31 Mei 2017

Bertemu Warto


Dekat jalan Bank, Pinangsia Jakarta Kota  hanya beberapa puluh langkah dari Wonderloft Hostel, tak sengaja  mata saya menangkap pria lansia sedang duduk bersandar pada dinding gedung yang jauh lebih tua dari usianya.  Matanya menerawang mengawasi orang yang berlalu lalang.

Iseng, saya dekati.  Ia mengeluh belum makan, saya menawari biskuit dan air minum yang akan saya beli di Indomaret dekat situ.  Ia mengangguk, saya pun bergegas membeli makanan.  Ia menyambut kantong kresek yang saya ulurkan tak lupa sejumput doa diucapkan, saya aminkan doanya.


Warto namanya, lahir tahun 1942 di Cilacap.  Pindah ke Jakarta sekitar tahun 1954.  Tentulah ia salah satu saksi dari perubahan kota.  Ia mengingat-ingat saat rokok amatlah murah "harganya selawe" katanya.  Tentu saja fisiknya masih bugar kala itu sebagai kuli bangunan.


Di usianya yang lebih dari 70 tahun ini, Warto menjadi pemulung botol plastik.  Karung berisi hasil kerjanya tergeletak di samping.  Ia menaksir beratnya hanya 2 kg.  1 kg dihargai sekitar Rp 13 ribu.  Warto tinggal di bawah jembatan Pasar Pagi,  Ia tidak punya anak.  Gigi depannya yang tanggal terlihat jelas kala ia tertawa menceritakan secuil kisah hidupnya.


Saya pun pamitan, kami saling bertukar doa setelah itu saya melangkah pergi meninggalkan Warto dan karungnya.

14 Mei 2017

01 Mei 2017

KARTINI DALAM FILM

Seorang perempuan muda termangu, penderitaan berpendar di matanya.

Perempuan itu seharusnya belum genap 16 tahun, tapi terlihat rambut putih menyembul dan sorot matanya menyiratkan jiwa yang matang bukan lagi sorot kanak-kanak yang beranjak dewasa..

Demikian adegan film Kartini dibuka.  Di buku saya membayangkan Kartini belia yang penuh semangat yang sedang tertekan jiwanya sementara dalam film saya menemukan Kartini yang matang secara usia namun masih remaja pola pikirnya.

Kartini bukan pertama kali ini difilmkan.  Tahun 1984 Sjumandjaya membuat film Kartini yang dibintangi Yenny Rachman berdasarkan tulisan Siti Soemandari

Kartini adalah seorang anak remaja putri yang dijuluki kuda kore karena kebiasaannya tertawa lepas, tak sungkan menunjukkan giginya yang dianggap tidak sopan dalam adat bangsawan pada masa itu,

Alur film pun bergulir.   Ngasirah muda yang bertubuh jangkung dan lencir diperankan Nova Eliza sedang duduk bersimpuh menyaksikan anaknya, Kartini kecil yang meradang, menggigiti kakaknya yang ingin membawanya paksa dari kamar.

Lalu adegan Kartini berlatih jalan jongkok, merawat diri sampai dialog dengan kakaknya, Sosrokartono, Mooei Sos yang tampan itu yang sedang bersiap menuju Belanda.  Sos memperkenalkan adiknya itu dengan buku-buku yang lebih serius.

Kardinah dan Roekmini akhirnya memasuki masa pingitan, pada masa itu Kartini menjadi lebih mengenal adik-adiknya.

Adegan kunjungan keluarga Ovink Soer kenalan keluarga ke kediaman bupati Ario Sosroningrat sementara Kartini merebut nampan suguhan untuk tamu dari tangan pelayan agar ia sendiri yang mengantarkan ke hadapan Ovink Soer demi mendapatkan kesempatan bercakap-cakap sementara sang ayah yang bijaksana membiarkan anak perempuannya itu berbicara di hadapan tamu.