27 Desember 2015

Rende dan Tanarara

Rende Yang Menawan

Saya terbangun agak telat, mendekati jam 6 pagi.  Tampaknya saya memang mudah beradaptasi dengan kamar yang berada di lantai 3 ini;  memang sepi, kamar sebelah sepertinya ditempati oleh cowok-cowok. Tapi percayalah saya merasa nyaman, tidak merasa takut.  Baru terpikir setelah pulang ke Jakarta, bagaimana jika ada yang iseng masuk ke kamar dengan mencongkel pintu, tidak akan ada yang mendengar.  Alhamdulillah, Tuhan melindungi saya sepanjang perjalanan ini dan pikiran negatif sama sekali tak terlintas di situ.


Mengingat akan dijemput jam 8 pagi maka saya terburu-buru mandi dan menyiapkan segala perlengkapan.  Saya hanya menginap semalam, jadi hari ini saya akan check out sambil sedikit menjelajah sebelum kembali ke Tambolaka.

Ketika saya ke resto sekitar jam 7 pagi, sudah ada tamu-tamu yang sedang makan dan semuanya lelaki...hahahah.  Menu sarapan standar, capcay, bihun goreng, kerupuk dan telur.   Akibat bangun agak kesiangan saya tidak jadi keluyuran jalan kaki di daerah seputaran hotel.  Mending menyelesaikan administrasi check out dan menunggu pak Adi.

Benar saja, jam 8 tepat mobil pak Adi sudah berbelok masuk hotel.  O ya tadi sempat melirik dompet, sepertinya harus diisi kembali kuotanya,,hahaha, jadi sebentar mampir di atm Mandiri.  Eh, di Waingapu ada bank Mandiri loh, kalo di Tambolaka adanya bank BNI...hihihi.  Begitu pula dengan supermarket.  Yang menarik belum ada ****M***t dan **F*M***, 2 minimarket yang secara usil dianggap sebagai identitas peradaban, seperti halnya salon..hahahha.. Tapi malah lebih bagus tidak ada 2 franchise minimarket itu, biarkan putra putri Sumba membangun kota mereka dengan identitas aslinya.

Rumah di Rende
Tujuan kami adalah Rende, atau Rindi sih? Jaraknya dari Waingapu, fiuh jauh!!  60 km ada kali ya.  Rende adalah juga salah satu kampung adat di Sumba timur ini.  Jalan menuju Rende ini memang relatif mulus dan seperti biasa... lengang.  Kadang bertemu anak-anak SD yang berjalan kaki di beramai-ramai.  Eh di Sumba Timur ini jarang dijumpai pedagang bensin eceran.  Semua kendaraan yang butuh BBM mengisi di pompa bensin.


Akhirnya mobil berbelok di sebuah tanjakan..itulah Rende.  Seperti biasa sepiiiiiii.  Sumba sepertinya hanya ramai di kalangan traveller blogger, baguslah.  Seperti di kampung-kampung adat terdahulu, serasa jadi tamu privat.  Jangan lupa mengisi buku tamu dan mengobrol dengan penghuni kampung, sambil disuguhi sirih dan pinang.  "Awas pusing" kata pak Adi, melihat saya iseng mengigit kepingan buah pinang.

Kubur Batu di Rende

Mata saya melotot mendengar biaya pemakaman yang luar biasa besar.  Butuh 18 kerbau untuk disembelih.  Daging hasil penyembelihan kerbau tidak boleh diambil oleh keluarga yang berduka sama sekali, itu untuk orang luar seperti tetangga atau keluarga.  Lalu untuk untuk konsumsi selama upacara, puluhan ekor babi harus disiapkan untuk disembelih...muahallll!!!!  Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan dana sebesar itu. Satu kerbau saja dengan tanduk melengkung harganya bisa puluhan juta.  Belum lagi suku-suku yang harus diundang berdasarkan hubungan kekerabatan.

Sebenarnya sudah ada perda dari pemerintah daerah yang mengatur jumlah hewan yang dapat disembelih untuk menghindari biaya jor-joran saat pemakaman tapi namanya juga adat yang sudah berjalan ratusan tahun, tidak segampang itu pemerintah dapat menerapkan aturan.


Pas kami datang ternyata masih ada jenazah yang belum dikubur sudah setahun lebih karena menunggu uang terkumpul dari keluarga untuk upacara.  Sayang orang luar tidak diperbolehkan melihat.  Jenazah itu terbungkus puluhan lembar kain tenun Sumba.  Hikss..kebayang kain tenun yang cantik-cantik bin mahal itu buat bungkus mayat.  Kesimpulan: orang Sumba itu kaya raya..hehehe...

Puas mengobrol, saya minta ijin keliling untuk memotret.  Batu kuburnya tinggi-tinggi dan besar.  Ada batu kubur mantan bupati yang berasal dari kampung Rende, rumah keluarganya juga masih berdiri dengan tampilan foto-foto beliau di dinding depan rumah.  Seorang ibu sedang menenun kain, lalu ibu lainnya sedang mengambil jemuran berupa kain-kain cantik...hailahh bu, bikin ngiler aja.


Ada rumah yang nampaknya merupakan balai pertemuan dan di teras sampingnya bergantungan kain-kain indah, melambai-lambai minta diambil :).  Ada pula rumah yang atapnya sudah diganti dengan seng, sayang sekali karena ini sebenarnya rumah termegah, bertingkat dua, sepertinya bekas rumah raja.

Pak Adi sambil tertawa-tawa saat menemani keliling berkata "Nah kan, dengan biaya seperti itu bagaimana pria Sumba bisa berumah tangga".  Pak Adi sendiri sudah tidak lagi menganut Marapu, ia sudah menjadi Nasrani dan keluarganya dari suku Kihi.

Selesai memotret, saya pun pamitan.  Menuju tempat yang kemarin diinformasikan melalui wa oleh seorang teman yang pernah menjelajahi NTT dengan motor selama 3 bulan.  Tempat yang bernama Tanarara.


Tanarara, Kubur di atas bukit 
Seperti biasa pak Adi dengan sabar menuruti kemauan saya.  Mobil mengambil jalur sebaliknya dari Rende.  Berkendara beberapa lama dan berbelok ke kiri, tidak ada papan petunjuk menuju Tanarara. Melewati beberapa rumah yang tersebar.  Jalan makin menanjak, semula kiri kanan masih berupa pohon-pohon dan rumah penduduk walaupun jarang.  Cukup lama juga kami melaluinya.  Tanarara berarti tanah merah, dan memang di padang ini terlihat tanah kering berwarna semu merah

Jalan menuju Tanarara

Lalu kami tiba di tempat datar, jalan mulai terlihat rompal di sana sini, tak jarang pak Adi lebih memilih jalan tanah dibanding jalan yang aspalnya terkelupas.  Setelah terguncang-guncang beberapa lama.  Mulai terlihat perbukitan, nah jalan kecil yang berkelok-kelok tajam sampai nun jauh di sana itulah yang harus ditempuh.


Jantung yang dari tadi sudah berdetak kencang makin bergetar. Jalur yang sempit diapit tebing batu di sisi kiri dan jurang di sisi kanan ditambah aspal yang mulai compang camping menambah kecemasan saya.  Bayangan ban bocor dan kehabisan bensin mulai bermain-main di benak saya.  Pak Adi sih terlihat berkonsentrasi penuh.  Punggung bukit ini seperti tak habis-habis dilalui.   Pada kelokan yang curam terlihat truk yang terguling, pemandangan yang bagus di saat stress :)




Ternyata ada truk yang dimodifikasi jadi angkutan beroperasi dengan trayek Tanarara-Waingapu. Jauh bener!!!, bukan itu saja, ada bis Damri, sedikit reyot yang juga beroperasi dengan trayek yang sama.  Hanya saja bis itu cuma sampai titik tertentu di Tanarara ini.  Perjalanan kami masih jauh melewati titik bis Damri itu berhenti.  Kok ya gak selesai-selesai, dari tanjakan satu ke tanjakan lain, kelokan demi kelokan yang curam telah kami lewati.  Sepertinya rangkaian bukit ini tidak juga berakhir   Namun pemandangan indah sepanjang jalan sedikit mengalihkan kecemasan saya yang melihat langit mulai mendung. 

Akhirnya setelah berjam-jam menekuni jalur perbukitan, saya melihat kubur batu di kejauhan, makin lama makin jelas.  Itulah dia.   Akhirnya di tikungan yang agak lebar mobil berhenti.  Di sisi kiri terdapat tempat mirip bukit kecil.  Di situ tegak satu, iya satu doang..kubur batu sementara di jauh bawahnya terlihat lembah persawahan.  Dengan lega saya keluar dari mobil, menuruni jalan setapak lalu naik ke bukit kecil itu.  Ternyata dari situ terlihat satu kubur batu lain namun terpisahkan oleh jurang, untung saja saya membawa lensa tele jadi bisa memotretnya dari seberang lembah.  Bukan main.....tadinya saya berniat ngomel pada teman saya yang menyarankan agar ke tempat ini, tapi setelah melihat apa yang didapat, keinginan itu menguap begitu saja, digantikan oleh rasa syukur atas suguhan luar biasa ini.

Kubur Batu Tanarara



Saya melihat jam tangan, sudah jam 2 siang, ampun dah 2 jam sendiri dari belokan awal sampai ke tempat ini.  Tak mau membuang waktu, segera saja memotret.  Saya melirik pak Adi, terlihat ia sedang menunduk asyik memandangi lembah, saya sedikit merasa bersalah mengajaknya keluyuran gak jelas seperti ini..hahahha.

Kubur Batu di seberang jurang

Setelah puas, kami segera putar balik menuju Waingapu.  Perjalanan turun tidak setegang tadi, saya mulai ketawa-tawa lalu ngakak begitu tahu bahwa ternyata pak Adi itu adik ipar camat Tanarara.  Kantor camat terletak di bawah lembah yang jalannya tak jauh dari kubur batu tadi.  Pantesan kok hapal banget jalurnya padahal jarang orang datang ke tempat ini selain penduduk sekitar.

Mendung yang tadi menggantung mulai menurunkan muatannya, tetesan-tetesan kecil mulai berjatuhan.  Tapi ya gitu aja tidak berlanjut :).  Dalam perjalanan turun kami berpapasan dengan truk.  Supaya muat masing-masing harus mepet ke sisi sebelahnya.  Lah sisi lain mobil kami adalah jurang, tidak mungkin bergeser ke sana.  Pelan-pelan, mobil melangkah, spion dilipat biar muat, wheuuw,,, akhirnya lolos juga, pak Adi jago...dan mukanya tetap datar :)

Saat mobil berjalan pelan karena saya sekaligus memotret, sebuah truk menyalip di jalur yang agak lebar.  Truk yang dimodifikasi dengan terpal dan tempat duduk di belakang sehingga menjadi angkutan umum.  Ada beberapa penumpang di belakang sementara di atap truk ditempati kambing.



Truk itu meliuk-liuk di jalan yang berkelok terjal, bahkan jaraknya semakin jauh dari mobil kami.  Terlihat kambing-kambing yang tadinya berdiri jadi tiarap saat truk melaju dengan kecepatan tinggi.  Perjalanan pulang sedikit lebih cepat dibanding perginya.  Saat menuruni bukit, di antara tebing ada dataran di mana hewan-hewan terlihat sedang merumput, kayak di film Sound of Music.  Terlihat lapisan-lapisan warna hijau dan coklat kekuningan di perbukitan dan batu-batu yang strukturnya seakan diukir.


Perasaan lega langsung muncul saat tiba belokan jalan utama menuju Waingapu.  Mobil segera dipacu, sudah sore..saatnya minum teh dan ngopi.   Sore itu banyak terlihat ibu-ibu sedang menjinjing jerigen untuk air bersih. Ada yang berbelok ke pompa bensin untuk meminta air. 



Kami tiba di Waingapu sekitar pukul 4 sore dan langsung berbelok ke pengrajin tenun.  Ibu Rambu namanya.  Saat tiba di rumahnya suasana tampak sepi.  Kami disambut oleh ibu Rambu sendiri yang dengan ramah mengajak masuk ke sanggarnya. Ia juga menunjukkan kain-kain yang sudah jadi...harganya memang mahal  karena tenun tangan dengan pewarna alami buatan sendiri.  Ibu saya minta dibelikan kain tenun, jadi saya beli beberapa yang kecil.  Cukup menguras kantong memang tapi sudah selayaknya hasil karya yang dibuat dengan waktu lama dan susah payah ini dihargai dengan layak, tidak perlu dipasang label terkenal untuk membuat kita membeli dengan harga pantas.

Ternyata ibu Rambu ini sering mengerjakan pesanan designer Jakarta, Samuel Wattimena dan Oscar Lawalatta dan sering berpameran di Jakarta, beliau banyak menginap di daerah Kemang bila sedang berpameran.  Rumah boleh di kampung tapi jangkauan mah ibu kota yaaa :)


Selesai transaksi kami berpamitan, kali ini benar-benar akan ngopi dan ngeteh.  Jadi keluar dari kampung pak Adi langsung mengarahkan mobil ke rumah makan terdekat.  Saat sedang memesan menu tiba-tiba 1 truk penuh polisi berhenti dan anggotanya beramai-ramai memasuki rumah makan ini.  Wah, ada apa? ternyata rumah makan ini berdekatan dengan kantor KPU dan menurut pak Adi, hasil pilkada di Sumba Timur masih bermasalah.  Jadi para polisi ini sedang menjaga kantor KPU.


Kelar urusan perut mobil segera dikebut menuju Tambolaka.  Perkiraan sampai di sana sekitar jam 9 malam.   Kembali jalur-jalur perbukitan menemani perjalanan kali ini pada senja hari.  Siang hari saja jalur ini sepi, gimana malam ya.  Pertanyaan itu segera terjawab menjelang perbatasan Sumba tengah, sepi nyet-nyet, matahari sudah mulai tenggelam.  Lagi-lagi tubuh butuh booster kafein, jadi mampir kembali di warung milik Sinar Tambolaka.  Sepertinya ini memang satu-satunya warung makan di jalur Sumba Tengah.  Pemiliknya sudah hapal dengan saya, jadi kami sempat mengobrol sambil menunggu kopi susu saya habis.  Dari obrolan itu saya jadi tahu bahwa pemiliknya ternyata muslim dari Lombok yang sudah lama tinggal di Sumba.

Kopi-kopi kami sudah habis sehingga kami berpamitan, hari benar-benar sudah gelap dan kami memasuki jalan di sepanjang hutan di Sumba Tengah.  Udara sejuk sekali, sehingga ac mobil dimatikan dan kaca dibuka untuk menikmati dinginnya wilayah Sumba tengah.  Wilayah ini memang daerah yang paling sejuk.

Jalanan benar-benar sepi dan gelap, hanya sesekali bertemu kendaraan dari arah sebalinya. Tape mobil sudah bolak-balik memutar serangkaian lagu dari dangdut remix sampai musik Porto.  Obrolan kami juga sudah ngalor ngidul dari gosip artis sampai pekerjaan pak Adi yang sebelumnya adalah pengemudi ambulance jenazah di Waingapu, ia malah pernah mengantar jenazah ke Tanarara, jauh melampaui tempat kami tadi,, sendirian lagi....hahahah, pantesan raut mukanya dingin dan datar.

Jam 8 malam kami baru sampai di Waikabubak, jadi masih sekitar 1 jam lagi untuk sampai Tambolaka.  Begitu saja kami sudah lega dan alhamdulillah perjalanan lancar dari pergi sampai pulang.  

Benar saja kami sampai hotel jam 9 malam.  Saya turun dan berpamitan karena hari ini terakhir saya bareng pak Adi, besok saya akan berputar di Weetabula saja dan mungkin akan menggunakan motor.

Akhirnya saya kembali ke hotel Sinar Tambolaka, membuka pintu kamar dan menarik napas lega dan bersiap mandi lalu istirahat sambil membawa kenangan akan Sumba Timur.

Bersambung...



Tidak ada komentar: