30 Desember 2011

RESOLUSI 2012

RESOLUSI TAHUN 2012.....

Saudara, saudaraaaa!!!! resolusi saya tahun 2012,,sederhana aja...berhenti kerja dan punya warung...!!!!

Benar, saya gak ingin jadi manager atau direktur di perusahaan,...Puluhan tahun menikmati kerja, semakin yakin kalau saya tidak butuh title untuk keren kerenan......saya hanya ingin punya usaha warung kecil,,,,punya saya sendiri..

aMINNNNN....



27 Desember 2011

25 Desember di Krakatau

Sambil melirik langit dari kaca mobil, saya menyetir melalui jalan utama Cilegon yang nyaris hancur lebur dan berdebu...di depan truk truk segede transformer berbaris,..pelan..wuaduuhhh....sementara mau nyalip juga gak mungkin, lajur sebelah padat.

Setelah ngebut di jalan tol Jakarta-Merak yang lengang, merayapi jalur Cilegon adalah siksaan, untunglah kemacetan itu segera terlalui.

Mobil terus melaju melalui penginapan, hotel, resort sepanjang Anyer...Melirik sekilas ke Marbella Resort sementara masih harus melaju 25 km menuju Carita.  Jalan lumayan mulus, namun bergelombang dan berlobang di beberapa ruas.  Jika jalan menuju Puncak padat saat ini, jalan Anyer Carita sepi...

Ya, saya sedang menuju Carita untuk melakukan geo tracking ke Krakatau.  Setelah cari cari info di internet, akhirnya saya memilih 1 day paket Rp 2,5 juta untuk 3 orang, sudah semuanya termasuk makan siang dan perbekalan selama di laut.  Karena membawa anak kecil tentu saja tidak mungkin melakukan backpacker trip murmer.  Lagipula setelah dihitung hitung backpacker itu mengambil jalur Lampung.  Dari Rajabasa Lampung harus naik angkutan lagi  menuju Kalianda dan menyambung ke Canti, dari Canti sewa kapal sekitar 2 - 2,5 juta per 20 orang...itu pun kapal kayu bermotor, dengan lama perjalanan 4 jam tanpa makan siang, peralatan snorkeling harus menyewa sendiri, belum lagi bayar ijin ke krakatau dan harus berangkat jam 5 pagi. Tidak ada boat seperti dari Carita, hampir sama kan, dari Carita malah lebih menghemat waktu.

Sempat dibilang sinting, karena ke krakatau membawa anak kecil, saat gunung itu sedang aktif, dan tahu sendiri kan ombak selat sunda di bulan Desember...weitsss, liburan kalo dengan gue gak boleh yang aman nyaman, kayak ibu ibu arisan,,,harus penuh petualangan, gak level tuh taman safari sama puncak,,,itu sih liburan oma opa...hahahahh...

Karena kita hanya 3 orang dalam 1 boat, tentu dong bisa pilih boat yang keren.

Hei, saya sudah sangat terlatih untuk soal budgeting dan travel arrangement...jadi sekali lihat sudah bisa mengambil perbandingan dalam rute perjalanan dan budget.

Melewati mercu suar tua berwarna putih..waah,..sudah lama ingin menginjakkan kaki di mercu suar ini.  Sampai juga di Sunset View...ehmmm hotelnya ternyata gitu deh...tapi lumayanlah, terpaksa pindah ke suite room karena yang deluxe kurang memadai ternyata...sempat ada kayu tempat gantungan gorden jatuh karena lapuk...hekkhh...!  di depan hotel banyak warung warung kayak bakso, sate dll,,,jadi lumayan deh kalo gak mau makan di hotel tinggal nyeberang jalan. 

Besoknya, jam 07:30 telah bersiap siap di hotel menunggu jemputan, tempat pemberangkatan ternyata hanya 2 menit jalan kaki dari hotel.... Cuaca lumayan bagus...berkah tanggal 25 Desember atau memang pawangnya jago, gak tau deh.:)

Seru juga melihat boat-boat pribadi di Marina Carita....banyak orang kaya nih di Indonesia.

Jam 8 pas, boat berangkat dari dermaga...full speed menuju krakatau..bukan main seperti naik mobil di jalan rusak,,,beberapa kali kapal melambung kemudian menghantam air,,,,yang gampang mabuk dijamin muntah. Saya sempat merasa mual,,,sialan! malu dong kalo sampe keok.   Selama 90 menit membelah Selat Sunda, akhirnya samar samar sebentuk kerucut tampak mendekat.   

Mata dipelototkan, mendekati Krakatau purba yang kini tampak hijau...di sebelahnya..busyettt..itu dia anak Krakatau....hitam gosong, kapal pelan pelan berputar mengelilingi gunung itu, tampaknya gunung itu sedang anteng, tidak terdengar suara gemuruh, namun aura angker terasa banget, karang karang bertonjolan.  Bau kentut yang ternyata adalah aroma belerang langsung tercium...wewww...Buat saya yang berdarah sunda, Krakatau adalah sama mistisnya seperti Merapi buat orang Jawa.

Seperti yang sering diceritakan, gunung ini tiba tiba muncul dari bawah laut tahun 1927, didahului oleh suara menggelegak di permukaan laut.

Nahkoda, mengarahkan ke daratan, di sana sudah ada beberapa orang yang juga berniat mendaki gunung itu, gak begitu tinggi sih..tapi panasnya itu loh...hah,,,mana saya pakai tank top lagi, dijamin gosong licin,,,apesnya sih kena sun burnt.  Ya sutra deh,,maju terus, rasanya pelindung matahari juga gak berguna.

Ampun deh, ternyata menaiki anak krakatau itu bikin napas tersengal sengal mirip orang asma, melewati hutan tropis sampai akhirnya jalanan mendaki yang berupa pasir hitam hebatnya Asyar semangat sekali, ia berjalan paling depan bersama pemandu dan jadi peserta termuda. Pasirnya sangat menyulitkan...apalagi saya menyandang tas berisi botol botol aqua,,,haiyah merangkap porter deh...!!!  Orang orang bule dengan cepat sudah sampe atas,,,,yahhh,,,kakinya panjang amat ya..



 Tapi sampai di atas, ih,,bukan main,,,pemandangan bagus banget, di kejauhan terlihat pulau Lampung...selat Sunda biruuuuu banget, ada kapal pesiar yang sedang berlayar menuju Ujung Kulon.


di punggung gunung














Sempat mengobrol dengan anggota polisi kehutanan yang kebetulan ada di atas, sambil melayangkan pandangan ke seantero kawasan.  Pak pemandu menunjuk pulau tak jauh dari anak krakatau yang berbentuk memanjang, pulau Panjang. Biasanya orang pada berkemah di sana untuk menonton jika anak Krakatau sedang berulah karena kawasan yang kita datangi ini akan ditutup karena berbahaya.

Setelah mondar mandir sebentar, akhirnya kita turun.  Berhubung susah sekali mengerem langkah, akhirnya saya mencopot sendal dan bertelanjang kaki menapak ke bawah,,,sekalian scrub telapak kaki di pasir dan batu panas euyyy...kayak pemain debus....PFewwwwh...akhirnya sampai juga,,,siap siap berlayar lagi menuju pulau Rakata yang masih di gugusan alias saudaraan dengan gunung ini.  Boat berhenti di tengah perairan sebelum sampai Rakata kalo gak salah namanya Lagoon Cabe, saatnya snorkeling..yeey,,,! langsung membuka kaus dan celana karena sudah memakai pakaian renang, ambil peralatan snorkeling....tadinya malas pakai life vest, dan langsung nyebur aja ke laut,  ternyata ombaknya lumayan ganggu, susah banget memusatkan perhatian ke terumbu karang karena harus mempertahankan posisi mengambang ....ya sudah,,,sini mana pelampungnya,,,Asyar baru pertama kali snorkeling,,,tapi semangat banget, biar harus batuk batuk karena kemasukan air laut,,,,top deh,,,,Ayahnya sudah biasa snorkeling,,,jadi seliweran anteng aja.

Saking asyiknya kaki saya menghantam karang,,,wadoww,,,,dua duanya berdarah,,sial...untung gak ada binatang laut yang sering menyerupai karang, bisa putus kaki saya kalau kebetulan menginjak itu...

Kelar snorkel, barulah merapat di pantai pulau Rakata, membongkar perbekalan makan siang...eh aneh, saya sudah climbing, snorkeling seharian penuh dan tidak makan dari pagi tapi sama sekali tidak lapar...akhirnya duduk saja di pantai sambil minum kopi dan makan buah.  Eh, ada biawak, gak cuma satu tapi beberapa dan lumayan besar, melenggang santai  menjulurkan lidahnya hanya 2 meter dari tempat saya duduk...kereennn....rupanya mereka mencium bau makanan.  Biawak ini pandai berenang, kata orang yang di situ mereka datang dari pulau pulau terdekat.

Lama juga kita di Rakata, sekelompok orang bule juga sedang asyik berjemur,,,suasananya tranquil, tenang mirip pulau pribadi.  Sempat mengobrol dengan mereka yang ternyata salah satunya adalah water atau traffic consultant ya? lupa nih.

Lalu pak pemandu yang akhirnya juga merangkap sebagai kapten kapal memberi isyarat untuk kembali ke Carita sebelum ombak meninggi. Waduh bakal ngebut lagi nih selama 90 menit.  Eh beneran ngebut, ditambah acara menukik dan mengerem dadakan plus ngepot. di laut....wuidiiihhh....

Akhirnya sampai juga di Carita, busyettt,,,hitam banget nih kulit,,,,biasanya kuning langsat,,,sekarang kayak tembaga ditambah belang belang di punggung...pasti abis ini perih plus pegel.  Kalau tadi jalannya excited banget, sekarang gontai kecapekan.

Sampai hotel langsung mandi, keramas tapi sial gak bisa langsung tidur,,,adrenalin masih tinggi, sementara yang lain sudah terjun ke pulau kapuk.  akhirnya tidur juga sih.


Besoknya siap siap pulang, badan masih pegel, kulit perih,,,hah, masih harus menyetir...tapi it's ok daripada ngantuk bengong di jalan, mending nyetir deh, kali ini kita pilih lewat Labuan, Pandeglang, Serang terus langsung tol, jalannya lumayan mulus, sepi,,,pemandangan juga bagus.

Finally sampai Jakarta, gantian ah,,,,gak asyik nyetir di Jakarta,,,macet maksudnya :)....sampai juga di rumah,,,langsung deh tumpukan pakaian kotor dan basah menggunung....Sorry nih Bik, kan 2 hari kemarin santai gak ada cucian,,,besok, eng ing eeenggg, segambreng!......


20 Desember 2011

LIBUUURRR....

Yeayyyy...!!!! saya akan ke Krakatau liburan Natal ini....sewa hotel beres, urusan boat done already...

Tinggal cuaca yang tidak bisa dinegosiasikan......semoga cerah, rencananya saya akan mengemudi sampai Carita menginap satu hari dan keesokan harinya berangkat menuju krakatau pagi pagi dengan long boat.

Persiapan snorkeling harus segera beres....mengingat saya membawa anak kecil, harus ada peralatan tambahan.

Sebenarnya untuk menekan biaya bisa saja saya bergabung dengan backpaker grup, mereka berencana akan bertahun baru di krakatau, namun melihat detail perjalanan mereka yang harus menyeberang menuju dermaga canti Lampung dan berganti ganti kendaraan umum, tidak memungkinkan mengingat saya hanya mempunyai waktu terbatas dan akan sangat melelahkan bagi anak kecil.

Jadi saya memilih langsung dari carita, dengan konsekuensi biaya lebih mahal tapi teroganisir rapi, which is sangat mudah karena dibantu oleh travel tour yang saya temukan melalui internet.

Hotel saya 25 km setelah Marbella resort, begitu menurut keterangan contact person hotel.

Mudah mudahan gunung itu sudi sedikit menahan kemarahan saat kami menghampiri kakinya.  Sedikit melemparkan abu tak apa, asal jangan meletus seperti tahun 1883.

Ah, saya lupa belum bilang pada orang tua saya...hmmm...ibu saya pasti akan ribut mencegahnya...beliau tidak berani menginjak gugusan anyer - carita selama Krakatau meradang.  Padahal gunung keramat itu tidak pernah berhenti mengamuk.

Berarti PR saya belum selesai.



14 Desember 2011

Legalisasi Ganja?

Seseorang pernah usil menanyai kalung kayu yang saya pakai, yang kebetulan berbentuk daun ganja.  Saya hanya mengangkat bahu.

Minggu ini saya sedang menyelesaikan bacaan tentang hal ikhwal Ganja dan sejarah penggunaannya. Seperti halnya buku "Nicotine War" nya Wanda Hamilton, buku ini mengulas keberadaan ganja dan kegunaannya yang luar biasa untuk pengobatan, penyerapan logam berbahaya, bahan kertas sampai pencampur bahan bangunan.

Diangkat juga kelangsungan hidup pabrik kimia dan industri besar lainnya, jika Ganja dibiarkan beredar secara legal. 

Mengkonsumsi ganja tidak sama seperti mengkomsumsi alkohol.  Saya punya banyak teman yang memakai ganja dan mereka baik baik saja, tidak teler, bodoh atau kacau,

Sekumpulan anak muda membentuk perkumpulan Lingkar Ganja Nasional. Berusaha memberi pengertian baru tentang ganja, mencoba menelusuri seluk beluk perjalanan tanaman ini dari waktu ke waktu.  Dari tanaman yang legal yang menjadi andalan kehidupan manusia sampai hari ini dimana ganja menjadi sesuatu yang haram.

Ganja juga sempat menjadi trade mark rasial, dimana orang kulit putih selalu mengidentifikasikan tingkah laku masyarakat kulit hitam yang lekat dengan ganja sebagai sesuatu yang kotor dan jahat.

Ganja seperti juga tanaman lainnya, tidak ada alasan mengharamkan ganja hanya karena efek samping penggunaan berlebih.  Tidak mungkin Tuhan mencipta sesuatu hanya untuk diberi label haram oleh manusia.

Untuk penggunaan bebas memang sebaiknya jangan, tapi untuk pengobatan kenapa tidak? Jika ganja bisa menjadi obat kanker yang murah sehingga orang terhindar dari siksaan mual hebat akibat kemoterapi, itu adalah sesuatu yang sangat berarti bagi kemanusiaan.

Saran saya, bacalah buku ini, tidak perlu merasa terprovokasi akan isinya, namun mungkin bisa menimbang apa yang terjadi selama ini, kemungkinan manusia mendapat support kesehatan melalui bahan bahan alami yang sederhana.  Tidakkah wajar jika kita perlahan mulai percaya bahwa ada kekuasaan besar di luar sana yang sangat berkepentingan dengan industri obat obatan kimia berharga jutaan dollar yang dapat rontok dalam sekejap jika masyarakat mendapat edukasi yang benar tentang pengobatan.





05 Desember 2011

Dibalik Gelar Pahlawan

Apa kriteria pasti untuk seorang pahlawan nasional?

Pengertian dasar seorang pahlawan adalah seseorang yang rela berbuat sesuatu tanpa memikirkan kepentingan sendiri.  Jika ia bergelar pahlawan nasional, maka sudah pasti orang ini rela berbuat apa pun untuk negaranya, entah dengan cara bersenjata atau cara politik. Apa yang telah diperbuatnya sahih berskala nasional.

Namun membaca daftar pahlawan nasional yang lebih dari 150 orang, tiba tiba saya merasa ragu apakah definisi di atas itu benar merupakan tolok ukur?  atau ada perbedaan pengertian yang akibatnya menimbulkan kebingungan pada orang awam seperti saya.

Jika melihat tokoh tokoh pergerakan seperti Eugene Douwes Dekker atau Tjipto, definisi tentang pahlawan nasional dengan mudah teridentifikasi pada mereka.  Demikian pula tokoh tokoh seperti Nyai Ageng Serang dan Cut Nyak Dien. Yang dua pertama adalah pahlawan dalam bidang politik, dua wanita lainnya adalah tokoh perjuangan  bersenjata.  Bahkan kenyataan getir saat Jawa  menikmati politik balas budi, Aceh sedang luluh lantak karena para panglima perang tertawan atau terbunuh oleh Belanda.

Untuk masa yang lebih silam, ada Sultan Agung yang telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia sejak tahun 1975.  Namun, jika pengangkatan itu dikarenakan atas jasanya melawan penjajahan, saya merasa kurang sreg.  Karena kita semua tahu Mataram selalu sibuk untuk meluaskan imperiumnya.  Sultan Agung bahkan mengajak VOC bekerja sama untuk menyerang Surabaya dan Banten.  Kecuali jika jasanya di bidang budaya yang memang sangat membantu perkembangan sastra Jawa.

Jika Sultan Agung diangkat menjadi pahlawan nasional karena membangun Mataram, maka sama saja kita mengidentifikasikan Mataram yang hanya menguasai Jawa dan Madura dengan Indonesia yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke.  


Adapun penyerangan ke Batavia, lebih karena ingin menaklukkan Banten.  Sebelumnya utusan Sultan Agung menemui VOC di Batavia untuk mengajukan kerjasama dengan syarat syarat tertentu namun ditolak.

Bicara tentang melawan penjajahan, malah mungkin lebih pas jika Trunajaya, putra bangsawan Madura yang diberikan gelar pahlawan, walaupun bukan berarti ia bebas dari catatan.  Ia bekerja sama dengan putra mahkota Mas Rahmat yang bersengketa dengan ayahnya Amangkurat I karena seorang perempuan.  Mas Rahmat berwatak sama persis dengan Amangkurat I.  Motif kebencian terhadap Mataram bertemu dengan kedengkian seorang anak.

Kita bisa bicara tentang Mangkunegara I yang juga telah menjadi pahlawan nasional.  Ada alur yang juga terasa patah di sini.  Mangkunegara I memang berperang melawan penjajah Belanda, namun setelah mendapat sejengkal wilayah dan menjadi Adipati mandiri, ia menjadi rekanan Belanda dan laskarnya menjadi tenaga pendukung bagi pemerintahan kolonialisme dan digaji.  Menurut logika untuk apa ia butuh persetujuan Belanda untuk menduduki tanahnya sendiri.  Pada akhirnya ia memilih hidup saling mencurigai dengan 3 kerajaan kecil yang sama sama keturunan Mataram dari pada berkeras tetap bergerilya melawan Belanda.  Akhirnya motif yang teraba adalah lebih kepada perselisihan keluarga dan bukannya mempertahankan kemandirian sebagai bangsa

Begitu pula dengan Mangkubumi yang kelak menjadi Hamengku Buwono I, ia bergegas berbalik membelakangi menantunya Suryakusuma setelah Belanda menawarkan jabatan dan wilayah yang dituangkan dalam kontrak Giyanti, lagi lagi hanya sejengkal tanah yang bahkan tidak mencakup Jawa tengah.  Ia tampaknya lupa bahwa Belanda tidak punya hak apa apa untuk menawarkan sesuatu yang bukan milik mereka.

Walaupun dalam hati mungkin sekali mereka membenci Belanda, namun motif perebutan kekuasaan nampaknya memiliki warna yang lebih dominan,

Pada akhirnya pemberian gelar pahlawan nasional bagi beberapa Raja keturunan Mataram malah membingungkan karena adanya catatan sejarah yang menimbulkan berbagai pertanyaan dan gugatan terutama dari daerah daerah taklukan.

Pertanyaan juga mengarah pada Arung Palakka dan Sultan Hasanudin.  Arung Palakka tidak menjadi pahlawan nasional dan masih menjadi perdebatan karena ia bekerja sama dengan VOC.  Namun ia mempunyai motif yang kuat  saat itu, membebaskan rakyat Bone dari kekuasaan Hasanudin, sultan Makasar.  Sebagai putra Bone, darahnya mendidih melihat ribuan rakyat Bone mati akibat kerja paksa membangun benteng pertahanan yang akan digunakan Hasanudin menghadapi VOC.  Harga diri sebagai pewaris tahta Bone membuatnya bersumpah untuk membebaskan rakyatnya dan untuk itu ia bekerja sama dengan VOC.

Pada kasus ini apakah bedanya dengan Mangkubumi yang juga bekerja sama dengan Belanda menghadapi perlawanan Mangkunegara? Sementara Mangkubumi telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional


Hasilnya dalam perang Makasar ia dapat memukul Hasanudin dan rakyat Bone bebas.

Nampaknya selama ini pemberian gelar pahlawan nasional hanya dilihat dari sisi Indonesia tanpa mempertimbangkan lokalitas.  tampaknya hanya sekedar membalik posisi Belanda/VOC dan sekutunya versus Indonesia.


Patut diingat bahwa Indonesia dulu tidak dikenal, yang ada hanyalah kerajaan-kerajaan yang berdaulat.

Mungkin dalam perspektif nation wide, harus diberikan klasifikasi yang jelas untuk istilah pahlawan nasional.  Bagaimanapun memang tidak ada manusia yang sempurna.  Kadang 
sangat tipis batasan dalam menjadikan seseorang sebagai pahlawan atau musuh.

27 November 2011

Jaman Bergerak - Takashi Shiraishi

Saya menemukan buku ini jauh di pasar buku bekas belakang Lapangan Merdeka, Medan.  Buku yang diambil dari desertasi Takashi Shiraishi dari Universitas Cornel mengenai radikalisme rakyat Jawa di tahun 1912-1926.

Sebuah penelitian yang sangat komprehensif yang dapat memuaskan keingintahuan saya mengenai situasi sosial politik dan warna pergerakan jauh pada masa pra kemerdekaan.

Dalam berbagai tulisan tokoh Tjipto, Misbach dan Mas Marco selalu menjadi acuan untuk keradikalan dalam berpikir, menulis dan bertindak, selain Tjokroaminoto dan Tirto Adhi Soerjo .  Saat Tjokro disebut sebut telah redup pamornya karena cenderung berpihak pada pemerintah dan Tirto telah wafat.  3 orang inilah yang terus memanaskan media masa zaman pergerakan.

Melalui tulisan Shiraishi inilah kita diajak meneropong suasana dan kedudukan pemerintahan Hindia Belanda dan Kasunanan yang waktu itu berada di bawah pemerintahan PB X.  Dapat dirasakan betapa berkuasanya era rust en orde kolonial dan mandulnya peran penguasa Kasunanan terhadap situasi yang dihadapi buruh tani dan buruh batik.  Betapa jauhnya jarak Sunan dengan rakyat wilayahnya sendiri.

Di sisi lain, kita melihat pemerintah Belanda menerjunkan ahli ahli terbaiknya dalam budaya Jawa untuk dalam tanda kutip membimbing para priyayi Jawa mengambil manfaat dari politik etis yang sebenarnya ditujukan bagi keuntungan pemerintah Hindia Belanda.  Kita dipaksa untuk menyaksikan para Javanolog berkebangsaan Belanda yang menguasai kebudayaan dan bahasa Jawa secara lebih baik dan mendalam daripada para pangeran Jawa itu sendiri.

Dalam istilah Shiraishi, Belandalah yang menemukan, mengembalikan, membentuk dan memberikan makna terhadap masa lalu Jawa.

Dari sekedar menghadapi perkumpulan Kong Sing, maka Rekso Roemekso bertransformasi menjadi Sarekat Dagang Islam pimpinan Haji Samanhoedi.  Jaman itu menjadi jaman berserikat dan jaman menulis.  Kemunculan Boedi Oetomo, Insulinde, Indische Partij menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dari suatu bangsa yang mulai menggeliat.

Shiraishi juga menggambarkan kedinamisan dan hiruk pikuk jaman bergerak saat itu.  Pemogokan buruh yang diorganisir oleh para pemimpin partai seperti Tjipto, Marco dan Soerjopranoto kerap terjadi saat upah glidig semakin tidak mencukupi.

Kemunculan ISDV yang membawa paham komunis memberikan warna dan peran tersendiri dalam mengangkat harkat bangsa jajahan.

BO terperosok menjadi sekedar perkumpulan priyayi Jawa yang setia kepada Sunan dan pemerintah tanah jajahan.  Para Pangeran dan keluarga Keraton belum sanggup berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan rakyat biasa. 

Para priyayi rendahan yang radikal merasa gerah dengan keadaan ini dan mulai melontarkan kecaman kecaman melalui surat kabar.  Tjipto bahkan berani menaiki kereta dan lewat di depan Sunan tanpa memberikan hormat.  Keluarga kerajaan Jawa memang tidak terlalu dihargai oleh anggota anggota pergerakan kecuali oleh BO
 
Para kromo kini bisa berkumpul menghadiri vergadering mendengarkan pembicaraan yang selama ini jauh di luar jangkauan mereka.  Cakrawala pemikiran yang terbuka membuat mereka menjadi berani dan radikal walaupun represi dari pemerintah Hindia Belanda juga semakin keras.

Para pemimpin pergerakan yang radikal harus berkali kali menghadapi persdelict dan dibuang dari Manokwari sampai Digul. Terlebih saat Dirk Fock menggantikan Van Limburg Stirum sebagai Gubernur Jendral.

Buku ini menunjukkan bahwa ideologi pergerakan kemerdekaan  itu lahir dan pengalaman dan pemikiran orang biasa.




19 November 2011

Ke Medan

Di depan gapura besar rumah bergaya Cina, saya mencoba mengetuk pintu namun kayunya terlalu tebal.  Saya melangkah ke samping di sela sela pagar, seorang perempuan tua sedang mengepel serambi.

Seseorang yang kebetulan lewat membantu saya memanggil nenek itu.  Nenek ini mempersilakan saya masuk, sambil menunggu pemandu.

Saya mendongak mengamati arsitektur rumah bekas taipan yang termasyur di abad 19 itu.

Matahari bersinar dengan terik, Tugas kali ini membawa saya ke kota Medan.  Tiba hari Kamis siang, melakukan talk show radio. Jumat, masih ada waktu sebelum ke kantor regional dan melakukan talk show di radio lainnya.

Walau teman mengingatkan agar naik taksi demi keamanan dibanding naik bentor karena sebelumnya ada perampokan dalam bentor yang menewaskan warga asing.  Namun setelah berbincang dengan pegawai hotel, saya memutuskan naik bentor saja. 

Check out dari hotel, dengan menggendong ransel, saya lebih menyukai ransel dibanding tas beroda.  Ransel memudahkan saya bergerak cepat, walaupun harus mengorbankan punggung saya.  Tepat di depan hotel saya menghentikan bentor menuju rumah Tjong A Fie. 

Rumah itu tidak jauh dari hotel sebenarnya, menurut concierge hotel tapi yang gawat supir bentor sama sekali tidak tahu dimana letaknya...hebat :) !,,,tak masalah, saya tak keberatan berbelok belok menyusuri jalan kota yang berdebu sebelum akhirnya tiba di depan rumah besar bergapura tinggi itu,

Seorang anak muda berwajah oriental dan berkaca mata masuk halaman, tampaknya ia lah yang akan memandu.  Dengan cepat kami sudah memasuki ruangan.  Melihat 3 ruang macam ruang tamu untuk menerima 3 macam ras : Belanda, Melayu dan Cina.  Ballroom di ruang atas berlantai kayu mengkilat.

Tjong A Fie, seorang taipan Medan yang menguasai perkebunan puluhan ribu hektar di Medan serta mendirikan bank modern,.  Oleh Belanda ia diangkat menjadi Mayor de Chinezen.  Tjong A Fie boleh dikata sebagai bapak kota Medan.  Ia banyak menyumbang dana untuk kepentingan kota dan masyarakat saat itu. Rumahnya yang berada di jalan Kesawan, banyak merima kunjungan para pembesar termasuk Sultan Deli sendiri.  Ia meninggal di tahun 1921 saat akan melakukan perjalanan keliling Eropa bersama keluarganya dengan kapal pesiar pribadi.

Sayang, setelah ia meninggal perkebunannya yang sangat luas perlahan menghilang karena konon tanah tanah itu kebanyakan tidak bersertifikat.  Aneh, karena saya melihat ia berfoto dengan anggota badan pertanahan saat itu.

Saat mendengar guide mengisahkan riwayat Tjong A Fie, tiba tiba saya teringat dengan Oey Tiong Ham, seorang raja gula asal Semarang yang hidup sejaman.

Sayang sang guide menggeleng ketika saya tanya kemungkinan korelasi antara dua saudagar tersebut.  Terpaksa menyimpan segudang pertanyaan, sambil berusaha mencatat beberapa poin untuk pencarian data nantinya.  Saat ini saya ingin langsung terkoneksi dengan internet berkecepatan tinggi.

Setelah mencicipi pisang goreng bersama selai srikaya di mansion itu, saya bergegas menuju Istana Maimun setelah memastikan masih cukup waktu.  Supir bentor segera membawa ke bangunan tersebut.  Pengalaman sebelumnya, Istana raja - raja Sumatera dan Kalimantan cenderung sederhana tidak seperti Keraton di Jawa.

Tepat seperti dugaan saya, menaiki tangga Istana dan membayar tiket masuk yang murah dan tidak berharap ada penjelasan yang memadai tentang sejarah kesultanan kecuali saat saya bertanya dan penjaga hanya menunjuk buku berstensil seharga 15 ribu jika ingin membaca ikhwal Istana.  Saya langsung mengernyitkan dahi melihat kualitas buku tersebut.  Seperti buku pelajaran SD, membosankan. Tidak ada guide, tidak ada brosur,,,bagian belakang dan ruang kecil di dalam dipakai untuk jualan cenderamata...bukan main!!  Inilah kerja pegawai negeri di daerah.  Berbeda jauh dengan Istana Tjong A Fie.

Hanya 10 menit saya di sana, langsung menuju ke pekerjaan. Sempat mampir ke pasar buku bekas di belakang Merdeka Walk dan menuju kantor regional tak jauh dari sana.

Setelah lunch sebentar langsung menuju radio berikutnya, ternyata yang ini lebih bagus.  Yah, masih harus mendiskusikan untuk mengadakan FGD bulan Januari nanti  Selesai talkshow menumpang mobil teman turun di Sun Plaza sambil menunggu jadwal pesawat yang jam 9 malam kembali ke Jakarta.

Pesawat Lion B737-900 yang terbaru datang tepat waktu...21:30 take off dari Polonia, mendarat di Jakarta pukul 23:30. Punggung pegal dan kulit terasa kering namun ada pengalaman baru.



 

07 November 2011

Ingatan tentang Bumi Manusia

Seorang kontak di twitter beberapa hari ini kerap mengutip kata kata dari buku Bumi Manusia karangan Pram.  Beberapa kalimat dari Jean Marais berseliweran di layar.  

Penggalan kalimat kalimat tersebut, membuat saya membongkar rak buku dan membaca ulang buku kedua tetralogi dahsyat tersebut, saya mencari cari buku pertama, tampaknya dipinjam oleh keponakan.

Sama seperti kesan twitter colleague itu...selalu ada yang baru dari buku ini, betapa tepat Pram membaca dan menyodorkan subyek utama dari penghisapan manusia yang begitu panjang.  Yang dengan telak adalah realisasi dulu dan kini dari bangsa Indonesia.

Kata kata Miriam de la Croix dalam suratnya kepada Minke, membuat pembacanya merenung...bahwa kekejian bukan hanya milik orang Eropa dalam hal ini Belanda terhadap pribumi.  Kekejian antar pribumi telah berlangsung dari jaman kerajaan kuno Nusantara.

Yang dicatat oleh sejarah adalah kekejian para bangsawan yang ditulis dalam Babad Tanah Jawi.  Amangkurat I dan Amangkurat II yang juga adalah ayah dan anak saling membunuh dengan menggunakan racun. Masalah perempuan juga menjadi rebutan antara ayah beranak itu.

Pembunuhan ribuan ulama oleh Amangkurat I, sesuatu yang sangat ganjill kalau boleh disebut ketidak warasan dari seorang yang mengganggap dirinya Panatagama ing tanah Jawi. 

Namun Pram menggarisbawahi kekejian mutakhir yang berlandaskan pada perebutan modal.  Dengan kekuatan asing yang lebih superior menginjak peradaban pribumi yang terbelakang.

Para bangsawan yang terbiasa hidup menginjak kepala rakyatnya kini harus merangkak rangkak di bawah kaki kompeni, namun sifat angkuh itu tidak juga hilang.

Miriam de la Croix menggambarkan itu dengan tajam dalam suratnya kepada Minke. 

Suara Miriam seperti gema dari hati kecil Pram yang menolak tunduk.  Ia juga berbicara melalui sosok Minke, pribumi yang terus menerus mencari identitas sebagai pribumi terpelajar dan mencoba menekan latar belakangnya dari keluarga feodal Jawa.

Benar kata IJP, buku ini luar biasa.








31 Oktober 2011

Sumpah Pemuda, Dulu dan Sekarang

Mumpung masih suasana hari Sumpah Pemuda.  Kebetulan saya membeli buku terbitan Komunitas Bambu,sebuah tulisan dari Keith Folcher seorang Indonesianist dari universitas ANU, Australia yang meyoroti tentang perjalanan makna Sumpah Pemuda dari awal mula tahun 1928 sampai beberapa puluh tahun setelahnya.

Menarik, karena peneliti asing begitu tertarik dengan peristiwa peristiwa silam yang memicu terbentuknya nation Indonesia. Begitu juga dengan fakta bahwa Sumpah Pemuda terbangun dan terwujud karena sekelompok anak muda terpelajar yang semula sangat kental kesukuannya.

Bahwa untuk mengaku berbangsa satu dan dan bertanah air satu tidaklah menjadi masalah, namun begitu sampai kepada berbahasa, anak anak muda tersebut dilanda kebingungan, kalau boleh saya interpretasikan keadaan pada saat itu.

Sebagai pemuda yang telah mencicipi pendidikan politik Etis, mereka sama sekali tidak fasih berbahasa Melayu.  Bahasa yang mereka kuasai adalah bahasa Belanda dan bahasa daerah masing masing.

Dari kutipan surat kabar pada masa itu disebutkan bahwa ketua Konggres Pemuda, Soegondo Djojopoespito terpatah patah mencoba berbahasa melayu. 

Adalah Yamin, anak muda berumur 17 tahun yang meyakinkan perlunya untuk mempunyai bahasa persatuan.  Siti Soendari salah seorang peserta konggres merasa perlu meminta maaf karena tidak fasih berbahasa Melayu.  Semula Yamin di tahun 1926 mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu, namun Tabrani dari Jong Java menolak usul tersebut. Akhirnya tercapailah bunyi sumpah di point ketiga.

Point terakhir dalam Sumpah Pemuda itu berbunyi "Kami Poetra dan Poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan bahasa Indonesia".  Sebagai negara yang belum merdeka visi untuk mempunya bahasa persatuan sangatlah luar biasa, mengingat bangsa bangsa lain menemui banyak kesulitan untuk mencapai konsensus satu bahasa.

Perlu niat yang sangat kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai tanah air yang merdeka dengan bahasa yang mungkin tidak populer di kalangan pelajar saat itu.

Seiring waktu, jika dahulu para pemuda harus mengenyampingkan perbedaan bahasa demi menguatkan posisi bahasa Indonesia kini setelah 60 tahun Indonesia merdeka, nuansa plural yang menjadi unsur masyarakat Indonesia mulai dikedepankan.
Suka atau tidak, kesepakatan mengedepankan bahasa persatuan mempunyai ekses samping, yang menjadi senjata baik bagi Orde Lama maupun Orde Baru untuk menafikan perbedaan.  Aspirasi yang berbeda dari daerah dipahami sebagai ancaman terhadap persatuan.

Irama jaman yang berubah, pembacaan terhadap Sumpah Pemuda mengalami perubahan.  Bahasa daerah yang nyaris hilang tetap harus dipertahankan, Rakyat Indonesia tetap dapat berbangsa satu dan bertanah air satu dengan tetap mempertahankan identitas kesukuan yang beragam sebagai sesuatu yang unik namun menguatkan. 

Keith Foulcher menyajikan kembali makna Sumpah Pemuda yang mungkin sekali telah dilupakan, berusaha membawa esensi awal dari tekad sekelompok anak muda untuk mengawali lahirnya identitas suatu bangsa.






28 Oktober 2011

Rabu dan Kamis

Rabu malam saya berniat menghadiri diskusi buku penelitian Olle Tornquist di Wisma Proklamasi.  Saya bukan orang yang mudah menghapal jalan,,,tapi seperti biasa itu tidaklah menjadi halangan.   Kan bisa tanya teman dan buka internet untuk mendapat peta...mudah!!! 

Halangan pertama, menjelang sore mendung tebal berubah jadi hujan deras lumayan lama.  Seperti biasa, Jakarta chaos,,,,saya dari kantor berusaha menyetop taxi tanpa hasil.  akhirnya naik bis kopaja 66 ke Manggarai.  Dengan panik saya mengamati jalan Gatot Subroto sampai Kuningan yang kacau balau di semua lajur. Jam hampir menunjukkan pukul 7 malam,,,padahal acaranya jam segitu juga...

Setelah tersandera beberapa lama, akhirnya bis sampai di Manggarai, saya segera bergegas menyetop taxi, menyusuri jalan tambak berbelok ke jalan Proklamasi...nah itu dia,,kelewatan sedikit, jalannya satu arah lagi.

Wisma Proklamasi adalah juga kantor Freedom Institute, sebuah bangunan yang nyaman dengan aksen kayu dan batu, ada perpustakaan untuk umum, cafe kecil untuk ngopi,,,tempat gue banget deh!!!  Seperti yang saya duga acara sudah berlangsung...ruang pertemuan yang tidak begitu besar sudah penuh.  Saya segera menyelinap masuk, berusaha tidak grogi melihat mata mata yang melirik ingin tahu,,,ngapain perempuan kayak saya ikut di acara ini. Walaupun sudah terbiasa, tetap saja saya merasa terganggu dengan lirikan lirikan sekilas itu.  Kali ini saya beruntung orang sebelah saya tidak usil tanya tanya nama, FB..dsb....

Malam itu Wisma Proklamasi menjadi ruang kuliah saya, 2 orang sejarawan memberikan uraiannya, Peter Kasenda dan Soewarsono.  Sayang Peter Kasenda kurang begitu oke dalam membawakan makalahnya, banyak menyebut penulis asing secara sambil lalu.

Menikmati pertanyaan pro dan kontra yang silih berganti diajukan sampai akhirnya selesai.  Keluar ruangan melihat buku buku sospol, sejarah dan budaya dijual,,tidak bisa menahan diri,,,,terbeli 2 buku...saya masih sempat melirik buku tebal yang ditulis Alfred Russel Wallace tentang kepulauan Nusantara.  Wallace, yang hasil penelitiannya dipakai Darwin untuk menguatkan teori Origin of Species-nya. 

Tahan napas...1,2,3...kembalikan bukunya!.... Selesai transaksi, saya ingin melongok perpustakaan,,ternyata sudah tutup..demikian juga dengan cafe mungil itu..sial,,,!!!  tapi ini juga hampir jam 10 malam..memang sudah waktunya tutup.  Oh..masih ada perjalanan panjang menuju rumah...ahhh..kecil itu mah buat preman seperti saya..:)

Ganti ke hari berikutnya,,Kamis, lelah sekali pulang kantor..busway yang entah kenapa lama sekali datangnya..di Ragunan segera berganti angkot, seperti biasa saya selalu duduk paling pojok belakang jendela.  Merasa silau oleh lampu mobil, saya menoleh ke mobil belakang.  Pengemudinya seorang pria muda, semula saya tidak mengerti sedang apa dia..ternyata saat saya menoleh ia melakukan kiss bye..hah??...karena bingung, saya menoleh sekali lagi...lagi lagi dia melakukan kiss bye...:), kasian banyak orang stress karena macet ..ha..ha.

Ternyata keanehan belum berakhir...di angkot terakhir menuju rumah kembali saya terganggu dengan laki laki yang melirik lirik saya hampir sepanjang jalan.  Seperti biasa, saya menyibukkan diri dengan BB, sudah terlalu lelah dan terlalu biasa dengan pandangan seperti itu.

Finally, sampai di depan komplek rumah.  Huh...melelahkan!!...

23 Oktober 2011

Belum Ada Judul (3)

Tumenggung Notoyudo menyingsingkan wironnya bersamaan dengan Praba yang melangkah menuju tempat para prajurit berkumpul.

"Kita kembali ke Sukowati sekarang", pendek Notoyudo memberi perintah.  Masing masing pemimpin pasukan segera menyiapkan anak buahnya.  Kuda kuda dilepas dari ikatannya siap membawa para prajurit kembali.

Paling depan telah tegak Pangeran Prang Wedana, seorang pekatik menuntun kuda hitamnya.  Blangkon hitam dengan kain parang rusak menambah sangar penampilannya. Tanpa berkata kata ia meloncat ke atas punggung kuda dan langsung berpacu menuju Sukowati.

Para tumenggung yang berada di belakangnya tergesa gesa mengikuti disusul oleh pasukan segelar sepapan.  Suara riuh akibat hentakan kaki kuda membelah langit.

Praba bergegas menuju kuda yang ditambatkan di pohon asam tak jauh dari tempat geladi berlangsung,  Sambil meloncat ke punggung kuda, ia berteriak pada anak buahnya "cepat, kalian bersiap kembali ke desa !"

Tidak berapa lama desa Pandak Karangnoko yang biasanya sunyi hiruk pikuk oleh kedatangan puluhan pasukan berkuda.  Telah beberapa bulan belakangan ini kepala desa Pandak Ki Merto telah menyediakan desanya sebagai tempat tinggal para prajurit Prang Wedana.

Ki Merto yang sedang membelah kayu bakar, menghentikan sejenak pekerjaannya mendengar suara gemuruh kaki kuda.  Ia menyeka keningnya sebelum bergegas menuju muka pekarangan dan menempatkan diri untuk menyambut pasukan.

Tidak hanya Ki Merto yang bergegas, dari sudut rumah yang paling besar di dusun itu, sosok tubuh terlihat berjalan menuju halaman depan.  Laki laki itu terlihat cukup berumur namun masih nampak tegap.  Ki Merto tergopoh gopoh memberi hormat saat laki laki itu mendekat.

"Nakmas Suryakusuma sudah selesai latihan nampaknya, dimana Ki Seco, panggil dia banyak yang harus kita bicarakan hari ini".

Ki Merto mengangguk hormat dan bergegas melaksanakan perintah itu.  Belum jauh ia berjalan, tampak 2 orang mendekat, laki laki tua berwibawa itu menajamkan matanya kemudian segera menghampiri.

"Nakmas", sapanya...Yang disapa mengangguk hormat,..."Sudah mendapat kabar bahwa Baron Van Hohendorff dipecat?"...

Suryakusuma menggangguk perlahan membenarkan, "benar ayah..penggantinya Nicolaas Hartingh.  Namun apakah bedanya sehingga ayah demikian tertarik dengan pergantian ini?"

09 Oktober 2011

Lekra bukan PKI

Saat iseng mencari cari topik menarik, saya menemukan perang tulisan yang cukup panas yang berawal dari pembakaran buku namun melebar menjadi masalah PKI dan Lekra.  Banyak argumen argumen menarik yang bila ditarik garis ke belakang membuka mata saya tentang hubungan antara PKI dan Lekra.  Jika penulisan G30S/PKI ditentang keras oleh para sejarahwan karena merupakan usaha regim terdahulu untuk memalsukan sejarah dan diungkapkannya fakta fakta yang menyebabkan pembacaan ulang terhadap gerakan tersebut.

Sama halnya dengan mengatakan PKI/Lekra, karena faktanya tidak semua anggota Lekra berpaham komunis dan anggota PKI.  Bahkan Nyoto yang merupakan tokoh sentral PKI menolak mengkomuniskan Lekra.

Selama ini kita hanya mendapatkan satu sumber resmi tanpa ada bantahan resmi pula.  Karena Lekra memang langsung dimatikan tahun 66 tanpa sempat membela diri.  Seluruh anggota dan pengurusnya ditangkap tanpa proses peradilan yang jelas, sementara yang berhasil lolos bersembunyi dengan trauma hebat akibat tuduhan sebagai antek komunis.

Ada Prahara Budaya yang disusun oleh Taufiq Ismail, namun  buku itu lebih terkesan sebagai pembela kaum manifest sebagai pemenang dalam situasi politik masa itu.  Yang menarik, usaha Taufiq dalam mendapat simpati kaum muda malah berbalik menjadi bumerang, karena anak anak muda yang menghadiri peluncuran buku tersebut malah mempertanyakan kembali apa yang sebenarnya terjadi antara golongan manifest dan Lekra serta tidak dapat menerima begitu saja pernyataan yang tertulis dalam Prahara Budaya tersebut.

Taufiq juga tidak menyinggung perlakuan yang diterima LEKRA pasca G30S.

Sedikit gambaran, suasana politik pada masa Soekarno berkuasa penuh dengan gelora menentang Amerika dan sekutunya.  Segala yang berbau barat dikecam.  Soekarno tampil dengan jargon "Politik adalah Panglima".  Lekra sebagai Lembaga Kebudayaan Rakyat juga larut dengan kemeriahan.  Bagi para budayawan Lekra, sastra tidak dapat dilepaskan dari keadaa/politik suatu bangsa. Lekra mempelopori sastra yang lebih umum, sehingga rakyat kebanyakan dapat ikut berpartisipasi.  Memasukkan nafas politik ke dalam sastra rupanya tidak disetujui oleh kalangan Manifes yang gerah membaca syair syair panas.  Kalangan manifes lebih memilih sastra yang sastra tidak dikaitkan dengan politik.

Benar, bahwa Pram sebagai anggota Lekra sempat menulis di Harian Rakjat untuk memberangus karya karya kalangan Manifes.

Saya sempat membaca tulisan yang sangat bagus dari eks ketua Lekra, Joebar Ajoeb mengenai Lekra dan keterkaitannya dengan PKI, bahwa ternyata Lekra sendiri menentang niat Aidit untuk mengkomuniskan Lekra.  Anggota Lekra bukanlah anggota PKI.

Tidak bisa dibantah generasi berikut demikian buta dengan perjalanan pahit bangsanya.  Kami dapat mengambil jarak dalam memandang perselisihan kaum Manifes dengan Lekra dan mungkin tidak memahami kebencian Taufiq Ismail terhadap Pram.  Namun sebagai intelektual yang peduli dengan kebenaran sejarah, Taufiq harus dengan jiwa besar menghentikan dendamnya atas Lekra. 

Nampaknya bangsa ini harus menulis ulang sejarah yang telah dipalsukan serta membakar buku buku yang diterbitkan oleh Orde Baru.



17 September 2011

Safere Audel !!!!!

Memanjakan diri dengan berlama lama membaca artikel artikel sejarah di Historia sangat menyenangkan.

Menelusuri tentang Kardinah Reksonegoro, adik Kartini.  Menelaah tentang keberhasilan 9 janda Rawa Gede meminta kompensasi kepada Belanda atas pembantaian yang mereka lakukan pasca perang kemerdekaan sampai dengan Umi Sardjono, bekas ketua Gerwani

Sebagai yang bukan ahli sejarah dan tidak pernah mengenyam pendidikan ilmu sejarah, tidak ada cara lain selain membaca sebanyak mungkin semua buku dan tulisan dan mencoba mengendapkan dalam pikiran kala muncul keinginan untuk menulis sesuatu yang berhubungan dengan sejarah.

Seperti seruan Immanuel Kant "Safere Audel" yang berarti berani menggunakan pengertian dan pengetahuan kamu sendiri.  Saya berusaha mendedikasikan kegemaran akan sejarah dalam blog ini, berupaya mengeluarkan kembali hasil interpretasi setelah membaca sekian banyak buku, menonton sekian episode program dokumenter.

Tidak mudah, dan sejarah bukanlah sesuatu yang populer dan saya tidak punya kemampuan jurnalistik untuk memolesnya menjadi populer.

Berbagai macam acara peluncuran, press conference sudah saya ikuti. kebanyakan glamour, gemerlap, wangi. Manusia cantik dan ganteng berseliweran tapi tidak pernah menimbulkan efek apapun. Datar dan tawar.

Namun begitu saya iseng menghadiri launching sebuah buku yang mengupas tentang kepahitan pemerintahan masa lalu yang diselenggarakan di sebuah gedung kuno, dihadiri oleh banyak orang tua, anak muda dengan pakaian seadanya, jeans dan kaos.  Tidak ada minyak wangi, tidak ada cahaya gemerlap atau buffet hidangan lezat.  Hanya ada diskusi, namun terasa gairah meluap luap dalam hati yang tidak pernah muncul sebelumnya.  Keluar dari gedung itu saya merasa lebih pintar.

Yang memacu saya untuk lebih tekun membaca berbagai jurnal.  Betapa malu saat membandingkan kualitas bacaan saya dengan para perintis. Di usia teramat muda mereka sudah melahap Das Capital, Plato, JJ Rouseau dan berbagai macam filsafat serta hukum dan ekonomi.  Sedangkan saya sampai sekarang masih tergagap gagap bila membaca Nietzsche.

Saya akan terus menulis interpretasi pribadi tentang sejarah dalam blog ini, tak peduli dibaca atau tidak semata mata untuk mengeluarkan api yang telanjur berkobar.

11 September 2011

Souvenir Miss Universe

Saya memfollow twitter yang beridentitas "PurePapua", twitsnya seperti namanya selalu berkisar pada masalah Papua.  Bagaimana kemiskinan mendera rakyat Papua di bawah kekuasaan Indonesia dan asing.

Satu twit yang menarik perhatian berbunyi : YUDHOYONO : Just kill all indigenous Papuans & other lesser races, so you & the Javanese Master race can have your 1000 year Jawa Reich.

Di situs Detik, saya juga membaca tentang Nadine Ames...semula saya tidak tahu siapa  itu Nadine, sampai seorang teman mengatakan bahwa ia adalah perwakilan dari Indonesia di kontes Miss Universe tentu saja dari ajang Putri - putrian.  Maaf saya kurang berminat mengikuti berita kontes kecantikan...:)

Terlepas dari keharusan memvote Nadine demi menunjukkan dukungan untuk masuknya nama Indonesia di ajang kontes kecantikan, tentu saja saya tidak bisa tahu apakah Nadine benar benar menguasai soal soal Indonesia, kalau bahasa Inggris sih sepertinya tidak masalah, tampaknya pihak Mustika Ratu belajar dari 2 kesalahan konyol sebelumnya,,,,mengirimkan wakil yang tidak fasih bahasa Inggris ke kontes yang native-nya adalah Inggris. 

Tapi ada yang membuat saya mengernyitkan dahi, adalah souvenir yang dibawa...batik dan wayang.  Okeeee.....memang itu souvenir khas Indonesia....tapiiiii kita kan punya ribuan pulau dengan souvenir yang bermacam macam, kenapa itu itu lagi yang dibawa.  Putri Indonesia mewakili Indonesia bukan pulau Jawa.  Apa karena Mustika Ratu identik dengan Jawa Keraton, sehingga tidak bisa melepaskan Jawanisasi di setiap eventnya.

Agak cerewet dan gak penting karena ribut soal souvenir, mungkin karena saya membaca twitter dari Papua yang "rasis" tapi rasanya ada kebenaran di situ.

Walau saya memiliki ikatan emosional dengan kebudayaan Jawa, namun saya tidak ingin negara ini menjadi Jawanesia.....Ada banyak pulau dan etnis yang harus diperhatikan dan diangkat...salah satunya Papua itu yang sudah menyumbang banyak sekali dollar untuk Indonesia namun seperti kata @PurePapua, hak asasi manusia di sana justru terabaikan oleh manusia Jawa.

05 September 2011

Hip Hop Diningrat

Pernah mendengar lagu rap yang sekilas diperdengarkan saat tayangan rakyat Jogja menuntut referendum?...

Ya itu lagu hip hop yang berjudul Jogja Istimewa, diusung oleh Mohamad Marzuki, anak muda pendiri Jogja Hiphop Foundation.  Hip hop yang biasa nya dalam bahasa Inggris kini dilantunkan dengan bahasa Jawa lengkap dengan cengkok medoknya.

Tidak itu saja, Juki panggilan Marzuki juga sering memasukkan syair-syair dari babad atau serat ke dalam lagu hip hopnya.

http://www.youtube.com/watch?v=F18vJTtX_Ns
http://www.youtube.com/watch?v=NyDUB8W1PTI

Coba buka youtube, niscaya banyak lagu lagu hip hop bahasa Jawa yang kerap membuat kita terpingkal pingkal karena unsur lokalitas yang kuat dan unik dapat berpadu harmonis dengan budaya ngomel ala barat tersebut.  Film dokumenter mereka, Hiphop Diningrat, pernah diputar di teater Salihara dan mendapat sambutan hangat.

Bisa didengarkan pula lagu "Ora Cucul Ora Ngebul" atau "Jula Juli" yang merupakan karangan budayawan Sindhunata yang sarat dengan kritik sosial, begitu pula dengan "Cicak Nguntal Boyo". 

Publikasi mereka di web memakai tagline : Perlawanan Rap Centhini karena memang Marzuki sebagai motor penggerak menganalogikan syair syair dalam hip hop jawa ini berangkat dari kegelisahan bagaikan seorang Cebolang dalam serat Centhini.  Yang pernah membaca serat Centhini pasti familiar dengan tokoh Cebolang, anak muda yang melakukan pengembaraan, melakukan seks yang menyimpang sebelum akhirnya menemukan ilmu kebahagiaan.

Menariknya lagi kelompok ini juga menarik Soimah Pancawati, sinden serba bisa untuk menyanyikan beberapa lagu bersama.  Karena keunikannya pula kelompok ini diundang ke New York untuk mempresentasikan kreasi mereka.

Menyenangkan, melihat anak anak muda mengangkat budaya lokal di tengah kebosanan dengan tampilan penyanyi ala K-Pop yang serba monoton.




Sumedang

Jalur Jalan Daendels sepertinya berakhir saat saya mengunjungi Sumedang Idul Fitri ini.  Tentu saja tidak melalui trayek asli melalui Rajamandala namun Tol Cipularang untuk menyingkat waktu.

Sempat frustrasi di Jatinangor karena macet cukup panjang, namun mulai menghela napas lega setelah melewati pasar Jatinangor, sumber kemacetan.

Bersiap memasuki kelokan tajam yang menandai dimulainya Cadas Pangeran.  Mengamat amati kontur jalan yang berbelok menikung sepanjang 3 km?...Mencoba mengingat ingat apa yang ditulis Pramoedya tentang jalur ini.  Hampir sama dengan Puncak dimana pada point tertinggi terdapat restaurant.


Saya masih mencari cari peninggalan kuno di sepanjang jalan, mengingat Sumedang adalah bekas Kerajaan Sumedang Larang, pecahan dari Pajajaran dengan puncak pemerintahan pada masa Prabu Geusan Ulun.  Sumedang Larang yang semula berbentuk kerajaan akhirnya jatuh ke tangan Mataram dan diubah menjadi Kabupaten. Sumedang Larang sebagai kerajaan menguasai Tasik, Bandung, Garut, Sukabumi.  Memang tidak besar, mungkin tidak seluruh Jawa Barat mereka kuasai.  Cirebon, Ciamis dan Banten tidak termasuk mengingat Cirebon dan Banten berdiri sendiri sebagai Kesultanan.

Satu satunya yang agak unik adalah patung kecil Pangeran Kornel atau Pangeran Kusumadinata, bupati Sumedang sedang bersalaman dengan seorang perwira Belanda yang dideskripsikan sebagai Daendels saat sang bupati sedang menyampaikan protes tentang pembangungan jalan cadas pangeran di abad 19 tersebut

Namun menurut sejarawan Djoko Marihandono, berdasarkan arsip arsip resmi disangsikan bahwa Pangeran Kornel pernah bertemu dengan Daendels karena tidak pernah ada catatan bahwa Daendels pernah berkunjung ke Sumedang, Demikian pula dengan Raffles, saat Inggris menggantikan Belanda di Indonesia. Juga tidak pernah ada catatan protes atau pembangkangan dari pembesar Sumedang jaman itu.  Hanya cerita rakyat ?...entahlah.

Saya pernah membaca, patung itu sendiri dibuat tahun 1980-an atas permintaan keluarga besar ningrat Sumedang, mungkin keturunan Pangeran Kusumadinata.

Di luar itu kota ini semakin seragam dengan kota utama, sayang sekali jalur yang saya tempuh menuju rumah Nenek tidak melewati alun alun, siapa tahu justru di alun-alun akan terlihat wajah kota yang asli sebelum tertutup seluruhnya oleh modernisasi.  Sementara ini ternyata Sumedang lebih familiar dengan tahunya...yang ternyata tidak seenak saya kira.