03 Mei 2016

Reklamasi di Mata Awam

Sebagai warga Twitterland dengan follower secuprit tapi mem-follow banyak akun selebtwit yang rajin berkicau, beberapa di antaranya adalah aktivis membuat dunia saya gaduh dalam sepi.  Anteng di dunia nyata riuh di dunia maya.

Yang sedang hangat menuju panas, atau malah sedang mendidih tentu saja masalah reklamasi teluk Jakarta.  Tentu saja dengan kapasitas pribadi yang bukan siapa-siapa, warga Jakarta juga bukan membuat saya lebih senang memantau twitter atau media massa.   Pun, saya juga masih belum tahu dengan dampak reklamasi pastinya akan seperti apa bagi Jakarta

Pendukung reklamasi teriak-teriak tentang Jakarta yang akan tenggelam dan juga rencana wajah Jakarta ke depan yang demikian keren bila dilihat dari maketnya sementara yang kontra tak kalah seru menyodorkan berbagai argumen mengenai kemudharatan reklamasi bagi para nelayan dan ekologi teluk Jakarta




Yah, orang awam dijejali dengan beragam pendapat tentu saja pusing!!!!  Tanggapan pun beda-beda, ada yang cuek, ada yang setuju ada yang tidak...Wajar! 
Kalau boleh dibilang ada banyak pertempuran di sana.  Antara pro Ahok dan yang kontra terkait Pilgub; aktivis yang bersemangat memobilisasi gerakan penduduk dalam menentang reklamasi serta akademisi yang mengeluarkan kajian-kajian mereka di media. Belum lagi saling lempar tentang isi Keputusan Presiden, Peraturan Gubernur, hasil amdal yang katanya disesuaikan dengan kebutuhan investor dan sebagainya.



Sebagai bagian dari kaum awam dan bingung melihat kengototan semua pihak akhirnya saya memilih tenang dan mencari tahu tentang baik buruknya reklamasi, tentu dari berbagai tulisan para akademisi.
Ada tulisan yang sangat menarik dari portal Geotimes yang mengajak menganalisa dampak reklamasi tanpa terkait maksud politis.  Dengan jernih penulisnya menganalisa masalah  dengan mengambil contoh Singapura, Korea Selatan dan Jepang yang getol melakukan reklamasi.



Dengan adanya reklamasi kekayaan biota laut Singapura berkurang 65% sementara Korea Selatan mulai kehilangan daya dukung lingkungan seperti pencegahan erosi dan pengendali alami banjir, pun habitat burung-burung juga berkurang.

Tak jauh beda dengan Jepang, struktur tanah hasil reklamasi ternyata tidak sekokoh tanah hasil evolusi sehingga saat gempa datang, kerusakan masif terjadi di tanah reklamasi. 

Dari bacaan-bacaan itu sedikit demi sedikit mulai ada gambaran, setidaknya kini mulai paham, apabila ribuan ton pasir ditumpuk secara masif dengan kecepatan tinggi ke dalam laut untuk mengejar tenggat waktu maka akan menimbun berbagai biota laut tanpa ada kesempatan beradaptasi.

Pelan-pelan saya mulai menonton beberapa film dokumenter yang memuat masalah reklamasi misalnya yang juga sedang panas adalah reklamasi Teluk Benoa.  Penentangan reklamasi Teluk Benoa amat mudah dipahami.  Bali tidak butuh hotel-hotel berbintang, yang membuat Bali dikunjungi adalah karena budaya, alam dan masyarakatnya; itu yang harus diutamakan, bukannya membuat bangunan-bangunan megah yang menutupi keindahan pura dan pantainya.



Kembali ke masalah teluk Jakarta; beberapa kali saya ke Rawa Saban, Muara Kamal, Muara Baru, Pasar Ikan yang terlihat selalu sama kumuh, amis, air laut mirip tinta ditambah dengan sampah berserakan dari pembalut sampai bangkai kucing.  Bahkan saya pernah melihat seorang ibu penduduk tepian Muara Kamal berjalan menjinjing seplastik sampah dan dengan santai melemparnya ke laut.  Yah, itu memang jeleknya masyarakat kita yang tinggal di pinggir laut tapi menyepelekan laut.



