27 Desember 2015

Rende dan Tanarara

Rende Yang Menawan

Saya terbangun agak telat, mendekati jam 6 pagi.  Tampaknya saya memang mudah beradaptasi dengan kamar yang berada di lantai 3 ini;  memang sepi, kamar sebelah sepertinya ditempati oleh cowok-cowok. Tapi percayalah saya merasa nyaman, tidak merasa takut.  Baru terpikir setelah pulang ke Jakarta, bagaimana jika ada yang iseng masuk ke kamar dengan mencongkel pintu, tidak akan ada yang mendengar.  Alhamdulillah, Tuhan melindungi saya sepanjang perjalanan ini dan pikiran negatif sama sekali tak terlintas di situ.

25 Desember 2015

Menjumpai Sumba Timur

Menuju Sumba Timur

Menjelang subuh saya bangun dan iseng menuju teras atas resto hotel.  Sayang sunrise sepertinya terhalang oleh bukit.  Mau pesan kopi di resto tapi sepertinya belum ada orang.  Jadi saya memotret-motret saja

Teras atas Hotel Sinar Tambolaka

Lalu teringat akan pasar yang ada di seberang hotel.  Nah  sambil menunggu waktu sarapan saya ke sana saja.  Tidak seperti pasar di Jawa yang sudah ramai dari dini hari.  Lapak-lapak pasar di sini masih kosong walau waktu sudah menunjukkan jam 6 pagi.  Setengah jam kemudian baru beberapa lapak dibuka.  Saya menghampiri satu lapak yang menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga karena teringat ingin membeli rinso softener buat mencuci baju, berhubung saya hanya membawa kaus secukupnya :).

Di Pangkuan Bumi Sumba


Sumba,

Apa yang harus saya katakan tentang pulau ini selain paduan antara kerasnya alam dan keindahan khas Indonesia timur.

Saya ingat betul laporan Ekspedisi Jejak Peradaban NTT -nya Kompas tahun 2010, betapa ngenes nasib propinsi NTT dimana pulau Sumba berada. Infrastruktur yang minim, Indeks Pembangunan Manusia yang nyaris terendah, susah air dan segala cerita sedih tentang daerah ini sampai NTT diplesetkan menjadi Nasib Tak Tentu atau Nanti Tuhan Tolong. 

Sekarang, menjelang akhir tahun 2015; kurun waktu lima tahun sejak laporan itu dipublikasikan akhirnya saya menapakkan kaki di salah satu sudut NTT, Sumba.  Banyak sudah orang yang mengabarkan keindahan Sumba, namun kisah dari Kompas selalu teringat, mengungkit keinginan untuk mengintip kondisi pulau itu kini.

Kerasnya alam langsung terasa saat menginjak bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya untuk pertama kalinya, panas menyengat.  Bandara itu sepi.  Saya yang pergi sendirian langsung merasakan keheningan saat mesin pesawat ATR dimatikan.  Tersaruk-saruk melangkah sambil mencoba menghapus kantuk akibat harus bangun dini hari demi mengejar penerbangan pertama ke Bali, transit sebelum menuju Tambolaka.


Saya lirik ponsel, XL sudah wafat, tinggal sinyal Telkomsel yang berjaya.  Segera saya menghubungi hotel untuk mengecek mobil jemputan.  Ternyata mereka sedang kebingungan karena hanya punya nomor XL saya yang tentu saja langsung masuk voice mail saat dihubungi.