27 Maret 2012

Konflik Pertanahan

Ibu Pertiwi hamil tua,

Penerapan UU landreform tahun 1960, disambut gembira oleh PKI dengan basis buruhnya.  Entah berbau politik atau tidak namun keluarnya UU ini merupakan perjalanan puncak pertentangan antara kaum yang tak bertanah dengan para tuan tanah.  Bagi PKI kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya untuk menarik massa dengan mengklaim bahwa disetujuinya UU tersebut adalah hasil perjuangan mereka di parlemen.

Banyak persoalan dalam penerapan UU ini, dari konflik tanah menjalar ke ranah politik lalu dengan cepat membakar sentimen keagamaan.

Terutama di Jawa Timur dengan banyaknya pesantren.  Para pemimpin Pesantren rata-rata memiliki tanah yang luas dan digarap oleh para santri pesantren tersebut sebagai ganti bayaran mondok.  Patut diingat banyak pesantren yang menerima tanah wakaf yang kemudian menjadi susah dibedakan dengan milik pemimpin Pesantren.

Para pemilik tanah tentu saja tidak ingin tanah mereka diberikan secara cuma cuma, demikian pula para kaum tak bertanah tidak sabar menunggu pembagian tanah.  Semua ini memunculkan aksi-aksi sepihak yang diorganisir oleh BTI dari pihak komunis dan dihadapi dengan keras oleh pihak pesantren dalam hal ini NU.

PKI tentu saja turut andil dalam menciptakan suasana panas ini, penyerbuan para simpatisan dan perusakan terhadap hak milik pribadi menimbulkan kerusuhan di berbagai daerah.  Tentara yang selama ini berseberangan dengan PKI diam diam berada di pihak pesantren namun tentu saja tidak secara terang terangan karena Bung Karno jelas-jelas membela PKI yang dianggap berjiwa revolusioner.

Untuk menghindari kewajiban menyerahkan tanah serta paksaan dari pemuda rakyat, banyak Kiai mewakafkan tanahnya kepada sanak saudara atau santri dan tentu saja akan diambil kembali saat suasana kembali tenang.

Pertentangan kelas yang selama ini menjadi pedoman komunis tampaknya tidak berlaku dalam kehidupan pesantren dimana para santri tetap taat dan patuh pada Kiai mereka dan tidak terpengaruh oleh usaha usaha untuk mendapatkan tanah garapan dan konsep perjuangan kelas, hal ini menjadikan PKI mendapatkan perlawanan sama militannya.

Sulitnya komunikasi akibat belum sempurnanya teknologi telekomunikasi membuat berita maupun gosip berseliweran simpang siur tanpa klarifikasi dari pihak yang berwenang.

Suasana yang mencekam akibat pertentangan ini akhirnya memuncak pada pembunuhan para Jendral dan berlanjut pada pembantaian ratusan ribu rakyat Indonesia.  Dalam pembantaian tersebut sulit dipungkiri banyak aksi balas dendam yang melandasinya.

PKI hancur lebur ditelan musuh yang diciptakannya sendiri.  Pengikutnya yang berjumlah jutaan tumpas tanpa perlawanan.

Sulit bersimpati pada para petinggi PKI yang jelas jelas menciptakan konfrontasi panas, namun pembantaian setelahnya pun tidak mudah untuk dimaafkan.

Rekonsiliasi yang selama ini diusulkan nampaknya sulit diterima tanpa adanya penegakan hukum yang benar.

Tentu saja keluarga para Jenderal yang menyaksikan ayah dan suami mereka diambil paksa dari rumah baik dalam keadaan hidup maupun mati akan sulit memaafkan di pihak lain para korban tentara yang sebenarnya tidak tahu menahu tentang gerakan elit PKI juga sulit memaafkan perlakuan yang mereka terima selama puluhan tahun.

Seandainya para pelaku administrasi dan distribusi tanah dalam rangka penerapan UU landreform diberikan kesempatan untuk melakukan tugas mereka untuk meminimalkan kelambanan mungkin konflik pertanahan yang berujung pada pembantaian masal ini tidak akan terjadi..mungkin ......

Namun sayang sejarah tidak mengenal kata mungkin dan seandainya.


18 Maret 2012

Komunikasi dengan Masa Lalu

Duduk menikmati sepotong risoles hangat di pagi yang sejuk dengan secangkir teh hangat.  Di sebuah cafe..ah bukan,,,toko roti kuno..tak ingin saya menyebutnya cafe yang identik dengan jaman kini.  Memandangi timbangan tua yang masih dipakai untuk menimbang kue kue kering, berlafal belanda yang lidah saya pun susah melafalnya.  Namun ibu saya dengan fasih melafalkan nama nama Belanda itu. 

Langit langit toko yang tinggi, cat yang kusam namun tetap cantik di mata saya. HET SNOOEPHUIS...itulah nama tempat yang sedang saya duduki...lidah saya tetap terpleset kala mencoba mengucapkannya. Terasa aura semangat yang tidak pernah padam dari toko yang berdiri sejak tahun 1920-an di salah satu sudut Braga.

Merasakan aroma roti yang dibuat tradisional, seakan tidak terpengaruh oleh pergerakan jaman.  Lidah saya segera menangkap perbedaan tekstur dengan roti jaman sekarang yang cenderung kempes.  Tak lupa membeli setengah kilo castengel favorit Ibu saya.  Ada ombekoek, bolu kayu manis yang juga kesenangan beliau.

Beberapa puluh langkah, ada toko yang nyaris sama kunonya hanya mungkin lebih tepat disebut restoran yang berdiri dengan anggun menyambut para pedestrian Braga,  MAISON BOGERIJEN....terkenal dengan es krim-nya...saya juga sering bermalas malasan di tempat ini, memandangi kesibukan pagi.

Ritual sejarah selalu terbawa dalam setiap kunjungan ke kota kota.  Saya selalu melakukan ritual menyusuri Malioboro saat di Yogya tak peduli badan sedang meriang.  Mengagumi arsitektur gedung gedung kuno, memotret aktivitas para simbok pasar. Atau mencoba mencuri waktu mengunjungi candi, coba mencuri dengar gema dari masa lalu.

Atau mengobrol dengan penduduk Tengger di lereng gunung Bromo yang dingin namun kudus. Menyusuri jejak saudagar Medan di awal abad 20.  Semua demi memenuhi dahaga akan beragam kisah Indonesia masa lalu.

Apa boleh buat, saya yang lahir jauh setelah orde baru seakan sering berusaha menentang waktu, berusaha menembus putaran jaman untuk sekedar mengetahui cerita cerita usang termakan abad. Ada kehausan yang sangat saat membaca tulisan para jurnalis, orang yang saya anggap sangat beruntung karena mempunya akses ke sumber primer sejarah. Mungkin terdengar aneh, tapi saya kerap merasakan iri  yang mendalam terhadap para jurnalis ini.

Apakah ini hanya nostalgia atau sentimentil seorang manusia akan potongan kehidupan masa lalu. Para ahli menyatakan selama ditemukan fakta baru maka sejarah akan terus diperbaharui, begitu pula kemungkinan pembacaan ulang sesuai keperluan pemerintah. Namun orang akan terus mencoba kembali bernostalgia mencicipi sepotong masa yang terasa nyaman atau mencoba merasakan bagi mereka yang tidak mengalami masa itu.

Mungkin pula selain sentimentil sejarah yang berlangsung jauh sebelum saya lahir, ada rasa kagum dengan kesetiaan para pelaku yang masih menjalankan sejarah masa lalu di masa kini.

Kenikmatan masa lalu seakan masih melekat dalam risoles yang saya kunyah perlahan, tekstur es krim kuno yang berpasir mengelus indra pengecap. 

Percaya atau tidak, saat menaiki tangga candi, saya merasa nirwana begitu dekatnya,begitu pun saat membuka buku buku sejarah terasa bisikan tokoh tokoh itu mencoba berbicara.  Well, mungkin saya sudah gila namun saya tidak dapat menghindari kenikmatan aneh saat menjenguk dunia mereka.

07 Maret 2012

Merindukan Indonesia Air Show

Di sms kalau harus menyelesaikan hutang tulisan, membuat saya kembali harus membuka arsip arsip digital.

Saya memang jatuh cinta dengan pesawat udara, terutama jenis tempur.  Akselerasi, ketangguhan dan keanggunan dilukis dengan sempurna melalui pesawat pesawat tersebut. Walaupun saya  akan menolak mentah mentah bila diajak joy flight dengan pesawat tempur. Naik kora-kora atau halilintar di Dufan saja saya ngeri apalagi harus berada dalam kabin kaca kecil, berjungkir balik dengan kecepatan mach 1.2 yang melebihi kecepatan suara. Entah ya, kalau saya jatuh cinta dengan pilotnya..:)

Dari Mustang P-51 atau dikenal dengan Cocor Merah yang menjadi cikal bakal team aerobatik Indonesia, disusul MIG-15 yang memperkuat formasi Angkatan Udara di tahun 1959, lalu MIG-17 buatan Uni Sovyet yang membentuk formasi aerobatik Indonesia walaupun belum mempunyai nama resmi.  Saat itu MIG adalah salah satu pesawat yang tercanggih pada masanya.

Saat hubungan dengan Uni Sovyet mendingin, Indonesia menerima F-86 Sabre buatan Amerika yang juga adalah antisipasi militer mereka terhadap kecanggihan MIG-15.  Seperti negara pembuatnya, MIG-15 dan F-86 pernah berjibaku dalam perang korea.

5 unit pesawat F-86 menjadi pesawat aerobatik TNI AU dan team tersebut dinamakan Spirit 78.  Lalu Spirit 85 dengan menggunakan Hawk MK-53 persis seperti jagoan aerobatik dunia "Red Arrows"

Akhirnya saat kuliah, saya sempat menyaksikan team aerobatik Indonesia Elang Biru menunjukkan formasi akrobat melukis langit dengan F-16, pesawat tercanggih di tahun 1996.

Saat mendebarkan melihat Sukhoi Su-30 buatan Uni Sovyet bergerak mematuk cakrawala Cengkareng disusul dengan demonstrasi team "Red Arrows" dan "Golden Dreams".  Saya berlarian ke segenap sudut pameran mencoba menangkap momen terbaik yang nyatanya memang hanya sekali didapatkan sampai saat ini.

O ya, tiba tiba teringat di tahun 1996 itu ada pilot dari team Elang Biru yang ganteng, namanya Agung Sasongkojati.  Ternyata sekarang tidak seganteng dulu ya...sudah buncit perutnya, maklum pangkatnya sekarang sudah kolonel...ha..ha

Saat ini Elang Biru telah berganti nama menjadi Jupiter dan menggunakan KT-1B Wong Bee, buatan Korea.  Pesawat dengan propeller ini telah dicat berwarna merah putih cantik sekali.

Ingatan saya juga mencetak nama Nurtanio yang tersembunyi di balik bayang bayang Habibie.  Orang dari masa lampau yang mengawali masuknya Indonesia dalam industri kedirgantaraan. 

Nurtanio Pringgoadisuryo, namanya bisa disejajarkan dengan Iswahyudi, Abdurahman Saleh dan Adi Sucipto.  Seorang aero modeller yang merancang pesawat yang sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia di tahun 1958 dengan memperkenalkan pesawat Gelatik untuk kegunaan pertanian. 

Namun barangkali Nurtanio tidaklah berjiwa megalomania seperti pejabat pejabat orde lama. Wawasannya yang luas dan membumi tidak cocok dengan situasi Indonesia, sehingga perlahan ia tersingkir dari tingkat para pengambil keputusan.

Tapi Nurtanio tetaplah seorang pekerja keras, ia tetap menciptakan pesawat dengan memanfaatkan .rongsokan komponen pesawat yang ditemukan di gudang.

Nurtanio gugur di tahun 1966 saat menguji coba pesawat Arev atau Api Revolusi.  

Nurtanio yang namanya sempat diabadikan dalam Industri Pesawat Terbang Nurtanio sebelum diganti menjadi Nusantara akhirnya meredup.  Lagi lagi bangsa ini gampang sekali melupakan sejarah.

Kapankah ada Indonesia Air Show lagi,,,,saya sungguh merindukan momen itu.

05 Maret 2012

Glad, I'm Home

Jam 9 malam, pesawat saya mendarat di Jakarta.

Dengan badan meriang dan demam saya mencoba menjajari langkah rekan rekan menuju taxi. 

Untung tidak perlu lama mengantri, namun masalah lain segera menghadang, jalur fatmawati-Cinere macet luar biasa termasuk jalan pintasnya.

Hanya bisa memejamkan mata sejenak, karena terganggu oleh rasa pedas di hidung dan tenggorokan.

15 menit sebelum jam 12 malam akhir berhasil sampai di rumah. Segera mandi dan bergelung dengan selimut.  Rasa hangat dan nyaman segera memeluk saya, seakan menghilangkan rasa nyeri yang berapa hari ini menerjang dan segera pulas.  I'm home already...

Besoknya saya terbangun, badan lebih segar..segera bangun untuk membeli sarapan untuk keluarga..agak terhuyung, namun lebih baik.

Siang segera berurusan dengan material rumah..yah masalah kebocoran masih belum terselesaikan.  Saat tukang datang, segera saya suruh melihat kembali kondisi atap rumah dan ah,,ternyata kayu penopang atap garasi juga sudah keropos.  mulai menghitung hitung biaya perbaikan dan segera menyuruh tukang saya untuk berbelanja material.

Pelan pelan saya mulai membereskan rumah.  Menghela napas lega saat hujan datang dan tidak ada air menerobos dari atap.  Satu sudah selesai, yang lain akan dibereskan perlahan

Di akhir hari saya menyeduh teh dan menghirupnya perlahan, memandangi keluarga kecil saya yang sedang sibuk dengan kegiatan masing- masing.

Tersenyum,,,,