Terlihat juga perahu-perahu nelayan bersandar dan di sepanjang jalan terlihat jemuran ikan laut.  Tidak sampai 30 menit menyeberang dari Muara Kamal menuju pulau terdekat, air laut tidak sekotor tadi dan makin jernih bila ke pulau lebih jauh, seperti pulau Pari dan sekitarnya.

Di perairan yang lebih jernih secara akal sehat tentu ikan lebih banyak dan itu tidak terlalu jauh dari kota Jakarta dan masih di wilayah perairan Jakarta.  Jadi saya menjadi ragu-ragu apabila dikatakan tidak ada ikan di perairan teluk Jakarta. Jika tidak ada ikan sama sekali tentu nelayan-nelayan di sekitar Jakarta akan berpindah tempat tinggal di tempat lain yang ada ikannya.  Tidak akan ada para pemancing yang sering terlihat duduk santai menunggu pancingnya di pinggir-pinggir pantai.

Jakarta memang mengalami penurunan tanah tiap tahun dan pertambahan penduduk yang signifikan namun apakah reklamasi besar-besaran itu adalah yang terbaik untuk Jakarta? Itulah yang harus dikaji ulang dengan kepala dingin.  Lupakan investor, ajaklah Walhi, masyarakat sekitar perairan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan ahli tata kota untuk duduk bareng dan mencari jalan keluar yang terbaik.

Senada dengan masalah reklamasi, pemindahan penduduk yang tergesa dari lingkungan pinggir laut ke rumah susun dengan lokasi cukup jauh mungkin memang memiliki niatan yang baik, namun kurang cocok apabila dikaitkan dengan pekerjaan mereka sebagai nelayan. Bagaimanapun mereka memerlukan tempat dimana mereka bisa leluasa untuk memproses hasil tangkapan dan itu tidak memungkinkan bila mereka tinggal di rumah susun.  Tidak semua mempunyai hasrat yang sama untuk berdagang.


Pemerintah DKI tidak akan sukses membangun Jakarta menjadi lebih baik tanpa partisipasi aktif warganya, apalagi kelas marginal yang rentan tersentuh baik buruknya kebijakan pemerintah.  Mereka tidak kuat secara ekonomi namun mempunyai kesetiakawanan yang solid.  Apabila pemda bisa meraih aspirasi mereka dan berhasil menggabungkan dengan kaum menengah maka akan didapat kekuatan masyarakat sipil yang masif dan bisa digerakkan untuk membangun kota.

Kota yang beradab tidak dicerminkan melalui gedung-gedung pencakar langit, ruko megah dan perumahan mewah namun diukur dari seberapa mudah masyarakat tak peduli kalangan elit, menengah atau bawah dapat mengakses informasi, administrasi, pendidikankesehatan dan air bersih serta ketersediaan ruang publik yang cukup.

Menggantungkan semua biaya fasilitas publik pada dana CSR tidaklah elok karena untuk mendapatkan dana tersebut sudah tentu pemerintah harus mengeluarkan suatu kebijakan yang menguntungkan perusahaan/korporasi namun berpotensi kuat merugikan kelompok masyarakat lain.

Yang menentang reklamasi bisa jadi sama banyak, atau lebih sedikit dari yang menyetujui namun bukan jumlah yang menjadi pertimbangan tapi dampaknya terhadap lingkungan yang harus menjadi fokus utama.  Jika kerusakan lingkungan terjadi maka dampak ke depannya tidak akan dapat ditutup oleh dana CSR berapapun besarnya.

Note: 
Tulisan yang tadi saya bilang mencerahkan itu, ini linknya: http://geotimes.co.id/omong-reklamasi-zonder-politik/

Tidak ada komentar: