Seorang perempuan muda termangu, penderitaan berpendar di matanya.
Perempuan itu seharusnya belum genap 16 tahun, tapi terlihat rambut putih menyembul dan sorot matanya menyiratkan jiwa yang matang bukan lagi sorot kanak-kanak yang beranjak dewasa..
Demikian adegan film Kartini dibuka. Di buku saya membayangkan Kartini belia yang penuh semangat yang sedang tertekan jiwanya sementara dalam film saya menemukan Kartini yang matang secara usia namun masih remaja pola pikirnya.
Kartini bukan pertama kali ini difilmkan. Tahun 1984 Sjumandjaya membuat film Kartini yang dibintangi Yenny Rachman berdasarkan tulisan Siti Soemandari
Kartini adalah seorang anak remaja putri yang dijuluki kuda kore karena kebiasaannya tertawa lepas, tak sungkan menunjukkan giginya yang dianggap tidak sopan dalam adat bangsawan pada masa itu,
Alur film pun bergulir. Ngasirah muda yang bertubuh jangkung dan lencir diperankan Nova Eliza sedang duduk bersimpuh menyaksikan anaknya, Kartini kecil yang meradang, menggigiti kakaknya yang ingin membawanya paksa dari kamar.
Lalu adegan Kartini berlatih jalan jongkok, merawat diri sampai dialog dengan kakaknya, Sosrokartono, Mooei Sos yang tampan itu yang sedang bersiap menuju Belanda. Sos memperkenalkan adiknya itu dengan buku-buku yang lebih serius.
Kardinah dan Roekmini akhirnya memasuki masa pingitan, pada masa itu Kartini menjadi lebih mengenal adik-adiknya.
Adegan kunjungan keluarga Ovink Soer kenalan keluarga ke kediaman bupati Ario Sosroningrat sementara Kartini merebut nampan suguhan untuk tamu dari tangan pelayan agar ia sendiri yang mengantarkan ke hadapan Ovink Soer demi mendapatkan kesempatan bercakap-cakap sementara sang ayah yang bijaksana membiarkan anak perempuannya itu berbicara di hadapan tamu.