27 Oktober 2009

Tengah malam menjelang, kali ini sasadara sudi memunculkan rupanya yang kuning cerah.

Sosok laki laki berikat kepala wulung berjalan pelan, bayangan meriap mengikuti langkahnya. Sekali kali ia mendongak menatap sinar bulan yang muncrat keemasan.

"Diajeng" keluhnya perlahan,,,,namun ia tetap melangkah membawa hatinya yang retak.

Cahaya sasadara yang gemilang juga memancing minat seorang perempuan untuk memandangi, sekedar menuntaskan isi benak yang nyaris meluap. Pontang panting ia berusaha meredam resahnya.

"Sedang apa kau kakang?"...gumamnya miris. Atas nama kerinduan ia menatap lintang alihan yang meluncur membelah langit.

Amat riuh sepasang manusia itu serentak mengadukan nasibnya kepada lintang alihan yang kebetulan sedang melintas. Angin berdesau lirih memantulkan asmarandhana yang terpenjara oleh takdir.

Nyaris berantakan hati Rakryan Kanuruhan Mahesa Giri saat ini.

Bagi Dyah Narya Rukmi wajah teduh Mahesa Giri adalah gelegak lautan itu sendiri, gelegak yang selalu membawanya pada keindahan ragawi. sudah menjadi kodrat pertemuan dua arus yang berbeda akan selalu menimbulkan gelombang.

Namun sekuat kuatnya gelombang tidak dapat melewati garis pantai yang telah ditentukan. Hasrat yang meluap harus tunduk kepada garis Yang Maha Agung.

Malam semakin larut, suara burung bence melengking tajam menyela angan sang Kanuruhan. Kehangatan tubuh Narya Rukmi masih tetap membekas menimbulkan rindu dan nyeri sekaligus.
"Tahukah kau isi hatiku, Narya Rukmi" desahnya berat.

"Rindukah kau padaku kakang?" lirih perempuan itu berbisik

15 Oktober 2009

Keagungan Sebuah Mandala

Kunjungan terakhir ke Borobudur sangat berkesan. Kunjungan pertama saat SMA dulu sama sekali tidak terekam jelas mungkin karena masih belum mengerti.

Saat terlihat keagungan mandala tersebut dari kejauhan, hatiku berdegup keras. Seolah lambaian dari masa silam berdiri tegak menampakkan wujudnya. Seakan melihat sendiri sosok Rakai Pikatan, Raja Agung dari wangsa Sanjaya sedang melambaikan tangan di anak tangga Kamadhatu. Sosok yang menyatukan dua dinasti besar saat itu, Syailendra dan Sanjaya.

Sambharabudhara yang kelak dikenal dengan Candi Borobudur membawa ajaran Budha bermazab Mahayana. Dimana pada abad ke 9 kerajaan Mataram Kuno yang masih berkedudukan di Jawa Tengah menganut agama Budha Mahayana di bawah pemerintahan Samarattungga dari wangsa Syailendra.

Diperkirakan pada masa Samarattungga inilah pembangunan Borobudur dimulai, yang kalau dikatakan memakan waktu 1 abad berarti dimulai pada abad ke 8 dan diselesaikan saat kekuasaan pindah ke tangan Rakai Pikatan, suami dari Pramodawardhani yang berarti menantu Samarattungga.

Boleh dikatakan pada masa Rakai Pikatan inilah 2 candi masyur yaitu Borobudur dan Prambanan diresmikan. 2 Candi yang membawa peradaban berbeda : Budha dan Hindu.

Borobudur diresmikan oleh sang permaisuri Pramodawardhani yang beragama Budha sedangkan Prambanan didirikan atas prakarsa Rakai Pikatan sang Maharaja Mataram Kuno yang memeluk Hindu Syiwa.

Menyusuri tingkatan Candi yang melambangkan 4 tingkatan kehidupan (Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu dan Arupa) mengingatkan aku pada 4 tingkat nafsu dalam ajaran Sufi Islam : Ammarah, Lawwamah, Mulhamah dan Muthma'inah.

Mengelilingi candi laksana memberikan salam penghormatan terhadap sang arsitek Gunadharma yang berhasil menampilkan religiusitas sekaligus mistis abadi. Memandangi ukiran sekeliling candi berusaha menyerap aroma kehidupan lebih dari 1000 tahun lampau. Mengira ngira bagaimana mengikat batuan ini dengan kuat hanya dengan sistem kait antara batu.

Candi ini terlupakan berabad abad setelah Mataram Kuno berpindah ke Jawa Timur pada jaman Mpu Sindok. Apakah letusan merapi yang menyebabkan perpindahan itu? masih belum jelas.
Yang pasti Candi ini terkubur menjadi bukit dan ditemukan kembali pada jaman Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles di abad 19.

Cukup aneh karena pujangga pujangga kerajaan tidak mewariskan warta tentang kebesaran candi ini kepada Raja raja setelahnya.

Kebesaran Mataram kuno terputus pada jaman Dharmawangsa Teguh. Runtuh setelah serangan dari Wurawari. Kerajaan baru Kahuripan yang didirikan oleh menantunya Airlangga boleh dibilang lepas dari wangsa Syailendra maupun Sanjaya.

Bukankah hal jamak raja baru tidak ingin kebesarannya tertutup oleh raja pendahulunya. Tidak heran bila para Mpu membuat cerita yang menonjolkan raja yang berkuasa pada saat itu dan menghilangkan peran para pendahulunya.

Kita tidak akan menemukan tulisan tentang candi Prambanan pada rontal kitab Desa Vernana atau yang lebih dikenal dengan Negarakertagama karya Pancaksara nama sandi dari Mpu Prapanca pada jaman Majapahit. Padahal Majapahit menganut pula ajaran Hindu Syiwa, namun bisa dimengerti karena Majapahit sebenarnya telah terputus dengan Mataram kuno. Trah Girindrawangsa tidak ada hubungan lagi dengan wangsa Sanjaya, Syailendra atau Isyana.

Budaya tulis saat itu hanya dimiliki oleh kaum Brahmana dan Ksatria. Kalangan sudra yang merupakan kalangan terbanyak tidak diijinkan memiliki pengetahuan seperti halnya 2 kasta atas tersebut. Sehingga bila suatu kerajaan musnah, musnah pulalah jejak dan pengetahuan tentang keberadaannya kecuali jika meninggalkan prasasti di tempat lain.

Sejenak aku berusaha merekam utuh citra sambharabudhara, seperti halnya mencoba merangkum sosok Rakai Pikatan ke dalam mimpi mimpi tentang masa silam dimana tanah ini masih berwujud jatidiri yang berbeda.

10 Oktober 2009

Trilogi Dukuh Paruk

Ingat Novel Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari yang memikat itu? Sebuah trilogi budaya yang telah diterjemahkan ke dalam 5 bahasa asing.

Kalau dimasa remaja dulu saya tidak sengaja menemukan novel tersebut di perpustakaan sekolah dan segera terbenam dalam budaya Banyumas di era tahun 1960-an walau nalar beliaku yang belum genap 14 tahun masih terbengong bengong takjub membaca tradisi bukak klambu yang menggambarkan upacara pelepasan kegadisan seorang ronggeng.

Setelah dewasa saya bersyukur bisa menyelesaikan 2 buku lainnya dari trilogi Dukuh Paruk yaitu Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala.

Ahmad Tohari melukiskan dengan jeli sebuah padukuhan kecil, terbelakang dan melarat bernama Dukuh Paruk yang terletak di Banyumas sana. Dukuh Paruk yang kusam seakan akan mendapatkan energinya kembali saat roh penari ronggeng dipercaya menitis pada Srintil seorang gadis kecil yang kehilangan kedua orang tuanya akibat keracunan tempe bongkrek.

Srintil yang memang memiliki kelebihan fisik dari gadis gadis sekampungnya telah dipersiapkan oleh dukun ronggeng Ki dan Nyai Kartareja. Seorang ronggeng haruslah mempunyai kelebihan daya tarik seksualitas dari wanita lain dan itu dimiliki oleh Srintil. Srintil dihormati oleh setiap wanita di Paruk dengan panggilan Jeng Nganten.

Saya dibuat terpaku dengan kemiskinan yang diperlihatkan dengan gamblang. Rumah rumah dari bilik dengan atap rumbia, halaman yang digunakan untuk buang hajat bahkan sudut kamar tidur yang masih beralaskan tanah sering dipakai untuk buang air kecil. Demikian pula dengan penggambaran seksualitas yang nyaris tanpa tedeng aling aling namun tidak porno.

Tradisi penghormatan terhadap leluhur ditunjukkan dengan pembakaran menyan di makam Ki Secamanggala setiap akan mementaskan tayub.

Srintil tidak meminta untuk menjadi Ronggeng, ia hanya ingin menjadi seorang istri. Cinta terhadap Rasus, teman sepermainan dari kecil membuatnya menyalahi kodrat seorang Ronggeng.

Pada akhirnya penghuni Dukuh Paruk dengan kelompok ronggengnya tidak dapat menghindar dari huru hara berdarah tahun 1965. Kepolosan seni ronggeng dimanfaatkan oleh ketua dari perkumpulan pemuda rakyat sebagai alat propaganda yang berakibat para sesepuh desa termasuk Srintil harus mendekam di penjara tanpa mengerti salah mereka.

