05 September 2011

Sumedang

Jalur Jalan Daendels sepertinya berakhir saat saya mengunjungi Sumedang Idul Fitri ini.  Tentu saja tidak melalui trayek asli melalui Rajamandala namun Tol Cipularang untuk menyingkat waktu.

Sempat frustrasi di Jatinangor karena macet cukup panjang, namun mulai menghela napas lega setelah melewati pasar Jatinangor, sumber kemacetan.

Bersiap memasuki kelokan tajam yang menandai dimulainya Cadas Pangeran.  Mengamat amati kontur jalan yang berbelok menikung sepanjang 3 km?...Mencoba mengingat ingat apa yang ditulis Pramoedya tentang jalur ini.  Hampir sama dengan Puncak dimana pada point tertinggi terdapat restaurant.


Saya masih mencari cari peninggalan kuno di sepanjang jalan, mengingat Sumedang adalah bekas Kerajaan Sumedang Larang, pecahan dari Pajajaran dengan puncak pemerintahan pada masa Prabu Geusan Ulun.  Sumedang Larang yang semula berbentuk kerajaan akhirnya jatuh ke tangan Mataram dan diubah menjadi Kabupaten. Sumedang Larang sebagai kerajaan menguasai Tasik, Bandung, Garut, Sukabumi.  Memang tidak besar, mungkin tidak seluruh Jawa Barat mereka kuasai.  Cirebon, Ciamis dan Banten tidak termasuk mengingat Cirebon dan Banten berdiri sendiri sebagai Kesultanan.

Satu satunya yang agak unik adalah patung kecil Pangeran Kornel atau Pangeran Kusumadinata, bupati Sumedang sedang bersalaman dengan seorang perwira Belanda yang dideskripsikan sebagai Daendels saat sang bupati sedang menyampaikan protes tentang pembangungan jalan cadas pangeran di abad 19 tersebut

Namun menurut sejarawan Djoko Marihandono, berdasarkan arsip arsip resmi disangsikan bahwa Pangeran Kornel pernah bertemu dengan Daendels karena tidak pernah ada catatan bahwa Daendels pernah berkunjung ke Sumedang, Demikian pula dengan Raffles, saat Inggris menggantikan Belanda di Indonesia. Juga tidak pernah ada catatan protes atau pembangkangan dari pembesar Sumedang jaman itu.  Hanya cerita rakyat ?...entahlah.

Saya pernah membaca, patung itu sendiri dibuat tahun 1980-an atas permintaan keluarga besar ningrat Sumedang, mungkin keturunan Pangeran Kusumadinata.

Di luar itu kota ini semakin seragam dengan kota utama, sayang sekali jalur yang saya tempuh menuju rumah Nenek tidak melewati alun alun, siapa tahu justru di alun-alun akan terlihat wajah kota yang asli sebelum tertutup seluruhnya oleh modernisasi.  Sementara ini ternyata Sumedang lebih familiar dengan tahunya...yang ternyata tidak seenak saya kira.


Tidak ada komentar: