25 Desember 2015

Menjumpai Sumba Timur

Menuju Sumba Timur

Menjelang subuh saya bangun dan iseng menuju teras atas resto hotel.  Sayang sunrise sepertinya terhalang oleh bukit.  Mau pesan kopi di resto tapi sepertinya belum ada orang.  Jadi saya memotret-motret saja

Teras atas Hotel Sinar Tambolaka

Lalu teringat akan pasar yang ada di seberang hotel.  Nah  sambil menunggu waktu sarapan saya ke sana saja.  Tidak seperti pasar di Jawa yang sudah ramai dari dini hari.  Lapak-lapak pasar di sini masih kosong walau waktu sudah menunjukkan jam 6 pagi.  Setengah jam kemudian baru beberapa lapak dibuka.  Saya menghampiri satu lapak yang menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga karena teringat ingin membeli rinso softener buat mencuci baju, berhubung saya hanya membawa kaus secukupnya :).





Sebelah lapak tempat saya membeli detergen menjual semacam kepingan berwarna merah kecoklatan dalam karung yang ternyata itulah buah pinang yang dikeringkan untuk menyirih.  1 kaleng kecil dihargai Rp 5 ribu.  Iseng menanyakan harga beras yang mereka jual, ternyata seliter Rp 15 ribu, tidak jauh beda dengan Jakarta.  Saya membeli 2 kaleng kecil buah pinang dan membeli 1 kaleng kecil biji kopi, padahal tidak tahu bagaimana menyangrainya, naluri impulsif yang banyak bermain di sini nampaknya :)

Di bagian depan ternyata ada yang menjual kain-kain tenun khas Sumba.  Walau pak Adi bilang lebih baik membeli di Waingapu langsung di pengrajinnya namun saya ingin tahu harganya bila dijual di pasar seperti ini.  Penjual pertama langsung menawarkan dengan harga Rp 300 ribu rupiah.  Saya menggeleng.  Penjual kedua yang saya hampiri ternyata punya kain seharga Rp 150 ribu, dan langsung saya ambil.



Beberapa saat saya masih berkeliaran di dalam pasar sebelum akhirnya menyeberang menuju hotel untuk sarapan.  Sarapannya sendiri walau sederhana tapi cukup enak.  Ternyata tamu hotel cukup banyak mengingat sudah mendekati libur Natal.

Pagi ini saya akan ke Waingapu di Sumba Timur yang bila memakai travel bisa memakan waktu 5 jam tapi terlebih dulu akan mampir ke kampung Tarung di Sumba Barat.  Seperti biasa mampir ke toko kelontong, rupanya sang pemilik adalah warga Cina Sumba.  Saat memasuki tokonya terlihat cici pemilik toko sedang ngomel-ngomel dalam bahasa Sumba kepada anak buahnya sehingga suasana sedikit riuh rendah antara para pembeli yang sedang bertransaksi diselingi omelan Cici yang melengking.  Ada sedikit kalimat dalam bahasa Indonesia tertangkap kuping tapi selebihnya dalam bahasa setempat sehingga saya tidak bisa mengerti maksudnya.  Keluar dari sana pak Adi sambil senyum-senyum menerjemahkan, ternyata masalah uang setoran yang kurang akibat anak buah yang ceroboh. 


Mobil segera melaju menuju Sumba Barat, ke Kampung Tarung.  Setelah beberapa lama mobil memasuki jalan sempit di tengah kota yang ternyata menembus pasar, jalan potong terdekat.  Letak Kampung Tarung memang di atas dataran tinggi, jadi kami berbelok memasuki jalan yang menanjak.
Tidak berapa lama segera terlihat atap-atap khas Sumba.  Mobil pun diparkir di pinggir jalan dan kami berjalan menjumpai beberapa orang pria yang sedang duduk di depan rumah.  Menyapa sejenak, lalu seorang ibu menghampiri untuk memberikan buku tamu.  Kami berdua mengikuti langkah beliau menuju salah satu rumah.  Pak Adi bergabung mengobrol dengan para bapak, sedangkan saya duduk di teras bersama si ibu.  Beberapa orang perempuan yang menjual kain menawarkan dagangan tapi mereka dengan sopan menunggu dan tidak menyela obrolan kami.

Kampung Tarung

Kampung Tarung seperti halnya Ratenggaro adalah salah satu kampung adat yang masih menganut agama Marapu. Kubur batu dan pemandangan hewan-hewan yang berseliweran seperti babi dan anjing juga lazim ditemui.   Kepala kampung Tarung ini ternyata menikah dengan orang Jawa, dan muslim begitu menurut ibu penunggu buku tamu.  Ketika saya tanya apakah mungkin adat di kampung ini berubah karena jaman, si ibu menggeleng mantap; "Tidak, ini kampung adat yang harus dijaga."  Mudah-mudahan ibu, demikian saya menimpali dalam hati.  Cuma ada saya, pengunjung kampung Tarung saat ini, sama seperti di Ratenggaro kemarin.


Setelah puas memotret saya pun pamit, Seharusnya bisa ke Weetabar di belakang kampung Tarung, karena ada upacara kematian, namun nampaknya mobil tidak bisa terus ke atas.  Ya sudah, lagipula kami mengejar waktu menuju Waingapu.

Dalam perjalanan menuju Waingapu, sering terlihat para penjual bensin eceran di sepanjang jalan dari Sumba Barat Daya ke Sumba Tengah.  Premium yang dijual di pompa bensin Pertamina Rp 7.300/liter  menjadi Rp 20.000/liter di pedagang eceran.  Di Sumba Tengah bahkan pompa bensin sudah kosong sebelum tengah hari setelah pengisian pagi, diborong oleh para pedagang eceran.  Tak heran saya sering menjumpai pedagang bensin eceran dengan santai berdagang di muka pompa bensin yang tutup karena kehabisan bensin.


Sepanjang jalan melintasi Sumba Tengah langsung terlihat Sumba Tengah memiliki tanah yang paling subur, sawah terlihat menghijau.  Di banyak tempat terlihat tanah yang berwarna hitam, katanya ini tanah yang subur.  Jalur utama trans Sumba ini juga melewati hutan Taman Nasional namun memang Taman Nasional ini belum dibuka untuk umum.  Yang unik bila diperhatikan ternyata banyak orang yang suka duduk-duduk di tepi aspal jalan.  Karena jalan di Sumba sepi, jadi tidak terlalu menjadi masalah.  Yang kocak, saat melewati Taman Nasional kami melihat 2 orang sedang mengobrol, namun yang satu orang itu berbaring telungkup di bahu jalan..hahahha...serasa piknik bukan.

Kebiasaan duduk di bahu jalan

Ternyata Sumba Timur ini memang jauh.  Kami sempat berhenti di Sumba Tengah, sekedar ngopi dan ngeteh di sebuah rumah makan yang ternyata milik hotel Sinar Tambolaka juga.   Akhirnya berjalan beberapa lama kami melihat pemandangan alam yang berbeda, banyak bukit-bukit kekuningan.   Pak Adi menghentikan mobilnya di sebuah tikungan di depan rumah kecil lalu mengajak naik ke atas bukit.  Ternyata tempat itu bernama Wayrinding,  Dari atas kita bisa memandang lekukan lembah yang terlihat berlapis-lapis berwarna hijau kekuningan.  Tidak ada orang di sekitar kami.  Ini kok berasa kayak pre wed...hahaha...Ternyata dari kejauhan ada 2 sosok tengah berjalan, tidak ke arah kami tapi berbelok menuju rumah yang ada di bawah.  Seorang bapak dan anak lelaki yang memanggul rumput.

Wayrinding

Puas melihat kami pun turun.  Saat hendak masuk mobil, ada sapaan dari rumah kecil yang ada di samping.  Ternyata ibu pemilik rumah menyodorkan buku tamu.  Saya memandang pak Adi, ia mengangguk.  Saya melihat pengisi sebelumnya, ya memang rata-rata yang ke sini pasti mengisi buku tamu ini.

Kelar urusan buku tamu, saya segera menanyakan hal ihwal ibu di rumah kecil tadi.  Ternyata keluarganya adalah pemilik tanah di sebagian bukit itu, wuihhh....entah cerita itu benar atau tidak....saya sebagai orang luar wajib mengikuti adat setempat.

Udara cerah sepanjang hari dari kemarin.  Kelokan dengan panorama perbukitan terus menyertai.  Setelah berjalan selama 4 jam mobil memasuki lembah, mulai mendekati kota Waingapu yang terletak di cekungan.  Akhirnya terlihat gapura kota yang berupa prajurit  dengan kudanya.  Kami langsung menuju hotel Elvin di tengah kota.  Pak Adi kebetulan berasal Waingapu jadi sekalian pulang katanya.



Kota Waingapu lebih ramai dibanding Waikabubak atau Tambolaka karena memang sebelum ada pemekaran, satu-satunya pintu masuk pulau Sumba dari jalur udara adalah melalui bandar udara Umbu Mehang, Waingapu.   Di sini pertama kalinya mobil berhenti jika ada lampu merah.  Di Weetabula dan Waikabubak tidak terlihat adanya lampu lalu lintas,,,hahahah.

Setelah menaruh ransel di hotel Elvin, kami langsung menuju kampung Prailiu.  Kampung ini tidak jauh dari pusat kota.  Pertanda jalan menuju ke sana adalah stadion dengan pohon petai cina yang berbunga lebat warna orange kemerahan.

Tak lama sampailah di kampung Prailiu. Ternyata kampungnya tidak terlalu kuno karena sudah ada rumah-rumah masa sekarang.

Kubur Batu Umbu Ndjaka di kampung Prailiu

Sepertinya memang tidak ada pelancong lain lagi saat saya mengisi buku tamu di rumah bekas keluarga Raja.  Suku Prailiu memang salah satu suku terbesar di Sumba Timur.  Saya diterima di rumah keluarga bekas kepala kampung Prailiu dan mengobrol dengan istrinya.  Kepala kampung Prailiu, Umbu Ndjaka, sudah lama meninggal, tapi foto-foto beliau bisa dilihat di ruang tamu bersama foto anak-anaknya.

Mendiang Umbu Ndjaka

Rumah keluarga bangsawan ini sudah seperti rumah modern biasa, tidak lagi berbentuk rumah adat.  Namun di belakang rumah masih ada bangunan khas Sumba.  Saat mengobrol dengan sang ibu, banyak hal menarik saya tangkap.  Walaupun sang kepala kampung hanya bersekolah sampai kelas V SD, namun ketujuh anaknya lulusan Universitas.  2 orang anaknya sedang di luar negeri, satu kalau tidak salah seorang dokter dan saya lupa yang lainnya.  Tapi anaknya yang bungsu setelah menyelesaikan kuliah di Yoggya memutuskan untuk kembali ke kampung untuk mengurus kampung sepeninggal ayahnya.  O ya, keluarga Umbu Ndjaka sudah tidak lagi menganut Marapu, mereka sudah beragama Kristen.  Namun untuk beberapa hal mereka sepertinya masih menjalankan tradisi.

Mengenai paras Umbu Ndjaka dan anak-anak lelaki, sang istri punya cerita sendiri.  Dikatakan bahwa leluhur suku Prailiu berasal dari India, entah benar atau tidak saya hanya manggut-manggut.  Salah seorang putera Umbu Ndjaka yang bungsu sempat ikut mengobrol dengan kami.  Sekilas mirip Tora Soediro dengan cambang memenuhi pipinya

Umbu Ndjaka dikuburkan tak jauh dari rumah dalam kubur batu yang besar.  Istri Umbu Ndjaka menceritakan susahnya mengangkut batu itu dari puncak bukit.  Kebetulan di belakang rumah keluarga Umbu Ndjaka sedang dibangun rumah adat baru yang merupakan bantuan pemerintah   Kayu-kayu besar berserakan di halaman.  Para pekerja asyik mengerjakan kayu-kayu tersebut.

Puas memotret kami pun beranjak pamit menuju pantai Cemara yang terletak di Puru Kanbera.  Perjalanannya sendiri cukup jauh melewati padang dan lembah kecoklatan.  Mendekati Puru Kanbera terlihat tanah-tanah di pinggiran pantai sudah dipatok beberapa grup usaha dari Jakarta.  Jalan Raya dipagari pohon kering berjajar sepanjang sisinya, kuda-kuda yang merumput dengan bebas, kerbau yang menyeberang jalan dengan santai, itulah yang kami temui sepanjang jalan.

Pantai Cemara

Di pantai Cemara sendiri sudah ada satu penginapan, iseng-iseng ke situlah kami sekaligus makan siang.  Para pegawainya sudah berkostum natal.  Di halaman depan sudah ada pohon natal yang disusun dari botol bir.  Saya dan pak Adi memesan nasi goreng.  Rasanya sih so-so ya, tapi berhubung laper,,,ya lahap.

Penginapan pantai Cemara ini sepertinya banyak diinapi oleh tamu asing. Ya iyalah mengingat nasi goreng harganya Rp 40 ribu se porsi..:), orang Sumba sendiri ngapain makan beginian.


Pantai Cemara memang bersih, landai berair jernih kebiruan dengan pohon-pohon cemara yang teduh membuat 2 anjing bisa tidur bermalas-malasan di atas pasir.
Kelar dari pantai Cemara sudah jam 4 sore, jadi lebih baik kembali ke Waingapu karena jaraknya cukup jauh; dan benar saja sampai di hotel sudah hampir jam 6 sore.  Tadi mampir sebentar ke pelabuhan rakyat Waingapu dan pak Adi janji akan mengantar untuk mencoba makanan laut di pelabuhan itu.

Kamar standar di hotel Elvin bahkan lebih besar dari hotel Sinar Tambolaka.  Jadi selesai mandi saya berbaring-baring sebentar menunggu jam 19.30 untuk ke pelabuhan.  Pak Adi datang menjemput sesuai waktu, jadilah kita ke Pelabuhan Waingapu.

Pengalaman di Jakarta yang namanya pelabuhan pastilah penuh warung remang-remang dipenuhi lagu dangdut lengkap dengan cekikikan para wanita malam, lah di sini malah adem ayem, ada warung-warung makan tapi dipenuhi oleh keluarga atau para karyawan.

Di rumah makan yang bernama "Enjoy" kita memesan ikan kuah asam dan cah kangkung, enak dan saat membayar hanya Rp 55 ribu rupiah sudah dengan minuman, murah yaaa..

RM Enjoy

Selesai makan sempat keliling sebentar.  Tadinya mau ke pengrajin kain tenun, tapi ternyata sudah tutup.  Jadi saya kembali ke hotel toh hari juga sudah larut.  Janjian dengan pak Adi akan menjemput jam 8 pagi esok hari.

Bersambung...





1 komentar:

Baktiar77 mengatakan...

Hahaha.. satu kali tulisan lengkap seluruh lokasi dalam satu kali penjelajahan.. banyak yang kamu aku komentarin tapi bingung mau yang mana.. btw itu kenapa orang suka duduk di bahu jalan karena memang suhunya lebih hangat cocok kalo pas dingin2.. binatang juga suka tiduran di jalan makanya harus hati-hati, berapa kali nyaris nabrak binatang yang tiduran begitu..