Pada akhirnya Srintil tidak kuat menanggung derita. Srintil yang masih tetap cantik dan menjadi primadona setelah bebas justru terganggu syarafnya setelah impiannya menjadi seorang istri dihancurkan oleh Baljus, pria yang dianggap sebagai kekasih dalam usahanya melupakan Rasus.

Membaca Trilogi ini aku merasa dihempaskan ke dalam kepahitan. Betapa kita merasa sebagai manusia kota besar yang berbudaya tapi sebenarnya berhati serigala. Melihat penduduk desa yang melarat tertatih tertatih berusaha bangkit dari kehancuran desa akibat serbuan tentara. Muak melihat kelakuan manusia manusia kota besar yang tega memanfaatkan kenaifan penduduk desa.

Dalam novel ini tergambarkan budaya, gender, cinta, kemanusiaan dan politik yang berpadu dengan indah namun tidak mendayu dayu.

Pada akhirnya muncul kerinduan untuk menjenguk masa lalu dengan kacamata yang bening. Sayang aku telah menjadi produk masa kini. Produk manusia kota yang sering kejam dan dengki dengan alam dan sesamanya.

08 Oktober 2009

Tanah Semenanjung

Wong Agung Wilis. Aku nyaris bersorak saat menemukan kembali mata rantai yang hilang tentang sejarah Blambangan. Sebuah daerah semenanjung di ujung timur pulau Jawa yang kini dikenal dengan Banyuwangi.

Sebuah kisah sejarah yang sempat dibaca namun tidak sampai tuntas di masa kanak kanak dulu, hasil mencuri curi baca di harian Kompas.

Sebuah trilogi karya Putu Praba Darana yang memaparkan perjuangan rakyat blambangan dari jaman Sawunggaling melawan Belanda. Dengan tokoh tokoh nyata seperti Wong Agung Wilis, Sayu Wiwit, Mas Ramad Surawidjaja dan Mas Sratdadi.

Blambangan runtuh sebagai kerajaan Hindu Syiwa terakhir di Jawa setelah Puputan Bayu tahun 1771 yang memusnahkan hampir 90 persen rakyat Blambangan.

Para pewaris darah Tawang Alun tersebut menolak kehadiran Belanda, menolak tawaran modal raksasa yang berujung pada persundalan walaupun harus dibayar dengan nyawa mereka. Dengan caranya sendiri mereka mentertawakan Raja Raja Mataram yang mereka anggap telah menjadi sundal. Sebutan apa yang pantas bagi orang yang menjual harga dirinya kepada bangsa asing selain sundal.

Dengan teliti Praba Darana memaparkan budaya Blambangan saat itu. Para perempuan Blambangan seperti halnya Bali berkain batik dengan gelang binggal di kaki, cundrik diselipkan di depan dan bertelanjang dada. Penampilan yang membuat otak kotor orang orang Belanda maupun pejabat pejabat Mataram menjadi semakin kotor.

Blambangan tertidur panjang setelah Bhre Wirabumi, putra Hayam Wuruk dari selir yang menjadi penguasa Blambangan terbunuh oleh Raden Gajah dalam huru hara perang paregreg di awal abad 15.

Tanah semenanjung ini menggeliat kembali saat Mas Nuwong, pangeran Pati yang kemudian bergelar Mangkuningrat naik tahta sebagai Raja Blambangan. Sementara adiknya Mas Sirna menjadi Patih yang kelak bergelar Wong Agung Wilis.

Dari Wilis inilah darah para satria Blambangan bergolak melihat tangan asing menjarah kekayaan negeri mereka. Sementara Mangkuningrat dan putra sulungnya dihukum Mati oleh Raja Mengwi di Bali karena bekerja sama dengan Belanda.

Putra Putri Wong Agung Wilis melanjutkan perjuangan orang tua mereka sampai darah Tawang Alun tertumpas nyaris punah dalam Puputan Bayu.

Buku ini sama berharganya dengan tetralogi Buru milik Pramoedya Ananta Toer. Cukup mengherankan trilogi Blambangan yang luar biasa ini bisa lolos dari pencekalan rezim Orde Baru saat itu mengingat cukup banyak sindiran terhadap ketamakan penguasa pribumi terhadap para pemodal asing.

Sementara aku terhenyak saat membaca informasi tentang Putu Praba Darana yang namanya sangat Bali itu. Ternyata ia adalah seorang Pendeta Kristen Bethel beribu orang Jawa berbapak orang Bali. Nyaris tak percaya kalau Putu Praba Darana ini adalah pengarang Trilogi Blambangan yang sangat kental dengan nuansa Hindu Syiwanya.

Namun itulah yang patut dihormati, seorang agamawan yang tidak melupakan sejarah asal usulnya.