24 Mei 2016

Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Industri Dirgantara

Banyak orang memaknai Kebangkitan Nasional dengan kelahiran Budi Utomo.  Sebuah organisasi yang beranggotakan kaum muda terpelajar atas saran seorang dokter tua bernama Wahidin Sudirohusodo.  Terlepas dari berbagai argumentasi kritis di jaman sekarang, toh Budi Utomo telah mapan menjadi icon kebangkitan suatu bangsa yang terjajah.

Namun perjalanan bangsa ini tidak pernah mulus, jatuh bangun menghadapi musuh untuk mempertahankan kemerdekaan itu satu hal; Hal lain yang juga krusial adalah bagaimana kemerdekaan yang telah diperoleh itu akan diisi, bagaimana Indonesia ke depannya setelah penjajah pergi bersama semua teknologi Eropanya.

Pasca peperangan tahun 1945, sementara para politisi terus berdebat di gedung parlemen. gesekan pusat dan daerah kian santer sehingga menimbulkan pergolakan bersenjata.  Negara yang baru saja merdeka ini didera oleh konflik internal dengan ekonomi yang bisa dibilang morat marit sehingga sungguh tidak memungkinkan untuk merintis industri apalagi yang membutuhkan teknologi tinggi serta padat modal seperti kedirgantaraan. Sumber daya manusia pun tidak mencukupi, hanya sedikit di Indonesia yang punya pengetahuan tentang dunia aviasi saat itu

Tapi ini Indonesia, tempat dimana yang tidak mungkin menjadi mungkin dengan cara yang paling ajaib sekalipun.  Roh kebangkitan nasional tahun 1908 menemukan tempatnya di Angkatan Udara melalui tangan salah satu personilnya yang bernama Nurtanio Pringgoadisuryo.

Nurtanio yang semula diharapkan oleh orangtuanya menjadi petani ternyata menemukan takdirnya di Angkatan Udara berkat kegilaannya dengan pesawat terbang.  Bersama sahabat-sahabatnya yang juga berhobby aero modeling yaitu Wiweko Soepono dan RJ Salatun, mereka ditugaskan oleh Kepala TKR Jawatan Penerbangan, Suryadi Suryadarma untuk membantu Prof. Ir. Rooseno merintis penerbangan militer dan sipil sekaligus.

Jangan dikira tugas merintis penerbangan ini didukung oleh dana melimpah dan fasilitas istimewa dari pemerintah seperti masa BJ Habibie.  Mereka hanya mendapat sisa pesawat rongsok peninggalan Belanda dan Jepang serta alat-alat bengkel yang berada di pangkalan udara Maospati, Madiun.

Nurtanio dan Wiweko yang berada di Biro Rencana dan Konstruksi bersama para teknisi bekas anggota Militaire Luchtvaart mulai melakukan modifikasi dari pesawat yang ada.  Sasaran pertama adalah bekas pesawat pembon Guntai yang diperbaiki dan dimodifikasi menjadi pesawat transport dengan tiga seat.  Lalu dilanjutkan dengan membuat pesawat piper club di tahun 1948 dengan menggunakan kerangka besi berlapis kayu dan kain.  Sedangkan mesinnya memakai bekas motor Harley Davidson.

03 Mei 2016

Reklamasi di Mata Awam

Sebagai warga Twitterland dengan follower secuprit tapi mem-follow banyak akun selebtwit yang rajin berkicau, beberapa di antaranya adalah aktivis membuat dunia saya gaduh dalam sepi.  Anteng di dunia nyata riuh di dunia maya.

Yang sedang hangat menuju panas, atau malah sedang mendidih tentu saja masalah reklamasi teluk Jakarta.  Tentu saja dengan kapasitas pribadi yang bukan siapa-siapa, warga Jakarta juga bukan membuat saya lebih senang memantau twitter atau media massa.   Pun, saya juga masih belum tahu dengan dampak reklamasi pastinya akan seperti apa bagi Jakarta

Pendukung reklamasi teriak-teriak tentang Jakarta yang akan tenggelam dan juga rencana wajah Jakarta ke depan yang demikian keren bila dilihat dari maketnya sementara yang kontra tak kalah seru menyodorkan berbagai argumen mengenai kemudharatan reklamasi bagi para nelayan dan ekologi teluk Jakarta