15 Januari 2014

ONRUST : Ingatan Yang Dijarah

18 Juni 1812, Pasukan Sepoy menyerbu Keraton Yogyakarta.  Sia-sia para bangsawan dan prajurit keraton bertahan di balik tembok istana yang terus menerus dihantam meriam dari pihak Inggris.  Dua hari kemudian istana jatuh.

Sisa bangunan rumah karantina di pulau Cipir

Seperti halnya kebiasaan perang yang berlaku, pihak pemenang berhak atas harta yang kalah. Para serdadu Sepoy sebagai pemenang nyaris kalap melihat kekayaan keraton yang berlimpah. Intan permata dan barang berharga lainnya habis dipreteli.


Yang paling mengenaskan, bangsal pustaka pun tidak lepas dari perampasan.  Ratusan kitab yang berisi pupuh, babad dan sebagian besar sumber pengetahuan diangkut keluar. Sebagian besar ingatan tentang Jawa dipindah ke London, tersimpan hingga kini.

Kisah penjarahan Keraton Yogya tiba-tiba terlintas saat saya berdiri di hadapan reruntuhan benteng di pulau Cipir di gugusan Onrust.  Sekeping tembok kuno yang dihiasi coretan pilox warna putih, kreasi tangan-tangan jahil.

Mengenang Onrust di masa lalu.
Alkisah kapal yang digunakan oleh petualang James Cook, Endeavor harus diperbaiki dan merapatlah ia ke Onrust, sebuah pulau di Nusantara yang digunakan oleh VOC sebagai galangan kapal untuk memperbaiki kapal-kapal dagang mereka.


Museum Onrust
Pangeran Jayakarta, penguasa Jakarta masa lalu memberikan pulau tersebut kepada VOC.

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen menjadikannya sebagai pulau penahan serangan dari Banten dan Inggris dengan membangun benteng dan menempatkan meriam-meriam.

Pulau ini  pernah dihancurleburkan beberapa kali oleh Inggris serta tersapu gelombang akibat letusan Krakatau dan dibangun kembali oleh Belanda yang menjadikannya sebagai stasiun pengamat cuaca.

Saat pesawat terbang telah dikenal, pulau Onrust tidak diperlukan lagi sebagai pertahanan sehingga Belanda menjadikannya sebagai tempat karantina jemaah Haji di tahun 1933.

Bekas Benteng

Setelah itu Onrust beberapa kali beralih fungsi, sebagai rumah sakit, tempat karantina penderita penyakit menular sampai penampungan gelandangan dan pengemis serta latihan militer.

Riwayat Onrust benar-benar tamat dijarah habis-habisan oleh masyarakat pada periode tahun 1968-1970, sehingga tinggal puing-puing yang kita lihat sekarang.

Taman Arkeologi Onrust, meliputi empat pulau kecil : Onrust, Cipir, Kelor dan Bidadari di gugusan  kepulaun seribu.  Hanya butuh 20 menit berperahu dari Muara Kamal untuk sampai di pulau ini.
Muara Kamal

Dan, tidak usah kaget melihat air Muara Kamal yang hitam, berminyak dan berbau busuk, khas perkampungan kumuh tepi laut di Jakarta.  Seorang ibu berjalan santai bersama anak balitanya sambil membuang bungkusan yang sepertinya berisi popok bekas pakai ke laut.  Sang popok pun mengambang di sekitar dermaga menemani bangkai kucing yang telah berseliweran lebih dulu.  Tampak kandang ayam turut menghiasi tepian.

Sementara tak jauh dari dermaga nampak hamparan hutan mangrove di kawasan PIK.  Bergeser lagi terlihat pembangunan mall dengan menguruk tanah, menimbun lautan, seakan Jakarta masih kekurangan mall.

Sampah dari Muara Kamal tak jarang terbawa sampai ke Onrust yang memang berjarak cukup dekat.  Begitulah yang terlihat saat saya merapat di dermaga pulau tersebut setelah berlayar meniti ombak yang cukup tinggi untuk ukuran teluk Jakarta.

Hanya lima ribu rupiah biaya masuk untuk ke tiga pulau, Onrust, Cipir dan Kelor.  Sedangkan pulau Bidadari yang telah menjadi resort kabarnya pengelola mengenakan biaya yang cukup mahal, sekitar lima puluh ribu per orang.

Untuk biaya semurah itu pengunjung mendapat notes kecil. Brosur pun bisa diminta sebanyak yang kita suka.  Cukup banyak pengunjung pada hari Minggu ini, kebanyakan adalah para pemancing sebagian lagi memang khusus untuk berwisata.


Sayang sekali tidak ada bangunan utuh di Onrust. Semua yang terlihat adalah reruntuhan benteng, bekas tembok rumah sakit dan kuburan Belanda yang tidak terawat.  Tidak terlihat lagi tanda-tanda bahwa dulu terdapat galangan kapal yang termasyur.

Ada bangunan museum yang menyimpan foto-foto Onrust di masa lalu serta beberapa batu bekas bangunan benteng.

Saya berjalan pelan-pelan berusaha meraba kisah masa lalu pulau ini.  Puing-puing bekas pilar dan pondasi seakan berusaha menceritakan perjalanan mereka yang terpenggal.

Hanya kuburan Belanda yang relatif masih utuh walaupun sama tak terawatnya dengan nisan-nisan datar dan besar yang memberitahukan jasad siapa tersimpan di bawahnya.


Ada kisah tentang Maria Van De Velde yang kabarnya bunuh diri karena putus asa menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang.  Saat saya datang ada roncean melati tergeletak di atas pusaranya.  Entah siapa yang menaruhnya di situ.  Ada puisi bahasa Belanda terpahat di nisannya, sayang saya tak tahu artinya.  Seorang pemandu berkisah bahwa itu adalah puisi dari kekasih Maria.

Banyak penduduk Onrust yang merupakan orang kulit putih/Belanda mati muda karena serangan penyakit tropis terlihat dari tahun-tahun penanda kehidupan di nisan mereka.
Melati di makam maria


Langit yang mendung sekaligus berada di bawah naungan pohon-pohon besar membuat suasana menjadi agak gelap.  Saya hanya sendirian di makam itu, melompati tembok rendah sambil mendesiskan assalammualaikum sebelum mulai memotret.

Desas-desus tentang makam pimpinan DI/TII Kartosoewiryo di Onrust kelihatannya harus diklarifikasi karena sumber terakhir menyebutkan bahwa makam tersebut berada di pulau Ubi.

Pulau ini juga memiliki cerita heroik tentang kisah awak kapal Zeven Provincien di tahun 1933 yang memberontak terhadap pemerintah kolonial karena berniat menurunkan gaji para pelaut.  Para awak kapal yang terdiri dari pelaut Indonesia dan Belanda dipimpin oleh Kawilarang mengambil alih kapal.  Pemberontakan ini dapat dipadamkan saat pemerintah kolonial menerjunkan pesawat Dornier untuk membom kapal tersebut.

Para ABK yang terlibat ditahan di pulau Onrust dan banyak diantara mereka yang meninggal di sana.

Dengan begitu banyak kesedihan yang terjadi di pulau ini, tak heran saya merasakan aliran udara yang terasa merambat berat.  Mungkin hanya perasaan saja.  Tapi melihat bekas-bekas bangunan yang tak terawat hawa suram makin kentara.

Tak lama kemudian hujan turun, saya pun berlari menuju warung kecil, berteduh bersama para pengunjung lainnya. Segelas kopi segera menemani saya menyaksikan hujan sambil bertukar kata dengan bocah lelaki yang menyertai ayahnya memancing. Tiga teman saya menyusul ke warung, berempat kami mengobrol ngalor ngidul, sekedar membunuh waktu

Hujan turun cukup lama, gelombang pun cukup tinggi.  Mendung masih menggantung saat perahu bertolak menuju pulau Cipir yang sebenarnya hanya sejauh lima menit berlayar dari Onrust.  Bahkan dulu ada jembatan yang menghubungkan kedua pulau ini yang sekarang hanya tersisa batu-batu penyangganya saja.

Pulau Cipir berukuran lebih kecil namun sisa-sisa bangunan terlihat lebih lengkap dan berbentuk.  Bersama pulau Onrust, pulau Cipir juga menjadi tempat karantina jemaah haji dan rumah sakit.  Pantai di pulau ini lebih landai sehingga bisa dijadikan tempat bermain-main.

Rupanya sedang ada pembangunan mess di pulau Cipir.  Kamar-kamar yang kelak nantinya akan disewakan sedang dalam penyelesaian akhir.  Entahlah, apakah keberadaan mess ini tidak akan mengganggu situs budaya yang kondisinya memprihatinkan dan butuh perhatian lebih dari pemerintah. Corat-coret yang mengotori situs melengkapi cerita sedih dari tempat ini selain cerita tentang penjarahan material bangunan yang dlakukan oleh orang Indonesia sendiri.

Masih sangat jelas kesan perawatan yang minim.  Siapa pun tahu bahwa merestorasi situs arkeologi membutuhkan biaya yang sangat tinggi, bukan itu saja komitmen dan keseriusan pemerintah sangatlah diperlukan.  Ketidakacuhan pengunjung terhadap kelestarian situs juga sangat memprihatinkan.

Sayang karena ombak yang meninggi, tujuan ke pulau Kelor terpaksa dibatalkan tidak ada perahu yang berani ke sana, walaupun Benteng Martello di pulau Kelor terlihat jelas dari pulau Cipir.

Pukul 15:00 kami meninggalkan pulau Cipir kembali ke Muara Kamal.  Meninggalkan taman arkeologi Onrust yang tertatih-tatih berjuang mempertahankan eksistensinya sebagai salah satu dari ingatan masa lalu.  Dengan kondisi seperti berapa lama lagikah pulau-pulau ini sanggup bertahan?

  

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Gw sebel banget kalo liat bangunan tembok trus banyak coret2 nya. Pada kagak ngerti kalo bangunan bersejarah harus nya kita lestarikan :-)

Unknown mengatakan...

Musem Onrust sampai sekang masih ada kan?