memang bukan, tapi emas itu memang ada, dokumennya tersimpan rapat di Union Bank of Switzerland. Entah siapa yang telah ditunjuk sebagai yang berwenang untuk membukanya, tidak ada yang tahu." kata lawan bicara saya tersebut.

Tentu saja kening saya makin berkerut...Nefo adalah forum resmi yang didirikan oleh para pemimpin terkemuka Asia pada masa itu. Jadi jika ada pengumpulan cadangan emas yang besar sudah tentu didokumentasikan resmi oleh masing masing negara donor. Aneh rasanya jika hal sebesar itu hanya dipegang oleh satu orang misterius. Lagi pula seberapa kaya negara negara dunia ke 3 pada masa itu, Indonesia jelas sedang melarat, Kamboja masih merangkak, Nehru masih menghadapi pergolakan di India, sementara Josip Broz Tito masih harus menjaga Yugoslavia agar tidak terlalu menjadi pengikut Stalin

Tapi nampaknya pertanyaan itu harus saya telan sendiri karena lawan bicara saya tergesa gesa pamit setelah tertunda karena pembicaraan ini.

"Berkunjunglah ke rumah kalo ingin melihat dokumen hasil penyelidikan sementara ini, memang masih banyak hal hal yang jadi pertanyaan,,," kata beliau lagi.

Tentu saja saya akan segera berkunjung, bukan hartanya yang menjadi fokus perhatian tapi latar belakang penyimpanan dan kemisteriusannya yang menjadi pertanyaan. Tapi tanpa bisa dicegah benak saya tiba tiba teringat dengan para pemimpi yang keblinger seperti Soenuso Goroyo dan Said Agil Al Munawar yang dengan gilanya menggali situs batutulis demi harta Soekarno.

30 Juni 2009

Negeri bernama Indonesia

Indonesia, negara kerdil, birokrasi yang korup, manipulasi dalam tata pemerintahan...!

Apa yang terlintas di benak kita mendengar tudingan tersebut, Pedih!,,,,,karena menyadari kemungkinan 90 persen apa yang ditudingkan itu benar.

Diantara kepedihan, menyeruak pula pertanyaan; apakah negara ini seburuk itu, benarkah tidak ada kebaikan dari negara ini dan apakah tidak ada negara lain yang sama buruk atau bahkan lebih buruk dari Indonesia.

Indonesia modern baru akan menginjak ulang tahun kemerdekaannya yang ke 64 pada Agustus tahun ini, negara yang masih sangat muda dengan garis pantai terpanjang di dunia, bayangkan dengan analogi seorang anak kecil dengan aset pulau berpencaran yang dipaksa harus mandiri pada 17 Agustus 1945 dengan skill dan sumber daya manusia yang minim. Peperangan dengan pihak asing maupun saudara sebangsa telah meninggalkan puing puing kehancuran dan luka mendalam di hati setiap anak negeri.

Dalam perjalanannya negeri ini pun tercabik cabik oleh bencana alam silih berganti. Seakan Tuhan mengirimkan karunia dan bencana secarabersamaan dengan kelahirannya.

Negeri ini tertatih tatih melangkah, sementara tetangganya Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 telah melompat jauh demikian pula dengan Singapura. Apa yang salah dengan Indonesia?

Banyak jawaban untuk pertanyaan tersebut: salah urus, SDM yang tidak kompeten, pemerintahan yang tidak kredibel dan sekian ratus jawaban lainnya.

Yap, memang Indonesia masih tersaruk saruk melangkah, dengan wilayah seluas ini kita seakan tidak punya cukup daya untuk mengurusnya. Diluar masalah dalam negeri kita masih menghadapi masalah dengan negeri tetangga mengenai batas wilayah di pulau pulau terluar seperti Ambalat, Miangas, pencurian hasil laut dan tenaga kerja.

Tapi kalau kita mau jujur, kita tidak dapat membandingkan dengan negara lain yang jauh lebih dulu merdeka. Negara lain mempunyai kondisi alam dan situasi yang berbeda dan mereka telah lebih dulu melalui perjalanan berat yang mungkin saja sama dengan yang kita hadapi sekarang. Adapun Negara yang baru saja merdeka seperti Malaysia, kondisinya lebih mudah dengan wilayah sempit dan etnis yang tidak begitu banyak ragamnya.

Tidak semua orang Indonesia sabar menerima ujian ini, para intelektual yang sudah mencicipi nikmatnya hidup di negeri orang yang serba well organized, stabil dan bersih ramai ramai mencibir melihat kondisi dan situasi politik Indonesia, banyak yang menyatakan tidak akan kembali selama negeri ini masih rusak.

Saya hanya bisa menghela nafas, jika semua cendekiawan Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar negeri berpikir seperti itu bagaimana nasib Indonesia. Tiba tiba saya seperti melihat perempuan cantik yang berjalan terseok dalam kesepian karena semua anaknya pergi tanpa pernah berpaling, tanpa pernah merasa bahwa berkat air susunyalah mereka dapat hidup dan tumbuh. Perempuan yang tubuhnya dipenuhi oleh tumor ganas yang berharap agar anak anaknyalah yang kelak kembali untuk menyembuhkan penyakit itu.

Pada pundak merekalah lokomotif negara ini diletakkan, mereka yang diharapkan kembali untuk memimpin perubahan dalam masyarakat. Apa jadinya apabila mereka menjauh tanpa ingat bahwa negeri ini telah memberikan nafas kehidupan pada mereka, tanpa ingat pada para pendahulu mereka yang telah memberikan keringat dan darah untuk fondasi negara.

Beruntunglah masih ada sekelompok orang-orang sederhana berpendidikan lokal yang tekun membimbing saudaranya untuk maju walaupun dengan segala keterbatasan. Orang orang sederhana yang berseliweran di sekitar kita tanpa kita sadari.

Tiba tiba saya merasa optimis Indonesia akan dapat melalui masa masa sulit ini. Negeri indah ini akan tetap memancarkan kemilaunya yang sarat dengan perjuangan darah dan airmata.

26 Juni 2009

Siapakah Tuhan

Siapakah Tuhan....?

Dalam kata ganti bahasa Indonesia, disebut sebagai DIA (dengan huruf besar di awal). Dalam bahasa Inggris disebut sebagai HE yang berkonotasi lelaki.

Jika ingin mendapat sedikit gambaran tentang Tuhan, pandanglah bumi dan seisinya, lihatlah manusia yang menurut pandangan sebagian umat adalah gambaran dari citra-Nya. Tapi rasanya tidak terlalu tepat pula pendeskripsian tersebut, mengingat sifat manusia yang penuh dengan segala kemungkinan dan fana. Mungkin tetap di jalan lurus atau tersesat dalam pencariannya. Sedangkan sifat Tuhan adalah pasti dan wajib serta serba Maha.

Untuk manusia pertama yaitu Adam, tentu ia mengenal Tuhan karena Tuhan berbicara sendiri dengannya, begitu pula dengan para Nabi dan Rasul setelahnya. Tapi bagaimana dengan manusia lainnya yang hidup ratusan hingga ribuan tahun kemudianl Tentu Tuhan menjadi sesuatu yang abstrak, bisa dibayangkan melalui ciptaan Nya namun tetap tidak terlihat.

Bagi para teolog, Tuhan adalah sesuatu yang final, sedangkan bagi filosof Tuhan dapat diperbincangkan dan digali dari segala segi. Jika Aristoteles menyebut-Nya sebagai Penggerak Pertama, Ibnu Sina menyebutnya sebagai Al Wajib Al Wujud (yang pasti ada). Namun apapun itu kelihatannya para teolog dan filosof sudah mencapai satu titik persamaan mengenai Tuhan dari bahasa mereka masing-masing.

Jika penafsiran tentang Tuhan sudah mencapai titik temu, tidak demikian dengan penciptaan alam semesta.

Para filosof seperti Ibnu Sina dan Al Farabi mengatakan bahwa terbentuknya alam semesta adalah secara emanasi dengan perantaraan akal akal. Tuhan sebagai akal murni menciptakan akal pertama, akal pertama melahirkan akal kedua dan membentuk jiwa langit pertama dan seterusnya sampai terbentuknya planet planet dalam tata surya.

Saya sebagai orang awam dalam filsafat tentu saja bingung, karena akal akal tersebut hanya membentuk tata surya dalam galaksi bima sakti saja, padahal bima sakti adalah sebagian kecil dari alam semesta.

Begitu pula dalam kitab suci, secara teologi dikatakan alam semesta diciptakan dalam 6 hari, lagi lagi hanya menegaskan langit dan bumi. Apakah dalam langit tersebut telah tercakup alam raya di luar bumi? Demikian pula dengan Quran yang mengatakan langit dan bumi dulunya adalah satu kemudian dipisahkan dan berturut turut diciptakan isi bumi. Dalam Veda pun hampir sama dengan pernik yang berbeda.

Tentu akan berbeda lagi jika kita melihat teori Dentuman Besar dari Stephen Hawking, dimana alam semesta yang semula seukuran atom dengan kerapatan massa ratusan kali lipat massa air ini terus memuai membentuk galaksi, bintang dan planet.

Apakah isi kitab suci itu salah? Tidak ada yang salah dalam kitab suci, kitab suci bukanlah buku pengetahuan. Tuhan berbicara menurut bahasa jaman tersebut dimana ilmu pengetahuan belum seperti sekarang.

Satu lagi pertanyaan, apakah Tuhan hanya menciptakan manusia sebagai satu satunya mahluk berakal penghuni bumi? bagaimana dengan alam semesta, tidak adakah mahluk berakal budi lainnya?

Tampaknya mubazir jika dalam alam semesta yang luas ini hanya diciptakan satu komunitas manusia penghuni bumi.

Tentu Tuhan menyimpan rahasianya sendiri. Manusia hanya bisa berusaha menemukan jawaban yang paling mendekati.

Alangkah susahnya menemukan jawaban tentang asal usul alam semesta yang merupakan ciptaan Tuhan. Apalagi jika kita mencoba menjawab tentang asal usul Tuhan.