21 Januari 2014

The Act of Killing: Kala Jagal Berkisah




Konvensi Jenewa itu dibuat oleh pemenang.  Di sini karena kita yang menang kalau perlu kita buat konvensi Jakarta".

Demikian ketus Adi Zulkadry. 

collider.com
Dialog absurb itu merupakan penggalan dari film The Act of Killing, film dokumenter yang disebut-sebut dinominasikan untuk mendapat Oscar sebagai film asing terbaik.

Film ini menambah rentetan panjang catatan tentang pembantaian manusia pasca G30S sekaligus menyambung polemik yang tak kunjung usai.

Anwar Congo tokoh utama dalam film itu menggambarkan bagaimana ia membunuh orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI di Medan. Dengan lugas ia memperagakan teknik jeratan agar darah tidak banyak mengalir. Bersama teman-temannya dari Pemuda Pancasila ia menduduki meja yang kakinya menindih batang leher manusia (diperagakan dengan karung), sambil berbincang-bincang menunggu orang malang itu mati.

15 Januari 2014

ONRUST : Ingatan Yang Dijarah

18 Juni 1812, Pasukan Sepoy menyerbu Keraton Yogyakarta.  Sia-sia para bangsawan dan prajurit keraton bertahan di balik tembok istana yang terus menerus dihantam meriam dari pihak Inggris.  Dua hari kemudian istana jatuh.

Sisa bangunan rumah karantina di pulau Cipir

Seperti halnya kebiasaan perang yang berlaku, pihak pemenang berhak atas harta yang kalah. Para serdadu Sepoy sebagai pemenang nyaris kalap melihat kekayaan keraton yang berlimpah. Intan permata dan barang berharga lainnya habis dipreteli.

04 Januari 2014

YAP THIAM HIEN : Advokat Lurus di Jalur Berliku

Ia adalah orang Cina, Kristen dan jujur. Minoritas dalam minoritas.

Saya sesungguhnya amat risih mendengar kalimat-kalimat yang berbau rasis dan tendensius seperti itu.  Dengan pernyataan itu pola pikir kita memang diset untuk menganggap mayoritas orang Cina pasti Kristen dan penipu.  Lalu siapa yang berani menjamin bahwa pribumi pasti muslim dan jujur


Namun apa boleh buat, rasanya kita memang masih akan tetap terjebak pada model-model praduga seperti itu bila menyangkut ras.

Dalam hal ini, suka atau tidak Yap Thiam Hien memang masuk dalam klasifikasi minoritas ganda seperti di atas.

Lahir di Kutaraja, Aceh Yap memang berasal dari keluarga Tionghoa yang cukup berada namun akhirnya bangkrut sehingga Yap harus membiayai sekolahnya sendiri beserta adik-adiknya, beruntunglah ia mendapat kesempatan menimba ilmu hukum di Leiden untuk kemudian menjadi ahli hukum, Meester in de rechten.

Yap memang bukan orang yang suka ikut arus.  Segala sesuatu selalu ia pertimbangkan dari aspek legalitas, bukan sekali dua kali Yap harus berseberangan dengan sejawatnya.  Bahkan ia tak jeri berhadapan dengan Presiden Soekarno karena menentang keputusan untuk kembali pada UUD 1945 dan juga konsep demokrasi terpimpin.