27 November 2011

Jaman Bergerak - Takashi Shiraishi

Saya menemukan buku ini jauh di pasar buku bekas belakang Lapangan Merdeka, Medan.  Buku yang diambil dari desertasi Takashi Shiraishi dari Universitas Cornel mengenai radikalisme rakyat Jawa di tahun 1912-1926.

Sebuah penelitian yang sangat komprehensif yang dapat memuaskan keingintahuan saya mengenai situasi sosial politik dan warna pergerakan jauh pada masa pra kemerdekaan.

Dalam berbagai tulisan tokoh Tjipto, Misbach dan Mas Marco selalu menjadi acuan untuk keradikalan dalam berpikir, menulis dan bertindak, selain Tjokroaminoto dan Tirto Adhi Soerjo .  Saat Tjokro disebut sebut telah redup pamornya karena cenderung berpihak pada pemerintah dan Tirto telah wafat.  3 orang inilah yang terus memanaskan media masa zaman pergerakan.

Melalui tulisan Shiraishi inilah kita diajak meneropong suasana dan kedudukan pemerintahan Hindia Belanda dan Kasunanan yang waktu itu berada di bawah pemerintahan PB X.  Dapat dirasakan betapa berkuasanya era rust en orde kolonial dan mandulnya peran penguasa Kasunanan terhadap situasi yang dihadapi buruh tani dan buruh batik.  Betapa jauhnya jarak Sunan dengan rakyat wilayahnya sendiri.

Di sisi lain, kita melihat pemerintah Belanda menerjunkan ahli ahli terbaiknya dalam budaya Jawa untuk dalam tanda kutip membimbing para priyayi Jawa mengambil manfaat dari politik etis yang sebenarnya ditujukan bagi keuntungan pemerintah Hindia Belanda.  Kita dipaksa untuk menyaksikan para Javanolog berkebangsaan Belanda yang menguasai kebudayaan dan bahasa Jawa secara lebih baik dan mendalam daripada para pangeran Jawa itu sendiri.

Dalam istilah Shiraishi, Belandalah yang menemukan, mengembalikan, membentuk dan memberikan makna terhadap masa lalu Jawa.

Dari sekedar menghadapi perkumpulan Kong Sing, maka Rekso Roemekso bertransformasi menjadi Sarekat Dagang Islam pimpinan Haji Samanhoedi.  Jaman itu menjadi jaman berserikat dan jaman menulis.  Kemunculan Boedi Oetomo, Insulinde, Indische Partij menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dari suatu bangsa yang mulai menggeliat.

Shiraishi juga menggambarkan kedinamisan dan hiruk pikuk jaman bergerak saat itu.  Pemogokan buruh yang diorganisir oleh para pemimpin partai seperti Tjipto, Marco dan Soerjopranoto kerap terjadi saat upah glidig semakin tidak mencukupi.

Kemunculan ISDV yang membawa paham komunis memberikan warna dan peran tersendiri dalam mengangkat harkat bangsa jajahan.

BO terperosok menjadi sekedar perkumpulan priyayi Jawa yang setia kepada Sunan dan pemerintah tanah jajahan.  Para Pangeran dan keluarga Keraton belum sanggup berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan rakyat biasa. 

Para priyayi rendahan yang radikal merasa gerah dengan keadaan ini dan mulai melontarkan kecaman kecaman melalui surat kabar.  Tjipto bahkan berani menaiki kereta dan lewat di depan Sunan tanpa memberikan hormat.  Keluarga kerajaan Jawa memang tidak terlalu dihargai oleh anggota anggota pergerakan kecuali oleh BO
 
Para kromo kini bisa berkumpul menghadiri vergadering mendengarkan pembicaraan yang selama ini jauh di luar jangkauan mereka.  Cakrawala pemikiran yang terbuka membuat mereka menjadi berani dan radikal walaupun represi dari pemerintah Hindia Belanda juga semakin keras.

Para pemimpin pergerakan yang radikal harus berkali kali menghadapi persdelict dan dibuang dari Manokwari sampai Digul. Terlebih saat Dirk Fock menggantikan Van Limburg Stirum sebagai Gubernur Jendral.

Buku ini menunjukkan bahwa ideologi pergerakan kemerdekaan  itu lahir dan pengalaman dan pemikiran orang biasa.




19 November 2011

Ke Medan

Di depan gapura besar rumah bergaya Cina, saya mencoba mengetuk pintu namun kayunya terlalu tebal.  Saya melangkah ke samping di sela sela pagar, seorang perempuan tua sedang mengepel serambi.

Seseorang yang kebetulan lewat membantu saya memanggil nenek itu.  Nenek ini mempersilakan saya masuk, sambil menunggu pemandu.

Saya mendongak mengamati arsitektur rumah bekas taipan yang termasyur di abad 19 itu.

Matahari bersinar dengan terik, Tugas kali ini membawa saya ke kota Medan.  Tiba hari Kamis siang, melakukan talk show radio. Jumat, masih ada waktu sebelum ke kantor regional dan melakukan talk show di radio lainnya.

Walau teman mengingatkan agar naik taksi demi keamanan dibanding naik bentor karena sebelumnya ada perampokan dalam bentor yang menewaskan warga asing.  Namun setelah berbincang dengan pegawai hotel, saya memutuskan naik bentor saja. 

Check out dari hotel, dengan menggendong ransel, saya lebih menyukai ransel dibanding tas beroda.  Ransel memudahkan saya bergerak cepat, walaupun harus mengorbankan punggung saya.  Tepat di depan hotel saya menghentikan bentor menuju rumah Tjong A Fie. 

Rumah itu tidak jauh dari hotel sebenarnya, menurut concierge hotel tapi yang gawat supir bentor sama sekali tidak tahu dimana letaknya...hebat :) !,,,tak masalah, saya tak keberatan berbelok belok menyusuri jalan kota yang berdebu sebelum akhirnya tiba di depan rumah besar bergapura tinggi itu,

Seorang anak muda berwajah oriental dan berkaca mata masuk halaman, tampaknya ia lah yang akan memandu.  Dengan cepat kami sudah memasuki ruangan.  Melihat 3 ruang macam ruang tamu untuk menerima 3 macam ras : Belanda, Melayu dan Cina.  Ballroom di ruang atas berlantai kayu mengkilat.

Tjong A Fie, seorang taipan Medan yang menguasai perkebunan puluhan ribu hektar di Medan serta mendirikan bank modern,.  Oleh Belanda ia diangkat menjadi Mayor de Chinezen.  Tjong A Fie boleh dikata sebagai bapak kota Medan.  Ia banyak menyumbang dana untuk kepentingan kota dan masyarakat saat itu. Rumahnya yang berada di jalan Kesawan, banyak merima kunjungan para pembesar termasuk Sultan Deli sendiri.  Ia meninggal di tahun 1921 saat akan melakukan perjalanan keliling Eropa bersama keluarganya dengan kapal pesiar pribadi.

Sayang, setelah ia meninggal perkebunannya yang sangat luas perlahan menghilang karena konon tanah tanah itu kebanyakan tidak bersertifikat.  Aneh, karena saya melihat ia berfoto dengan anggota badan pertanahan saat itu.

Saat mendengar guide mengisahkan riwayat Tjong A Fie, tiba tiba saya teringat dengan Oey Tiong Ham, seorang raja gula asal Semarang yang hidup sejaman.

Sayang sang guide menggeleng ketika saya tanya kemungkinan korelasi antara dua saudagar tersebut.  Terpaksa menyimpan segudang pertanyaan, sambil berusaha mencatat beberapa poin untuk pencarian data nantinya.  Saat ini saya ingin langsung terkoneksi dengan internet berkecepatan tinggi.

Setelah mencicipi pisang goreng bersama selai srikaya di mansion itu, saya bergegas menuju Istana Maimun setelah memastikan masih cukup waktu.  Supir bentor segera membawa ke bangunan tersebut.  Pengalaman sebelumnya, Istana raja - raja Sumatera dan Kalimantan cenderung sederhana tidak seperti Keraton di Jawa.

Tepat seperti dugaan saya, menaiki tangga Istana dan membayar tiket masuk yang murah dan tidak berharap ada penjelasan yang memadai tentang sejarah kesultanan kecuali saat saya bertanya dan penjaga hanya menunjuk buku berstensil seharga 15 ribu jika ingin membaca ikhwal Istana.  Saya langsung mengernyitkan dahi melihat kualitas buku tersebut.  Seperti buku pelajaran SD, membosankan. Tidak ada guide, tidak ada brosur,,,bagian belakang dan ruang kecil di dalam dipakai untuk jualan cenderamata...bukan main!!  Inilah kerja pegawai negeri di daerah.  Berbeda jauh dengan Istana Tjong A Fie.

Hanya 10 menit saya di sana, langsung menuju ke pekerjaan. Sempat mampir ke pasar buku bekas di belakang Merdeka Walk dan menuju kantor regional tak jauh dari sana.

Setelah lunch sebentar langsung menuju radio berikutnya, ternyata yang ini lebih bagus.  Yah, masih harus mendiskusikan untuk mengadakan FGD bulan Januari nanti  Selesai talkshow menumpang mobil teman turun di Sun Plaza sambil menunggu jadwal pesawat yang jam 9 malam kembali ke Jakarta.

Pesawat Lion B737-900 yang terbaru datang tepat waktu...21:30 take off dari Polonia, mendarat di Jakarta pukul 23:30. Punggung pegal dan kulit terasa kering namun ada pengalaman baru.



 

07 November 2011

Ingatan tentang Bumi Manusia

Seorang kontak di twitter beberapa hari ini kerap mengutip kata kata dari buku Bumi Manusia karangan Pram.  Beberapa kalimat dari Jean Marais berseliweran di layar.  

Penggalan kalimat kalimat tersebut, membuat saya membongkar rak buku dan membaca ulang buku kedua tetralogi dahsyat tersebut, saya mencari cari buku pertama, tampaknya dipinjam oleh keponakan.

Sama seperti kesan twitter colleague itu...selalu ada yang baru dari buku ini, betapa tepat Pram membaca dan menyodorkan subyek utama dari penghisapan manusia yang begitu panjang.  Yang dengan telak adalah realisasi dulu dan kini dari bangsa Indonesia.

Kata kata Miriam de la Croix dalam suratnya kepada Minke, membuat pembacanya merenung...bahwa kekejian bukan hanya milik orang Eropa dalam hal ini Belanda terhadap pribumi.  Kekejian antar pribumi telah berlangsung dari jaman kerajaan kuno Nusantara.

Yang dicatat oleh sejarah adalah kekejian para bangsawan yang ditulis dalam Babad Tanah Jawi.  Amangkurat I dan Amangkurat II yang juga adalah ayah dan anak saling membunuh dengan menggunakan racun. Masalah perempuan juga menjadi rebutan antara ayah beranak itu.

Pembunuhan ribuan ulama oleh Amangkurat I, sesuatu yang sangat ganjill kalau boleh disebut ketidak warasan dari seorang yang mengganggap dirinya Panatagama ing tanah Jawi. 

Namun Pram menggarisbawahi kekejian mutakhir yang berlandaskan pada perebutan modal.  Dengan kekuatan asing yang lebih superior menginjak peradaban pribumi yang terbelakang.

Para bangsawan yang terbiasa hidup menginjak kepala rakyatnya kini harus merangkak rangkak di bawah kaki kompeni, namun sifat angkuh itu tidak juga hilang.

Miriam de la Croix menggambarkan itu dengan tajam dalam suratnya kepada Minke. 

Suara Miriam seperti gema dari hati kecil Pram yang menolak tunduk.  Ia juga berbicara melalui sosok Minke, pribumi yang terus menerus mencari identitas sebagai pribumi terpelajar dan mencoba menekan latar belakangnya dari keluarga feodal Jawa.

Benar kata IJP, buku ini luar biasa.