“Hati-hati dengan turis asing yang sekarang naik gunung dan memetiki
daun karena dengan teknologi tissue culture 1 helai daun bisa perkebunan. Di Jepang telah tersimpan ribuan daun dari
Indonesia, mereka siap membuat perkebunan jika kita tidak bisa menjaga alam”.
Demikian salah satu peneliti dari
IPB memperingatkan saat diskusi di acara Jalur Rempah
Di dalam kitab Taurat dikatakan
bahwa Ratu Syeba selain memberikan ribuan kilogram emas kepada Raja Sulaiman, ia
juga menyertakan sejumlah besar rempah-rempah. Dalam jenis yang lebih
spesifik Surat Al-Insan ayat 6 memuat kata kapur barus sebagai campuran mata
air dalam Surga.
Kapur barus dihasilkan oleh suatu
tempat bernama Barus yang terletak di pesisir Sumatera Utara.
Kisah
perjalanan rempah terus berlanjut. Segenggam cengkeh ditemukan dalam
wadah keramik yang terbakar di gurun pasir Suriah yang kemudian dinamakan situs
Terqa. Para ahli mengidentifikasikan usia cengkeh berdasarkan usia tanah
liat yang mengubur stus tersebut yaitu 1720 SM.
Pada
era dinasti Han (206 SM-220 SM) cengkeh menjadi sesuatu yang wajib untuk
dikunyah para tamu sebelum menghadap kaisar.
Cerita-cerita
ajaib tentang rempah dan negeri penghasilnya terus berlanjut. Di Eropa
rempah menjadi simbol status. Toko yang menjual rempah terletak di daerah elit.
Orang miskin di Eropa tidak akan sanggup membeli sejumput rempah-rempah untuk
menyedapkan makanan mereka.
Kebutuhan
yang mendesak akan rempah memicu ekspedisi penjelajahan lautan oleh bangsa Eropa
menuju negeri penghasil rempah yang diselimuti oleh dongeng-dongeng tentang
mahluk laut mengerikan yang menjaga perairan.
Portugis
dan Spanyol yang dikenal sebagai negara penjelajah berlomba menemukan sumber
rempah-rempah tersebut disusul oleh Belanda lewat VOC yang bahkan bercokol
paling lama di Nusantara.
Catatan panjang mengenai obsesi
bangsa Eropa terhadap rempah yang berasal dari Nusantara dan juga jalur-jalur
perdagangan yang timbul akibat perdagangan rempah menjadi dasar dikenalkannnya
pameran yang berjudul "Jalur Rempah" Sebuah rute lautan yang
menjadi lalu lintas para pedagang rempah dari berbagai bangsa untuk
bertransaksi. Rute yang teramat penting untuk diabaikan begitu saja dari
ingatan anak negeri.
Dari semata soal kenikmatan lidah
dan perut, perdagangan rempah menjadi gerbang masuknya agama, percampuran
budaya sekaligus awal kolonialisme di Nusantara.
Pameran Jalur rempah dari tanggal 13
- 16 April 2017 yang bertempat di Gallery Kantor Pos - Kota Tua Indonesia tepat
di sisi kafe Batavia diadakan oleh perkumpulan yang menyebut diri mereka
Jaringan Masyarakat Rempah.
Memasuki lorong galeri yang berkelok
untuk kemudian sampai pada satu ruangan yang juga berfungsi sebagai tempat
berdiskusi dengan para narasumber acara tersebut. Dinding kiri kanan
difungsikan untuk memajang gambar berbagai macam rempah dan fungsinya.
Sebuah peta besar dengan sebaran titik-titik pelabuhan Nusantara pada masa lalu
juga dipasang menjadi salah satu titik fokus mata pengunjung.
Bagi
yang pernah mengunjungi pameran Jalur Rempah dua tahun yang lalu di Museum
Nasional tentu akan melihat keterkaitannya yaitu sama-sama menarasikan
perdagangan rempah yang akibat daripadanya menjadi salah satu identitas yang
membentuk Indonesia sekaligus memakmurkan negara yang menjajahnya.
Dalam
dunia modern, di mana rempah bukan lagi sesuatu yang sulit diperoleh walaupun
tetap dibutuhkan dalam keseharian maka dari itu harus diberikan nilai
tambah. Riset menjadi sesuatu yang penting. Indonesia membutuhkan
banyak teknologi pengolahan rempah untuk menjadikan rempah sebagai produk
ekspor dalam bentuk yang berbeda.
Dari data Kementerian Perdagangan
tercatat rempah dan tanaman obat masih masuk dalam daftar 10 komoditi
potensial. Namun Indonesia bukan lagi pengekspor nomor satu di
dunia.
Sonny
Wibisono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional memaparkan agribisnis di
kerajaan Banten. Kerajaan Banten sebagai produsen lada yang penting di
abad 17. Kekayaan dari hasil produksi lada dapat digunakan untuk
membangun kota dan pelabuhan yang kaya. Tercatat pemukiman orang asing
dari berbagai bangsa pernah ada di kerajaan Banten.
Sentra-sentra
perkebunan lada berada di daerah pedalaman yang sampai sekarang masih bisa
ditemui seperti yang berada di wilayah Mandalawangi, Pandeglang.
Tercatat
penanaman lada secara masif ternyata membuat Banten kekurangan tanaman pangan
sehingga Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan untuk membuat saluran irigasi
untuk mengairi sawah dan menggiatkan kembali penanaman padi.
Saat harga lada turun tanaman lada
menjadi tak terurus kemudian terlupakan sampai sekarang. Di Banten sudah
tidak banyak yang ingat soal bertanam lada. Tahun 2010 bahkan Vietnam
menggungguli Indonesia sebagai pengekspor lada.
Pesan yang disampaikan adalah
penting bagi Pemerintah untuk memproteksi perdagangan rempah-rempah.
Termasuk agar berhati-hati agar turis asing yang berkunjung ke Indonesia tidak
seenaknya lagi memetik dan membawa keluar spesimen tumbuhan kita tanpa ijin
Muatan kapal yang tenggelam di
perairan Nusantara pun menampilkan kisah sendiri tentang perdagangan
rempah. Naniek Harkatingsih, arkeolog dengan spesialisasi bidang keramik
kuno membagikan pengalaman dalam eskavasi kapal-kapal kuno yang berhasil
ditemukan. Ditemukan semacam batu pipisan beserta penggilingnya.
Batu pipisan ini diduga digunakan untuk menggerus rempah-rempah
Yang
tak terlewatkan tentu kaitan rempah dengan aktivitas seksual sehingga timbul
pertanyaan yang menyengat apakah khasiat rempah hanya untuk
memenuhi kebutuhan lelaki. Sesuatu yang akhirnya menjadi perdebatan
sendiri dalam sesi tanya jawab.
Dari rempah dihasilkan banyak hal yang menyangkut
identitas ke-Indonesiaan kita. Beragam
jenis rempah yang tumbuh di negeri ini adalah sama halnya dengan keberagaman identitas yang seharus dijaga dengan baik sehingga tidak
mudah dipecah belah oleh pihak luarNOTE:
Tulisan ini dimuat dalam www.latarsastra.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar