15 Mei 2010

Hati Hatilah Amerika

Beberapa hari ini di FB cukup heboh dengan topik ditariknya Sri Mulyani menjadi Direktur Eksekutif di World Bank.

Siapa sih yang gak kenal World Bank? kembarannya IMF yang bermarkas di DC. Rata rata pemilik FB terutama perempuan mengaku bangga dengan terpilihnya SMI. Saya juga bangga karena memang tidak mudah menjadi salah satu pimpinan organisasi kelas dunia. SMI memang memiliki kualitas unggul. Latar belakang kariernya memang mendukung. Sebelumnya ia menjabat Direktur Eksekutif IMF.

Tak pelak SMI jauh lebih unggul dibanding Kwik Kian Gie si tukang kritik. Dan saya cukup yakin bahwa SMI cukup bersih dari tindak korupsi.

Di luar itu semua saya berharap andai SMI merubah mindsetnya dari IMF sentris yang neolib tentu ia akan lebih diakui. Andai ia berani mengikuti cara Mohamad Yunus, mulai fokus kepada ekonomi mikro, dan berani bersikap kritis terhadap Bank Dunia berani jamin, namanya akan melonjak sejajar dengan Ahmadinejad dan Evo Morales. Sayang memang SBY terlihat seperti bubur lembek jika dibandingkan 2 orang pemimpin itu.

World Bank tidak pelak lagi membawa kepentingan Amerika sama seperti PBB. Bukankah negara itu merupakan donor utama. Dengan markas yang terletak di Washington tentu akan lebih mudah bagi pemerintah Amerika mengontrol tiap kebijakan yang dibuat baik oleh IMF maupun World Bank.

Negara adi kuasa itu membutuhkan resources sumber daya alam yang kebanyakan dimiliki oleh negara negara dunia ketiga. Cara yang paling halus adalah menggelontorkan dana pinjaman dengan syarat syarat tertentu yang pada akhirnya membuat negara tersebut membuat peraturan peraturan akomodatif terhadap kepentingan Amerika. Salah satunya mengijinkan perusahaan berskala internasional milik Amerika masuk dan berinvestasi.

Bagus jika negara dunia ketiga mempunyai daya tawar yang kuat dan tidak begitu saja menerima syarat syarat dari Amerika. Tapi banyak yang seperti Indonesia yang pemerintahnya malas menganalisa dan lebih memilih menerima mentah mentah.

Peranan World Bank sebenarnya sangat diperlukan untuk memberikan advis dan bantuan terhadap negara negara dunia ketiga secara profesional apabila sesuai dengan porsinya; apalagi mereka didukung oleh dana yang hampir tak terbatas. Hanya sangat disayangkan intervensi kepentingan Amerika yang sangat kentara disana. Sehingga resep resep ekonomi yang diberikan bukannya mengeluarkan negara tersebut dari krisis tapi lebih kepada bagaimana Amerika bisa masuk dan bermain di negara itu. Pada akhirnya negara sial itu terlibat hutang yang sangat besar sementara kemajuan yang didapat tidaklah signifikan.

Namun nampaknya Amerika kini harus berhati hati karena banyak negara yang mulai bersikap kritis terhadap berbagai kebijakannya. Salah satunya Iran dan Bolivia.

Iran dibawah kepemimpinan Ahmadinejad terang terangan menolak campur tangan Amerika terhadap industri nuklirnya. Evo Morales dari Bolivia mengecam kecongkakan Amerika yang secara sepihak melarang penanaman kokain. Karena di Bolivia sendiri seperti halnya di Aceh dengan pohon ganjanya, pohon koka dibutuhkan untuk pembuatan obat obatan tradisional dan merupakan tumbuhan yang turun temurun ditanam oleh rakyat Bolivia.

Belum lagi Hugo Chavez, Presiden dari Venezuela. Kita tentu belum lupa terhadap jagoan tua yang menolak tunduk kepada Amerika seumur hidupnya. Fidel Castro, El Commandante dari Cuba.

Tidak ada alasan bagi SBY untuk merunduk runduk kepada Amerika atau Inggris. Mereka membutuhkan sumber daya alam kita, pemerintah kitalah yang harus pintar pintar memanfaatkan daya tawar ini. Mungkin bisa dimulai dari kedutaan. Kedutaan Amerika di sini sebaiknya tidak lagi diistimewakan dengan adanya kawat kawat berduri dan larangan untuk memberhentikan kendaraan begitu juga dengan Kedutaan Inggris yang entah atas ijin siapa bisa menutup sepotong ruas jalan disamping gedungnya. Aparat Pemda DKI dimana sih otaknya, kok kotanya bisa diacak acak oleh orang asing.

Kapan ya kita bisa seperti Iran, yang penuh harga diri jika berhadapan dengan negara adi kuasa

08 Mei 2010

Nggak Asik Ah

Sabar..sabar...demikian aku berusaha menahan diri begitu membaca message sore tadi. Kan harusnya sudah mulai terbiasa dengan jawaban jawaban seperti itu.

Sebenarnya gak apa apa sih kalo memang belum bisa mengembalikan apalagi sedang ada kesusahan kayak gitu, tapi kok ya gak ada informasi sebelumnya begitu lewat tanggal, malah guenya yang harus sms tanya tanya. Awalnya sih berusaha sopan,,,tapi lama lama emosi juga ya.

Yee, emangnya dia doang yang punya anak, gue juga punya, wajar dong gue ngamuk anak gue kan jg punya keperluan..Males juga sih harus sms nanyain soal uang,,berasa kayak rentenir aja. Tapi apa boleh buat setelah mengamati perilakunya. Semua orang dibantu,,lah kok gue yang punya hak malah dipinggirin dengan berbagai macam alasan. Setelah gue ngotot baru deh tergopoh gopoh,,kemarin kemarin kemana aja sih?

Hebatnya aku masih bisa maklum, tapi lama lama gila juga ya. Serba susah deh, kalo keseringan sms nanti istrinya nyangkain aku minta minta uang sama suaminya...Masa sih aku harus bilang,,,"Mbak, mbak,,,sorry nih sebelumnya,,tapi suami elo yang minjem duit gue dari 2 tahun yang lalu. Nggak kok, gue gak bakal ngambil suami elo, buat elo aja deh, yang penting uang balik"...he..he

Ya udah...ikhlasin aja kali ya,,,daripada gak enak nagih nagih terus, bisa bisa hubungan persaudaraan rusak gara gara uang. Insya Allah untuk anak sih udah bisa tercover (lagi lagi ya booww,,,gue yang harus puter otak, gara gara jawaban simple : maaf belum bisa,,lg ada bla,,bla,). btw, elo kemana aje kalo gue lagi susah, bro?..ih, boro boro elo sms nanya kabar...ngumpet yang ada.

Yaaa dosa deh gue,,orang lagi kesusahan gue omel omelin...lah gue kan manusia wajar dong kalo punya perasaan jengkel.

Terpaksa deh keluh kesah gak penting ini masuk blog, daripada perang sms ya kan....bisa berasap kepala gue.!!

02 Mei 2010

Suatu hari ditanggal 1 Mei

"Dari skala 1 sampai 10 dalam hal kesejahteraan, dimana skala perusahaan mas ada?" tanyaku kepada seorang pria berblangkon biru. "Wah, rendah sekali mbak." Kata si mas tersebut.

Matahari sedang bersinar dengan terik walau kadang disaput dengan awan. Aku mengarahkan pandang kepada ribuan buruh yang sedang berdemo menuju istana presiden. Sambil berjalan tersaruk saruk di sepanjang Thamrin, aku kembali melirik melalui lensa kamera Lumix memotret buruh buruh wanita yang berbaris menggunakan berkaca mata hitam, eh coklat ding,,,mereka sadar mode rupanya. Para pedagang minuman setia mengikuti dari pinggir jalan. Pengeras suara bergemuruh memutar lagu lagu tentang buruh yang terkadang bersyair kocak.

Kembali kami berbincang, kali ini tentang SJSN yang tak kunjung diterapkan; mas itu adalah salah seorang buruh pabrik baja di kawasan Bekasi sana, ia terbahak saat kutanyakan tentang SPSI. Tak terasa langkah kami sudah mendekati Monas dan sebentar lagi istana megah itu akan terlihat.

Di trotoar jalan yang teduh, di depan gedung gedung kuno pemerintahan yang anggun yang pada hari hari biasa dilewati oleh mobil mobil mewah, hari ini ditempati oleh buruh buruh yang kelelahan berjalan kaki. Mereka duduk menikmati makan siang baik yang dibagikan oleh koordinator atau membeli dari para pedagang yang dengan segera memenuhi sisi jalan yang biasanya terlarang buat mereka. Mirip piknik.

Saya kembali menyelinap diantara kerumunan di depan istana negara. Seorang tua berpakaian hitam dengan rambut digelung, kumis dan cambang putih menghiasi wajahnya tampak sedang diwawancarai. Penampilannya seperti paranormal.

Aku tersenyum geli mendengarnya berapi api menyampaikan pendapat. Lagi lagi seorang Soekarnois. Beberapa pendapatnya agak bertentangan dengan fakta sejarah, tapi biarlah mumpung kita berada di alam kemerdekaan semua bebas berpendapat. Tanpa membuang waktu kuarahkan kameraku kepada kakek paranormal itu.

Iseng, kuarahkan kakiku ke arah bis bis yang mengangkut para demonstran. Beberapa dihiasi dengan poster poster provokatif yang kembali membuatku membuka lensa kamera.

Para pendemo yang baru datang kemudian mengusung poster poster besar. Ah, rupanya ada yang memajang foto Karl Marx besar besar dengan tulisan Bapak Buruh Indonesia....

Demo buruh kali ini juga diikuti oleh penduduk asal Rumpin, Bogor yang sedang bersengketa dengan Badan Pertahanan Nasional.

Tidak ketinggalan para PRT asal Ciganjur juga berpartisipasi. Sayang aku lupa menanyakan gaji mereka perbulan, saat mereka membentangkan poster dan memintaku memotret.
Ah, jika PRT juga ikutan protes celakalah aku....bisa jadi gaji pembantuku juga berada di bawah UMR.

Aku merasa tungkaiku pegal luar biasa, tentu saja berjalan kaki dari bundaran HI sampai Istana bukanlah hal yang enteng buatku. Saat pergi tidak terasa karena banyak moment menarik sepanjang jalan.

Cukuplah pengembaraan saya hari ini. Pengalaman menarik untuk memuaskan rasa ingin tahu. Sejenak aku menengadahkan wajah, bersyukur atas apa yang kualami hari ini, atas bertambahnya wawasan mengenai carut marut negeri ini.