11 November 2009

Tragedi Rakyat Minang dari Pembaharu ke Anak Manis

Ada sebuah Divisi tentara yang sangat terkenal pada masa pergolakan kemerdekaan. Selama ini kita hanya mengenal Divisi Diponegoro dan Divisi Siliwangi yang melegenda dengan Long March Siliwangi-nya.

Divisi tersebut berada di Sumatera dan dikenal masa itu dengan nama Divisi Banteng. Dalam divisi itu ada sebuah kompi yang terkenal dengan keberanian dalam menghadapi Inggris dan Belanda, Kompi Harimau Kuranji yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.

Pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang berpindah pindah dari Bukit Tinggi, perkebunan teh Halaban, Bidar Alam dan Payakumbuh, Divisi Bantenglah yang terus bergerak melindungi pemerintahan sementara itu dari serangan Belanda. Sementara di New Delhi AA Maramis terus menyuarakan bahwa Republik Indonesia masih tetap berdiri walaupun Yogyakarta telah diduduki Belanda dan Soekarno Hatta ditawan.

Tragisnya setelah itu di tahun 1949 Divisi Banteng justru diciutkan hanya menjadi 1 brigade. Anggota anggotanya banyak yang pensiun dini atau terpaksa bergabung dengan divisi lainnya di Jawa.

Pada bulan September 1956 saat reuni ex Divisi Banteng di komplek perfilman Persari munculah gagasan untuk mendirikan Dewan Banteng yang fokus pada pembangunan ekonomi di Sumatera Barat setelah kecewa melihat pemerintah pusat yang terlalu memprioritaskan Jawa dan membiarkan daerah lainnya morat marit padahal pada masa itu 70% hasil ekspor berasal dari Sumatera sedangkan Jawa hanya menyumbang 17%.

Dewan Banteng membuktikan janjinya, Sumatera Barat menghentikan upetinya kepada pusat dan menggunakannya untuk keperluan daerah. Pembangunan di Sumatera melaju pesat melampaui daerah lainnya. Tidak hanya itu Dewan Banteng aktif mengadakan perdagangan luar negeri secara langsung tanpa melalui pusat.

Soekarno kelihatannya tidak tertarik pada pembangunan ekonomi, sang Presiden sibuk mengadakan lawatan lawatan dengan rombongan besar ke luar negeri sambil memperkenalkan konsep Nasakomnya. Sibuk melawan imperialisme dan demokrasi liberal namun lalai menyiapkan rakyatnya untuk matang secara ekonomi.

Terlihat sekali perbedaan visi antara pemerintah daerah dan pusat setelah Indonesia merdeka. Bagi daerah kemakmuran bisa dicapai apabila pusat memberikan kebebasan bagi daerah untuk menjalankan kebijakan yang sesuai. Sedangkan pusat yang dikendalikan oleh Soekarno menganut paham sentralistis feodal. Suatu hal yang sangat bertentangan dengan budaya egaliter rakyat Sumatera Barat. Rakyat Minang sudah lama mengenal konsep desentralisasi otonomi daerah dengan istilah nagari

Perbedaan ini kian menajam dan dimanfaatkan dengan cerdik oleh PKI yang berdiri di belakang Soekarno ditambah dengan peristiwa pemboman di Cikini tahun 1957 yang menyebabkan banyak tokoh Masyumi mengungsi dari Jakarta ke Padang karena mendapat teror.

Bisul itu pun pecah, pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syafrudin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. Hal ini dimaksudkan sebagai koreksi atas pemerintah pusat yang dinilai tidak peduli dengan pembangunan daerah karena permintaan mereka agar membentuk zaken cabinet yang terdiri dari orang orang yang cakap dalam bidangnya serta kembali pada tindakan yang konstitusionil sesuai UUD tidak digubris.

Amerika yang cemas melihat pengaruh komunis kian meluas diam diam ikut bermain dengan mendukung gerakan PRRI dan mengirimkan senjata senjata.

Soekarno dan Nasution yang waktu itu menjabat sebagai KSAD menjawab pengumuman itu dengan menerjunkan pasukan terbaiknya untuk menghadapi PRRI yang didukung penuh oleh rakyat Sumatera. Dukungan rakyat Sumatera terhadap PRRI adalah dukungan tulus karena mereka melihat pengabdian Dewan Banteng demi kemajuan daerahnya.

Akhirnya perang saudara yang mengerikan terjadi, dibawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dengan sandi operasi 17 Agustusnya, pasukan tempur gabungan dengan kekuatan penuh mendarat di pantai Parupuk Tabing 2 bulan setelah pengumuman PRRI. Pasukan itu dengan cepat mendesak pasukan rakyat dan hari itu juga Padang jatuh.

Pasukan darat yang terdiri dari Divisi Diponegoro dan Siliwangi terus mengejar sampai ke hutan. Tanpa belas kasihan ribuan rakyat dibantai. Ada banyak cerita tentang kekejaman Divisi Diponegoro ini. Mereka menganggap ini adalah seperti ekspedisi Pamalayu, saat Kertanegara dari Singasari menaklukan kerajaan Pagaruyung. Setelah bergerilya selama 3 tahun akhirnya Ahmad Husein dan Syafrudin Prawiranegara menyerah demi rakyat Sumatera.

Tragedi PRRI ini menimbulkan luka mendalam terhadap masyarakat Minangkabau. Kebanggaan mereka sebagai masyarakat yang berpandangan maju, intelektual dan merdeka terampas dengan perlakuan militer saat itu. Gerakan yang dimaksudkan untuk membuka mata pusat atas ketidakadilan dalam porsi pembangunan dijawab dengan senjata.

Budaya egaliter Minangkabau mungkin jauh lebih tua dari konsep Liberte, Egalite & Fraternette-nya JJ Rousseau yang menjadi simbol revolusi Perancis akhirnya harus tunduk terhadap budaya feodal dari negara yang dulu dibelanya mati matian

Sejak saat itu Minangkabau menjadi anak manis. Sumatera Barat bukan lagi pusat alternatif yang dulu menghasilkan banyak tokoh dalam spektrum kebangsaan yang sangat luas dari Tan Malaka sampai Hamka.

Namun kebisuan itu nampaknya mulai terkoyak; para penulis muda Minang yang mewarisi kemandirian intelektual para pendahulunya mulai mempertanyakan stigma pemberontak yang ditempelkan di dahi mereka.

Sudah saatnya mengembalikan semangat rakyat Minang yang cinta akan kemerdekaan, persamaan derajat dan intelektualitas.

Bagi seorang Ahmad Husein, nasionalisme bukanlah kesetiaan yang membuta terhadap pemerintah yang sah. Seorang nasionalis tulen haruslah berani mengungkapkan mana yang benar dan mana yang salah agar semua dapat berjalan sesuai dengan cita cita luhur bangsanya.

Tidak ada komentar: