18 Maret 2012

Komunikasi dengan Masa Lalu

Duduk menikmati sepotong risoles hangat di pagi yang sejuk dengan secangkir teh hangat.  Di sebuah cafe..ah bukan,,,toko roti kuno..tak ingin saya menyebutnya cafe yang identik dengan jaman kini.  Memandangi timbangan tua yang masih dipakai untuk menimbang kue kue kering, berlafal belanda yang lidah saya pun susah melafalnya.  Namun ibu saya dengan fasih melafalkan nama nama Belanda itu. 

Langit langit toko yang tinggi, cat yang kusam namun tetap cantik di mata saya. HET SNOOEPHUIS...itulah nama tempat yang sedang saya duduki...lidah saya tetap terpleset kala mencoba mengucapkannya. Terasa aura semangat yang tidak pernah padam dari toko yang berdiri sejak tahun 1920-an di salah satu sudut Braga.

Merasakan aroma roti yang dibuat tradisional, seakan tidak terpengaruh oleh pergerakan jaman.  Lidah saya segera menangkap perbedaan tekstur dengan roti jaman sekarang yang cenderung kempes.  Tak lupa membeli setengah kilo castengel favorit Ibu saya.  Ada ombekoek, bolu kayu manis yang juga kesenangan beliau.

Beberapa puluh langkah, ada toko yang nyaris sama kunonya hanya mungkin lebih tepat disebut restoran yang berdiri dengan anggun menyambut para pedestrian Braga,  MAISON BOGERIJEN....terkenal dengan es krim-nya...saya juga sering bermalas malasan di tempat ini, memandangi kesibukan pagi.

Ritual sejarah selalu terbawa dalam setiap kunjungan ke kota kota.  Saya selalu melakukan ritual menyusuri Malioboro saat di Yogya tak peduli badan sedang meriang.  Mengagumi arsitektur gedung gedung kuno, memotret aktivitas para simbok pasar. Atau mencoba mencuri waktu mengunjungi candi, coba mencuri dengar gema dari masa lalu.

Atau mengobrol dengan penduduk Tengger di lereng gunung Bromo yang dingin namun kudus. Menyusuri jejak saudagar Medan di awal abad 20.  Semua demi memenuhi dahaga akan beragam kisah Indonesia masa lalu.

Apa boleh buat, saya yang lahir jauh setelah orde baru seakan sering berusaha menentang waktu, berusaha menembus putaran jaman untuk sekedar mengetahui cerita cerita usang termakan abad. Ada kehausan yang sangat saat membaca tulisan para jurnalis, orang yang saya anggap sangat beruntung karena mempunya akses ke sumber primer sejarah. Mungkin terdengar aneh, tapi saya kerap merasakan iri  yang mendalam terhadap para jurnalis ini.

Apakah ini hanya nostalgia atau sentimentil seorang manusia akan potongan kehidupan masa lalu. Para ahli menyatakan selama ditemukan fakta baru maka sejarah akan terus diperbaharui, begitu pula kemungkinan pembacaan ulang sesuai keperluan pemerintah. Namun orang akan terus mencoba kembali bernostalgia mencicipi sepotong masa yang terasa nyaman atau mencoba merasakan bagi mereka yang tidak mengalami masa itu.

Mungkin pula selain sentimentil sejarah yang berlangsung jauh sebelum saya lahir, ada rasa kagum dengan kesetiaan para pelaku yang masih menjalankan sejarah masa lalu di masa kini.

Kenikmatan masa lalu seakan masih melekat dalam risoles yang saya kunyah perlahan, tekstur es krim kuno yang berpasir mengelus indra pengecap. 

Percaya atau tidak, saat menaiki tangga candi, saya merasa nirwana begitu dekatnya,begitu pun saat membuka buku buku sejarah terasa bisikan tokoh tokoh itu mencoba berbicara.  Well, mungkin saya sudah gila namun saya tidak dapat menghindari kenikmatan aneh saat menjenguk dunia mereka.

Tidak ada komentar: