13 Juli 2015

KASEPUHAN DAN KANOMAN, Kisah Penerus Kerajaan Sunda

Pelan-pelan saya mengelilingi kereta kuno itu, Paksi Naga Liman.

Kereta berwarna coklat gelap, tampak usang namun masih cukup gagah.  Bentuknya tampak kokoh, tidak compang-camping seperti kereta kuno lainnya.  Walaupun tidak berlapis emas seperti kereta Singa Barong dan juga relatif sederhana namun ada perbawa lain yang terpancar darinya, kontras dengan keadaan museum yang menyedihkan.

Paksi Naga Liman


Kereta kencana Paksi Naga Liman dibuat tahun 1428, didesain oleh para pangeran Cirebon.  Tokoh utama dibalik rancang desain itu adalah Pangeran Losari.  Paksi Naga Liman merupakan kendaraan resmi Sri Mangana, alias Pangeran Cakrabuana alias Pangeran Walang Sungsang, pendiri kerajaan Cirebon.

Perjalanan ini adalah perjalanan impulsif.  Tidak masuk dalam agenda, hanya dari ngobrol-ngobrol di WA grup.  Cirebon selama ini hanya menjadi perlewatan menuju Jawa Tengah.  Namun bukan berarti saya tidak tertarik, hanya takdir belum juga menghampiri.  Sampai hari ini.

Singa Barong

Kereta Cirebon Express tiba dengan mulus di stasiun Cirebon.  3 jam perjalanan Jakarta-Cirebon sangat nyaman dengan gerbong mayoritas kursinya kosong.  Stasiun Cirebon sendiri tampak resik, tidak terlalu ramai dan cukup teratur.

Keluar dari stasiun segera mencari becak untuk mengantarkan ke hotel Santika dimana teman kami menunggu.  Dari hotel kami segera menuju keraton Kasepuhan.  Letak Keraton ini menuju arah pelabuhan tepatnya di kecamatan Lemah Wungkuk.

Lapangan yang bernama alun-alun Sangkala Buana tampak lengang, lapak-lapak jualan masih tutup karena bulan puasa.  Tiket masuk keraton berbentuk lembaran kertas dengan barcode.  Barcode inilah yang dipindai sehingga pintu putar akan terdorong maju, mirip di stasiun. 

Siti Hinggil

Melewati mesjid agung Cipta Rasa yang berusia ratusan tahun dan dicat warna mencolok, contoh buruk pemeliharan bangunan cagar budaya tanpa memperhatikan sejarah.

Keraton Kasepuhan merupakan salah satu keraton yang masih terawat, terlihat dari tembok bata yang utuh mengelilingi keraton dengan tempelan piring-piring keramik kuno yang indah.  Kebanyakan keramik tersebut berasal dari Belanda dan Cina.  Terdapat budaya Hindu, Cina dan juga Islam.  Terlihat dari bentuk gapura, falsafah bangunan dan penamaannya.

Dengan guide, kami diajak duduk di pendopo setelah melewati gapura bentar, pintu masuk ke siti hinggil.  Tiang-tiang kayu jati berukir yang menyangga pendopo itu nampak kokoh dan utuh, tidak ada tanda-tanda pelapukan.
 
Kami terus berjalan menyusuri halaman luar sampai ke taman Dewandaru tempat icon depan istana Kasepuhan yang terkenal itu.  


Di teras depan istana terpampang genealogis para Sultan Cirebon yang mengambil nasab Sayyidina Ali, salah satu keturunannya yang merupakan sultan di Mesir menikah dengan Rara Santang, adik pangeran Walang Sungsang.  Walang Sungsang adalah putra prabu Siliwangi dan juga pendiri kesultanan Cirebon.  Kelak tahta kesultanan diserahkan pada kemenakannya, Syarif Hidayatullah, putra Rara Santang yang dinikahkan dengan putri Walang Sungsang, Nyimas Pakungwati.  Kalau boleh dikatakan kesultanan Cirebon merupakan turunan dari kerajaan Sunda dalam bentuk yang berbeda, yaitu kerajaan Islam.  Peletakan lukisan prabu Siliwangi dalam museum keraton Kasepuhan memang menegaskan hal tersebut.

Pintu utama di serambi depan yang merupakan pintu masuk ke bagian dalam istana tampak tertutup rapat.   Di sampingnya terdapat tempat tinggal keluarga Sultan, gerbangnya dinamakan Buk Bacem.

Museum keraton biasa-biasa saja.  Nampak muram seperti layaknya museum di Indonesia.  Yang menarik tentu saja kereta kencana Singa Barong yang merupakan kendaraan Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.  Bentuk kereta kencana itu sendiri nampak kokoh dan terawat dengan pelipit emas di bagian sayap.  Pembuatan kereta yang dikomandoi oleh pangeran Losari menurut guide kami telah menggunakan teknik yang canggih pada masa itu seperti sayap yang otomatis mengembang saat berjalan dan sistem suspensi dari roda kendaraan.  Kalau sekarang dikenal sebagai suspensi independen.  Kereta duplikat yang juga ada di museum tersebut tidaklah sebagus aslinya.

Keramik Biru dari Belanda, Yg warna warni dari Cina

Keraton Pakungwati yang merupakan keraton awal sepertinya hampir tidak ada jejaknya.  Masih ada petilasan Pangeran Cakrabuana atau Walang Sungsang, namun perempuan tidak diperkenankan masuk.  Ini pasti akan memicu kaum feminis untuk berkicau.

Depan istana Kasepuhan

Di halaman depan situs Pakungwati terdapat pedati gedhe Pekalangan yang memang gede.  Pedati ini digunakan untuk mengangkut material.  Ini hanya duplikat, aslinya masih ada di perkampungan.

Pedati Gedhe Pekalangan

Buk Bacem, tempat tinggal keluarga Sultan


Seperti halnya dinasti kerajaan di Indonesia, Cirebon pun tak lepas dari perpecahan.  Kesultanan yang berawal dari tepian sungai Muara Jati itu terbelah dua.  Perpecahan itu pun terjadi di tahun 1677.  Kesultanan Cirebon terpecah menjadi Kasepuhan dan Kanoman untuk kedua anak Panembahan Girilaya, Martawijaya dan Kartawijaya.  Pembagian tersebut tak lepas dari campur tangan kesultanan Banten yang merupakan kerabat satu kakek yaitu Sunan Gunung Jati.

Perpecahan kembali terjadi di tahun 1807 kali ini Belanda mengesahkan pembagian Kanoman menjadi 2 yaitu Kanoman dan Kacirebonan.

Keraton Kanoman yang berada di sisi lain kota Cirebon, terletak di tengah pasar yang padat.  Mobil kami dengan susah payah menembus kepadatan memasuki gerbang yang kiri kanannya dipenuhi lapak jualan.  Bila ada mobil dari arah berlawanan salah satu harus beringsut minggir, untuk itulah peranan tukang parkir dibutuhkah sebagai pemandu.

Gerbang Kanoman
Kondisi keraton Kanoman tidaklah sebaik Keraton Kasepuhan.  Pertentangan antara dua putera Raja, Emirudin dan Elang Saladin sepeninggal ayah mereka sultan Mohamad Jalaludin menyeret kerabat keraton lainnya untuk memihak pada salah satunya.  Sudah tentu perpecahan tersebut berpengaruh pada situasi keraton.  Menghadapi jaman yang kian maju mau tidak mau keluarga keraton harus bersatu untuk menjaga keberadaan keraton agar tidak lenyap tergerus masa.  Hal itu akan sulit jika keluarga keraton Kanoman terpecah seperti ini.

Seperti diakui oleh Kang Cepi, salah satu menantu Sultan, suami dari Ratu Arimbi.  Keraton Kanoman yang terjepit oleh masalah keuangan ditambah dengan tidak harmonisnya hubungan antar keluarga.  Keberadaan pasar yang menutupi pintu gerbang keraton diakui merupakan dua sisi mata uang.  Satu sisi menguntungkan karena mereka menyewa tanah keraton di lain pihak juga merugikan karena menyebabkan para wisatawan malas mengunjungi keraton karena suasana yang semrawut.

Kontras dengan keadaan di keraton Kasepuhan dimana di sana ada loket khusus pengunjung, tidak demikian dengan keraton Kanoman.  Kami yang datang harus celingak-celinguk memasuki gerbang yang sepi


Kondisi yang memprihatinkan juga terlihat jelas pada museumnya.  Justru di museum keraton Kanoman itulah tersimpan kereta kencana Paksi Naga Liman, kendaraan yang digunakan pertama kali oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri kesultanan Cirebon.  Kereta kencana yang dibuat sekitar tahun 1428 itu berwarna coklat gelap, tidak seglamor Singa Barong namun wibawanya tak kalah sangar.  Satu kata yang menggambarkan kereta itu LUAR BIASA.  Dengan kepala naga tapi berbelalai dan menggenggam trisula sepertinya melukiskan ini adalah juga kereta perang.

Dalam museum terdapat meriam-meriam kuno, tergeletak begitu saja selain itu terdapat tombak-tombak kuno, salah satunya mempunyai kepala berbentuk senjata cakra.  Sajen-sajen kering juga dibiarkan dan tidak diganti.  Saat kami menuju bagian belakang keraton kami melewati tempat tinggal keluarga keraton.  Sulit digambarkan keluarga keraton tinggal berdesakan dalam bangunan itu.

Satu yang unik, kang Cepi yang adalah juga keturunan Tionghoa setidaknya mengingatkan kembali akan kisah Sunan Gunung Jati dengan putri Cina Ong Tien Nio yang makamnya di daerah Gunung Jati ramai dikunjungi peziarah.


Di luar kisah asmara itu, akulturasi masyarakat Cina di Cirebon memang sudah berlangsung sejak lama.  Kedudukan Cirebon sebagai kota pelabuhan membuatnya menjadi "melting pot" kebudayaan.

Dalam buku "Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon" tercatat bahwa di tahun 1930 prosentasi etnis Tionghoa mencapai 15,15% dari seluruh jumlah penduduk dan bertambah sangat cepat.  Tidak heran jika kini di pasar Kanoman kita menemukan banyak orang Tionghoa yang berjualan di lapak-lapak seperti halnya orang pribumi.

Sajen yang mengering
Kembali ke keraton Kanoman, kang Cepi yang mempunyai hubungan dengan beragam komunitas banyak memberikan informasi terkini terkait dengan kondisi Keraton.  Tersirat tekad untuk memberikan yang terbaik untuk keraton walaupun dengan kemampuan terbatas.

Harus diakui kesultanan Cirebon adalah salah satu kesultanan yang cukup jelas dan logis genealogisnya dibanding dengan Mataram.  Umurnya bahkan lebih tua dari Mataram.  Banyak harapan agar Kasepuhan maupun Kanoman dapat menjaga jejak kesultanan Cirebon lebih lama lagi sebagai warisan masa lalu yang dapat dijadikan pembelajaran bagi masa kini.

Sore itu, suatu keberuntungan buat saya.  Saat meninggalkan sekretariat keraton Kanoman secara tidak sengaja kami berjumpa dengan sultan Emirudin yang sedang berjalan menuju kepatihan.  Sang sultan yang sedang gering tersebut berjalan perlahan dituntun oleh seorang anak menuju kediaman patih Mohamad Qodiron.

Tempat tinggal keluarga Kanoman
 
Kami mengangguk hormat dan memperhatikan raja tersebut berlalu sampai akhirnya lenyap di balik tembok kepatihan.  Di saat yang sama kami juga menarik napas dalam-dalam mengingat beban berat yang disandang oleh keraton Kanoman saat ini.




Tidak ada komentar: