25 Desember 2015

Di Pangkuan Bumi Sumba


Sumba,

Apa yang harus saya katakan tentang pulau ini selain paduan antara kerasnya alam dan keindahan khas Indonesia timur.

Saya ingat betul laporan Ekspedisi Jejak Peradaban NTT -nya Kompas tahun 2010, betapa ngenes nasib propinsi NTT dimana pulau Sumba berada. Infrastruktur yang minim, Indeks Pembangunan Manusia yang nyaris terendah, susah air dan segala cerita sedih tentang daerah ini sampai NTT diplesetkan menjadi Nasib Tak Tentu atau Nanti Tuhan Tolong. 

Sekarang, menjelang akhir tahun 2015; kurun waktu lima tahun sejak laporan itu dipublikasikan akhirnya saya menapakkan kaki di salah satu sudut NTT, Sumba.  Banyak sudah orang yang mengabarkan keindahan Sumba, namun kisah dari Kompas selalu teringat, mengungkit keinginan untuk mengintip kondisi pulau itu kini.

Kerasnya alam langsung terasa saat menginjak bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya untuk pertama kalinya, panas menyengat.  Bandara itu sepi.  Saya yang pergi sendirian langsung merasakan keheningan saat mesin pesawat ATR dimatikan.  Tersaruk-saruk melangkah sambil mencoba menghapus kantuk akibat harus bangun dini hari demi mengejar penerbangan pertama ke Bali, transit sebelum menuju Tambolaka.


Saya lirik ponsel, XL sudah wafat, tinggal sinyal Telkomsel yang berjaya.  Segera saya menghubungi hotel untuk mengecek mobil jemputan.  Ternyata mereka sedang kebingungan karena hanya punya nomor XL saya yang tentu saja langsung masuk voice mail saat dihubungi.


 Di luar bandara terlihat orang-orang yang sedang menunggu tamu atau kerabat.  Ada juga yang menawarkan antaran ke tempat tujuan dengan mobil atau ojek.  Beberapa di antara mereka menyapa dengan ramah.  Salah satu tukang Ojek, Jon namanya sempat mengobrol sebentar.  Ternyata jasa ojek dari Bandara ke hotel Sinar Tambolaka, hotel saya hanya sebesar 20 ribu rupiah.  O ya, jangan percaya jika ada yang bilang jika keluar bandara kita akan diserbu oleh para tukang ojek.  Tidak ada hal kayak gitu, mereka menawarkan jasa dengan sopan dan ramah.


Tak berapa lama, saat sedang mengobrol dengan Jon, datanglah mobil jemputan saya.  Supirnya memperkenalkan diri, namanya Adi.  Berperawakan kurus tinggi, masih muda dengan raut wajah khas Timor.  Terkesan pendiam dan angker namun ternyata tenang dan sabar.  Pak Adi inilah yang nantinya menemani saya kemana-mana selama di Sumba.  O ya saya memang sendirian pergi ke Sumba.  Di Jakarta kemarin teman-teman sudah bertanya-tanya amankah perempuan melancong sendiri ke daerah timur Indonesia?  Sejauh ini saya sih baik-baik saja


Mobil segera melaju meninggalkan bandara.  Segera terlihat alam Sumba yang berwarna coklat.  Walaupun sudah memasuki musim hujan, bukan berarti Sumba diguyur hujan tiap hari.  Dan di sini untuk mendapatkan air tanah juga tidak mudah. Butuh biaya yang tidak sedikit apabila ingin menggali sumur pompa macam di Jawa.  Paling tidak harus 70 meter dalamnya untuk mendapatkan air bersih dan dengan biaya sekitar Rp 1 juta per meter menurut pak Adi.

Sumba Barat Daya merupakan wilayah hasil pemekaran dengan ibu kota Waikabubak.  Butuh waktu 1 jam untuk mencapainya dari Tambolaka.

Jarak hotel dengan bandara tidak terlalu jauh, hanya sekitar 10-15 menit dengan mobil.  Hotel Sinar Tambolaka tempat saya menginap banyak direkomendasikan oleh para pelancong.  Sebenarnya bentuk hotelnya biasa saja, harga kamar cukup terjangkau.  Kamar standardnya lumayan besar apalagi untuk saya yang seorang diri.  Berhubung bukan orang yang risau dengan kamar, saya mengambil kamar standard, dengan kipas angin tanpa TV, toh saya seharian akan di luar terus.

Setelah tergesa-gesa mandi dan berganti pakaian, saya segera masuk mobil dan meluncur menuju Ratenggaro, kampung adat di tepi laut.  Kampung Ratenggaro di desa Umbu Ngedo, muara sungai Waiha.  Jaraknya ada sekitar 50 km dari Tambolaka.  Jalan utama dari Tambolaka menuju Waikabubak bagus dan mulus.  Namun begitu keluar dari jalan utama itu lain soal.


Pak Adi dengan fasih mengemudikan mobil Panthernya menyusuri jalan-jalan terpencil yang kanan-kirinya tertutup belukar.  Saat tiba di Ratenggaro, suasana terlihat lengang dan memang hanya saya saja yang berkunjung ke sana hari itu.  Hanya ada seorang wanita dan beberapa anak sedang duduk.  Namun tak lama berdatangan anak-anak dan orang-orang dewasa...jualan..hahaha.  Yang perempuan menawarkan selendang, beberapa orang pria menawarkan kalung dari taring hewan begitu pula dengan anak-anak.  Saya segera mengeluarkan sekantung permen loli, cukup ampuh untuk menenangkan mereka sementara.


Yang suka permen bukan cuma anak-anak, seorang nenek yang giginya sudah habis pun bersemangat meminta permen loli.  Memang sempat tidak nyaman dikerubuti untuk membeli dagangan seperti itu, tapi jangan bawa adat metropolitan yang serba tidak sabar ke tanah ini, bercanda saja dengan mereka, pahami mereka juga sama seperti kita, butuh uang untuk makan dan terlebih lagi hormati budaya mereka.

Ratenggaro



Ada buku tamu yang harus diisi dan juga sumbangan sekadarnya.  Setelah itu baru saya berkeliling.  Atap rumah adat yang berupa ilalang itu serupa menara, tinggi sekali.  Mungkin sekitar 10 meter.  Anjing berseliweran begitu pula babi yang dipelihara di bawah rumah.  Seekor kuda berjalan mondar-mandir sambil merumput.  Menarik melihat begitu berharganya hewan-hewan tersebut bagi orang Sumba.


Banyak batu kubur berserakan dan saat mengarahkan pandang ke muara terlihat batu kubur di kejauhan, di pinggir laut.  Saya memotret seorang bapak yang sedang tidur di teras rumah bersama anjingnya.  Saya sempat mengobrol dengan gadis setempat yang bernama Capa.  Ternyata ia pernah bersekolah di Waikabubak. Dari Capa inilah saya membeli sejenis kalung berbentuk taring.


Tak berlama-lama di sana, saya pun segera mengajak pak Adi ke Weekuri di Kodi Utara.  Jalan menuju Weekuri ternyata cukup rumit.  Saat tiba di pertengahan jalan, pak Adi memutuskan putar balik karena kondisi jalan yang meragukan.  Ternyata ada beberapa jalan menuju Weekuri, semuanya berkondisi hampir sama, sepi, sempit dan terpencil.


Dalam perjalanan menuju Weekuri, Ternyata ada pantai bernama Karoso yang terkenal dengan nama Pasar Ikan, walau saat itu saya tidak melihat adanya transaksi ikan.  Pantai ini cukup sepi, walau ada beberapa orang anak yang sedang bermain.  Seorang pria terlihat sedang membetulkan jala ikan.  Airnya jernih dengan ombak tidak begitu besar menyapu pantai yang landai.
Seorang anak muda yang saya jumpai di warung saat berbelanja minuman sebelum pergi ke Weekuri ternyata datang ke pantai ini.  Oya di sepanjang jalan dari Tambolaka tadi jangan harap ketemu minimarket ya...adanya toko kelontong sederhana.

Anak pantai Karoso

Saya sempat mengobrol di pinggir pantai dengan 2 orang pemuda, sebelum masuk kembali ke mobil.  Pak Adi yang tadi langsung menghampiri ke tempat saya mengobrol langsung mengingatkan bahwa mereka tadi habis minum minuman keras, jadi agar berhati-hati.  Rupanya ia langsung was-was melihat kedua orang tadi.

Kami segera menuju Weekuri.  Jalur yang panas dan lengang dengan kanan kiri ditumbuhi belukar lebat rupanya memang menjadi jalan ke Weekuri.  Setelah beberapa lama, akhirnya tiba juga di suatu tempat, tidak begitu luas dengan beberapa mobil terparkir.  Saya sempat membaca tulisan di body samping mobil, ternyata dari rumah sakit di Waingapu.

Danau Weekuri

Seperti di Ratenggaro, ada buku tamu yang harus diisi dengan sumbangan serelanya dan setelah itu baru melangkah ke arah danau.  Seperti yang pernah diposting para pejalan sebelumnya danau Weekuri ini benar-benar indah.  Airnya yang bening biru kehijauan beralaskan pasir putih dan  dikelilingi karang-karang.  Ada beberapa orang yang sedang berenang-renang santai di tengah danau.  Lamat-lamat terdengar debur ombak yang berasal dari balik karang.

Ya, danau Weekuri adalah danau air asin.  Ada celah yang menghubungi danau dengan laut.  Sayang pas saya di sana air danau sedang surut sehingga terlihat dangkal.  Dipandu pak Adi saya berjalan menuju sisi lain danau yang ternyata adalah tebing yang langsung menghadap laut.  Saya agak ngeri melalui karang-karang tajam yang bertonjolan sana-sini, tergelincir sedikit pasti langsung tertusuk.

Walau sedang ngetop di kalangan pelancong, menurut pak Adi ternyata keberadaan danau ini sendiri belum banyak diketahui oleh warga Sumba kebanyakan, dengan letaknya yang jauh terpencil pantas hanya ada beberapa orang saja saat itu.  Petunjuk arah pun tidak ada.


Puas memotret saya segera kembali ke hotel.  Sepanjang jalan saya banyak berbincang dengan pak Adi tentang kehidupan di Sumba.   Air bersih masih menjadi masalah besar di sini.  Musim penghujan hanya sedikit menyederhanakan masalah, itu pun tidak lama.  Dengan pendapatan per kapita masyarakat yang rendah banyak yang tidak mampu mengeluarkan dana untuk menggali sumur pompa.  Kebanyakan warga masih harus menempuh perjalanan melelahkan tiap pagi dan sore untuk mendapatkan air di sungai atau mata air.

Seperti yang saya saksikan sore itu.  Para ibu dan gadis remaja berjalan memanggul jerigen untuk mendapatkan air bersih.

Di sepanjang jalan kerap terlihat pick up atau truk yang mengangkut warga selain bis mini yang dipenuhi penumpang sampai di atap.   Di depan mobil kami ada truk kecil yang dipenuhi para lelaki yang nampaknya baru pulang dari pesta adat.


Tentang sekolah, sudah cukup banyak SD negeri di Sumba namun kebanyakan SD tersebut berada di pinggir jalan, sedangkan rumah warga kadang berada jauh di dalam atau di balik bukit.  Tapi mungkin ada pertimbangan sendiri kenapa sekolah banyak di pinggir jalan.

Karena senja sudah dipandangan mata, niat ke kampung Tarung ditunda besok pagi.  Jadi kami kembali ke hotel.  Setelah makan malam saya dengan mudah tertidur.  Besok saya akan ke Sumba Timur.

Bersambung.






1 komentar:

Supomo Hanasti mengatakan...

Halo Kak Gemala Putri, mohon ijin untuk copy gambar bandara tambolaka ya kak karena saya tidak punya stok foto pribadi untuk bandara itu, di bawah gambar saya cantumkan sumber gambarnya kok kak. Jika berkenan bisa dilihat di tulisenwae.blogspot.com
Makasih