01 Mei 2017

KARTINI DALAM FILM

Seorang perempuan muda termangu, penderitaan berpendar di matanya.

Perempuan itu seharusnya belum genap 16 tahun, tapi terlihat rambut putih menyembul dan sorot matanya menyiratkan jiwa yang matang bukan lagi sorot kanak-kanak yang beranjak dewasa..

Demikian adegan film Kartini dibuka.  Di buku saya membayangkan Kartini belia yang penuh semangat yang sedang tertekan jiwanya sementara dalam film saya menemukan Kartini yang matang secara usia namun masih remaja pola pikirnya.

Kartini bukan pertama kali ini difilmkan.  Tahun 1984 Sjumandjaya membuat film Kartini yang dibintangi Yenny Rachman berdasarkan tulisan Siti Soemandari

Kartini adalah seorang anak remaja putri yang dijuluki kuda kore karena kebiasaannya tertawa lepas, tak sungkan menunjukkan giginya yang dianggap tidak sopan dalam adat bangsawan pada masa itu,

Alur film pun bergulir.   Ngasirah muda yang bertubuh jangkung dan lencir diperankan Nova Eliza sedang duduk bersimpuh menyaksikan anaknya, Kartini kecil yang meradang, menggigiti kakaknya yang ingin membawanya paksa dari kamar.

Lalu adegan Kartini berlatih jalan jongkok, merawat diri sampai dialog dengan kakaknya, Sosrokartono, Mooei Sos yang tampan itu yang sedang bersiap menuju Belanda.  Sos memperkenalkan adiknya itu dengan buku-buku yang lebih serius.

Kardinah dan Roekmini akhirnya memasuki masa pingitan, pada masa itu Kartini menjadi lebih mengenal adik-adiknya.

Adegan kunjungan keluarga Ovink Soer kenalan keluarga ke kediaman bupati Ario Sosroningrat sementara Kartini merebut nampan suguhan untuk tamu dari tangan pelayan agar ia sendiri yang mengantarkan ke hadapan Ovink Soer demi mendapatkan kesempatan bercakap-cakap sementara sang ayah yang bijaksana membiarkan anak perempuannya itu berbicara di hadapan tamu.

Akhirnya Kartini, Kardinah dan Roekmini dapat keluar untuk bertamu ke rumah keluarga Ovink Soer.  Di sana mereka menunjukkan batik hasil buatan mereka sendiri.  Kartini mendapat tawaran untuk menulis dan diperkenalkan dengan jurnal antropologi.

Terlihat Kartini sedang menulis lembar-lembar artikel tentang perkawinan suku Kodja di Jepara yang kemudian mengesankan nyonya Ovink Soer yang akhirnya mengirimkannya ke jurnal Antropologi di Belanda dengan mencantumkan nama bupati Sosroningrat.  Waktu pun bergulir, tulisan-tulisan Kartini mulai menghiasi surat kabar.  Kartini mendapat sahabat pena, Stella Zeehandelaar, seorang aktivis wanita di Belanda.  Dan mereka pun mulai berkirim kabar secara teratur

Ibu tiri Kartini digambarkan judes dan galak, tipikal ibu tiri yang sering kita dongengkan pada anak-anak.  Sementara Ngasirah sepuh yang diperankan oleh Christine Hakim tetap tinggal di rumah keluarga Sosroningrat sebagai pembantu.  Tidak terlalu banyak interaksi antara Kartini dengan ibu kandungnya itu.

Tiga bersaudari yang dijuluki daun semanggi itu mulai populer dan diundang ke pertemuan para pembesar.  Mereka juga diminta membantu pameran budaya yang akan diadakan di Belanda, maka mereka mengangkat ukiran Jepara yang sedang terpuruk dengan motif bikinan mereka sendiri.

Kardinah dilamar oleh wakil bupati Tegal, menyebabkan tiga saudara itu terguncang.  Keinginan Kartini untuk bersekolah di Belanda mendapat tentangan.  Para kerabat mencela sikap Sosroningrat yang terkesan membebaskan putri-putrinya, situasi itu menyebabkan ayah Kartini menderita sakit serius.  Mengetahui tekanan pada ayahnya menyebabkan Kartini berubah pikiran.

Pada usia 24 tahun Kartini dilamar oleh bupati Rembang Joyodiningrat yang telah beristri tiga, tentunya ini bertentangan dengan prinsip Kartini yang anti poligami.   Namun ia lebih memikirkan kondisi kesehatan ayahnya dan walaupun demikian ia tetap mengajukan syarat-syarat yang cukup berat dan diterima oleh sang bupati.

Begitulah garis besar film KARTINI besutan sutradara Hanung Bramantyo.  Seperti biasa Hanung piawai membuat film berlatar sejarah menjadi sesuatu yang mudah dicerna, tidak terlalu berat dengan pendekatan populer generasi sekarang.  

Namun pendekatan seperti itu juga berpotensi mengurangi esensi pandangan dan pola pikir sang tokoh.  Seperti halnya dengan Kartini.  Kartini dalam surat-suratnya tidak sekadar mengeluhkan nasibnya tapi memaparkan pandangan dan wawasan berdasarkan apa yang sudah dibaca dan dilihatnya dalam masyarakat.  Kartini dengan tajam menyoroti orang Eropa dan para bangsawan jawa yang sengaja menghalangi rakyat jelata untuk memperoleh pengetahuan, tentang sastra dan seni.

Ia dengan jeli mampu memilah kesungguhan surat kabar dan majalah yang ingin menerbitkan tulisannya.  Kartini dengan waspada melihat bahwa tawaran dari para penerbit itu bukan karena tulisannya bagus namun lebih kepada kebutuhan popularitas bahwa seorang gadis dari negeri jajahan yang tak beradab menulis untuk menyampaikan pikirannya.

Dalam film, Hanung tidak terlalu mengangkat isi surat-surat Kartini namun lebih kepada interaksi Kartini dengan adik, ayah dan ibu kandungnya serta masyarakat sekitar.  Timbul pertanyaan saat Kartini menulis tentang perkawinan suku Kodja, apakah ia membacanya dari buku atau melihatnya sendiri mengingat ia hampir tidak boleh keluar dari kabupaten.

Tentang Kardinah yang demikian terguncang saat dilamar, yang pernah saya baca Kardinah justru menerima lamaran dengan sukarela dan hidup bahagai dengan suaminya.  Rukmini pun menjalani kehidupan dengan suaminya tanpa harus mengalami poligami.

Saat mengangkat kesenian ukir Jepara, motif ukir yang diciptakan Kartini dan menjadi ciri khas Jepara adalah macan kurung dan bunga-bungaan, tapi yang diangkat dalam film adalah ukiran bertema wayang.

Namun sinematografinya memang ciamik.  Penonton disuguhi gambar-gambar indah sepanjang film.  Sayang pemeran Kartini, Dian Sastro agak kurang pas, ekspresinya kadang berlebihan dan kalau bisa dibilang terlalu tua sebagai Kartini belia di awal film.   Christine Hakim seperti biasa bermain cemerlang, Reza Radian pas sebagai Sosrokartono.  Mungkin bisa dibuatkan film tentang kisah Sosrokartono yang juga tak kalah cemerlang dari adiknya.

Secara keseluruhan film berdurasi 2.5 jam ini menarik untuk ditonton, asal jangan terlalu saklek membandingkannya dengan data-data sejarah.

Tidak ada komentar: