02 Januari 2016

Hari Terakhir: Bocah di Bondo Kapumbu

Pagi ini, hari terakhir di Sumba sebelum besok terbang kembali ke Jakarta.  Saya bangun dengan santai, berniat tidak terburu-buru mengingat hanya akan bermain-main di sekitar Weetabula saja.  

Sarapan dengan santai seperti biasa.  Hotel terlihat lebih ramai, karena menurut pak Adi semalam tamu-tamu mulai berdatangan karena masa liburan telah tiba.  Saya sempat bertegur sapa dengan penghuni di kamar sebelah, dua orang bapak asal Kupang.  Mayoritas penghuni di deretan koridor kamar saya adalah laki-laki...hehehh.. Yang perempuan biasanya di blok lain dan bareng suami atau pacar, itu pun jarang....:)

Semalam saya sudah ber-sms dengan Jon, tukang ojek yang saya temui di bandara saat tiba di Tambolaka waktu itu untuk mengantar ke pelabuhan Waikelo pagi ini.  Namun statusnya masih menggantung, saat saya setuju dengan harganya, sms saya malah tak dibalas.  Jadi saya putuskan untuk mencari tukang ojek lain.

Saya cukup berdiri di pinggir jalan depan hotel, tak berapa lama seorang pengendara motor berhenti dan menghampiri.  Segera kami terlibat dalam tawar-menawar.  Setelah sepakat saya pun segera mbonceng di belakangnya.  Oya di sini pengendara motor tidak kenal helm dan alat pengaman dalam berkendara, jadi pastikan mengenakan jaket bertudung agar kulit tidak makin eksotis dan sasakan rambut tetap dalam bentuk semula..:).  Kalo soal masker sih, rasanya jalanan di daerah Sumba sih lengang banget, Jakarta pas lebaran aja kalah lengang, jadi paru-paru kalian masih tetap aman.

Pantai sekitar Waikelo
Pelabuhan Waikelo berjarak kurang lebih 9 km dari hotel.  Ada apa di sana, wis embuhlah...yang penting bisa mengobrol dengan orang setempat, yang penting perjalanannya. 
Melewati kebun dan ladang di jalur yang sepi seperti biasa, pak Frans demikian pak ojek ini memperkenalkan diri menjalankan motornya dengan santai, sesekali menyapa orang yang kebetulan berjalan di jalur ini.

Pak Frans ini ternyata karyawan bandara, petugas salah satu airline jadi bukan tukang ojek betulan.  Jadi cuma iseng, itung-itung buat tambah penghasilan.

Di pelabuhan Waikelo
Kami menuju pelabuhan Waikelo yang baru.  Menurut yang saya baca pelabuhan baru ini justru sedang tidak beroperasi gara-gara dermaga yang ambrol beberapa waktu yang lalu.  Saat tiba di sana, pelabuhan terlihat sepi, hanya ada seorang pemancing yang sibuk melepaskan ikan tangkapan dari kail.  


Jika terbiasa melihat air laut di sekitar pelabuhan yang hitam yang berminyak dan berbau amis, tidak demikian dengan pelabuhan Waikelo ini.  Air lautnya  bening, sehingga nampak bebatuan di bawahnya, terlihat pula ikan-ikan berwarna belang kuning dan hitam berenang-renang santai.  Tidak tercium bau amis khas pelabuhan.

Di sekitar pantai terlihat seorang laki-laki berjalan di sela-sela batu diikuti oleh seekor anjing.  Beberapa perahu penangkap ikan berlalu lalang.  Dermaga yang ambruk sudah diperbaiki.  Saat ini pelabuhan Waikelo lama yang dioperasikan kembali.   Pelabuhan lama itu terlihat jelas dari tempat saya berdiri. Tapi suasana sepi tidak juga beranjak jadi ramai.

Pelabuhan lama
Puas memotret dan kenyang bengong, saya melirik jam tangan, ternyata sudah pukul 9 saatnya kembali ke hotel sebelum hari semakin memanas, inget loh kali ini saya ngojek, ndak ada pak Adi yang setia menemani selama tiga hari lalu...jieeee!

Sore nanti saya akan ke pantai Mananga Aba.  Saya malas baca review tentang pantai ini, apa yang ada di sana, ya diterima saja.  Yang aneh, pak Frans malah rikuh saat ditanya tentang biaya antar ke Mananga Aba pulang pergi  "Terserah mbaknya saja" katanya...Lah, bingung sayanya.  Akhirnya saya putuskan dibicarakan saat selesai bepergian nanti.  Lalu saya kembali ke hotel diantar pak Frans.

Sampai hotel, barulah iseng cari destinasi lain seputar Weetabula.  Ditemukanlah nama kampung Bondo Kapumbu, sekitar 13 km dari Weetabula.  Segera saya sms pak Frans, ternyata beliau mengenal baik kampung itu dan mau mengantarkan ke sana, pucuk dicinta ulam tiba.

Akhirnya beres urusan-urusan destinasi.  Sesiangan ini saya pakai untuk malas-malasan, rapi-rapiin pakaian dan main-main sedikit di lembah yang ada tepat di bawah hotel menunggu pukul 3 sore.
Pukul 3 sore lebih sedikit, pak Frans sms sudah menunggu di depan hotel langsung saja saya pakai lipstik..sepatu dan bergegas keluar.

Kita menuju kampung Bondo Kapumbu dulu yang ternyata melewati jalan arah Mananga Aba.  Baru tahu ternyata pak Frans masih berkerabat dengan penghuni kampung Bondo Kapumbu dan selalu ke tempat itu jika ada upacara adat, kebetulan yang menyenangkan.

Kampung Bondo Kapumbu

Kampung Bondo Kapumbu sendiri berada di daerah Loura, suku yang menghuninya adalah suku Natartana kalau tidak salah.  Suku ini merupakan satu dari 12 suku yang berpengaruh di daerah Loura, desa Karuni.  
Setelah beberapa lama membonceng motor, akhirnya tiba di suatu tanjakan di kanan jalan.  Itulah jalan menuju kampung.  Sebenarnya jarak naiknya tidak terlalu jauh tapi jalannya benar-benar jelek.  Saat motor digeber menaiki tanjakan, saya terbanting-banting di belakang dan ngeri jika terpelanting.

Pemandangan khas rumah adat Sumba segera terpampang setelah tanjakan.  Sepasang pria dan wanita menyapa dari rumah panggung, dibalas dengan akrab oleh pak Frans.  Motor segera diparkir dan saya diajak menuju rumah yang lain untuk mengisi buku tamu.  Lagi-lagi cuma saya sendiri tamunya.  Saya melihat sekilas data kunjungan terakhir sebelum saya, ternyata sudah sebulan yang lalu.

Lalu saya duduk ditemani tiga pria yang dua diantaranya adalah penghuni kampung.  Saya tolah-toleh...mana perempuannya? Ada 3 anak kecil ikut bergabung, spontan ingat jika membawa sebungkus permen dan langsung saya keluarkan dari ransel.  Seperti layaknya anak-anak dimana saja, lihat permen pasti langsung berbinar matanya.

Seperti biasa saya disuguhi sirih pinang sambil mengobrol.  Ketiga bapak itu langsung asyik bersirih.  Kalau tidak menyirih tidak enak begitu kata mereka begitu pula dengan rokok. Tampaknya adat Marapu di kampung ini tidak serumit kampung adat lain di Sumba Timur atau Sumba Barat.  Hiasan rumah terlihat sederhana; tidak terlihat tanduk kerbau yang dijadikan pijakan kaki.  Namun susunan fungsi rumah tetap sama; kolong rumah untuk hewan seperti babi, di atasnya teras lalu di atasnya lagi adalah tempat tinggal, paling atas adalah tempat menaruh bahan makanan.

Halo Beib...
Begitu pun dengan upacara pemakaman, orang Bondo Kapumbu mensyaratkan tujuh hari maksimal jenazah sudah harus dikubur. Di pelataran depan tampak kubur batu berderet-deret, penuh sehingga jika ada yang meninggal lagi harus dikubur di tempat lain.
Sejalan dengan pemakaman, pendirian rumah pun maksimal harus tujuh hari tidak boleh lebih.  Dalam membangun rumah lebih dulu harus mencari kayu untuk 4 tiang utama.  Tanpa itu rumah tidak boleh berdiri.

Saat mengobrol saya menarik sesuatu dari saku belakang celana, ternyata menyebabkan uang 10 ribuan lusuh juga ikut terlempar keluar.   Ya sudah daripada dimasukkan kembali ke saku celana,  lebih baik diberikan ke anak-anak itu.  Langsung dipakai jajan..:)


Sang pemilik rumah mengajak masuk ke dalam dan mempersilakan untuk foto.  Namun ada tempat yang tidak boleh didekati apalagi dimasuki oleh perempuan. terletak di sebelah kanan jika kita memasuki rumah.  Itu tempat dimana taring-taring babi digantung.


Memang agak ganjil melangkah di atas lantai yang terdiri dari deretan bambu yang diikat, mata masih melirik ke bawah takut tersangkut atau kejeblos.  Atap tinggi yang terdiri dari anyaman alang-alang membuat hawa rumah terasa sejuk.  Listrik sudah masuk ke kampung ini.
Puas melihat-lihat, akhirnya saya keluar dan minta ijin memotret di luar, sambil ditemani oleh sesepuh kampung saya pun berkeliling.  Ada tempat-tempat yang tidak boleh dipotret seperti satu rumah di belakang rumah tempat saya bertamu.  


Ada dua perempuan yang sedang duduk dengan rambut terurai, nampaknya asyik mengobrol, tidak tertarik untuk bergabung dengan saya.  Lalu ada seorang nenek menggendong cucunya yang ternyata lumpuh.  Sang nenek dengan lugas minta difoto lalu minta uang untuk berobat cucunya.  Saya mengelus-elus tangan bocah itu, tak ada reaksi sama sekali, tetap terkulai lesu.  Usianya sudah 5 tahun namun terlihat seperti anak 2 tahun.  Saya selipkan uang, terserah untuk apa hanya itu yang bisa saya lakukan.



Anak-anak kecil yang menyertai saya berebut minta difoto, dengan senang hati saya memenuhi permintaan mereka.  Sambil tertawa-tawa mereka kerap menongolkan wajah setiap kamera dibidikkan ke salah satu obyek.  Sekolah mereka ternyata cukup jauh dan mereka selalu dibonceng naik motor menuju sekolah.



Tanpa terasa hari makin sore, teringat harus ke pantai Mananga Aba maka saya langsung mengajak pak Frans berpamitan.  Sambil tertawa-tawa, saya melambaikan tangan pada bocah-bocah itu disambut dengan leletan lidah dan lambaian riuh rendah.  Motor menuruni jalan dan lagi-lagi hampir terjengkang kali ini karena turunan tajam berbatu.

Dari kampung memang belokan arah Mananga Aba tidak jauh, namun dari belokan menuju titik pantai ternyata masih jauh,,,,kecele.  Lagi-lagi melewati kebun dan ladang.  Terlihat beberapa tangki penyimpanan air dikerumuni para ibu yang sedang mencuci.  Cukup banyak juga tangkinya.
Menjelang pantai ada bangunan-bangunan yang sedang dikerjakan, sepertinya ini untuk resort deh.


Sampai di pantai ada satu bangunan hotel, Oh ini yang namanya Mario's Hotel.  Pantai Mananga Aba sendiri memang belum digarap serius, cenderung dibiarkan begitu saja.  Terlihat sisa sampah pengunjung berserakan walaupun pantainya berair jernih.  Beberapa botol bir terlihat digeletakkan begitu saja. 

Pantai Mananga Aba



Beberapa orang terlihat sedang main air di kejauhan.  Sudah segitu aja orangnya..:)  Saat sedang memotret ternyata pak Frans minta difoto dari ponselnya, untuk dimasukkan ke FB katanya.  Jadi saya memotret beliau sedang bergaya di pantai dengan kacamata hitam...hahah




Saya tidak ingin menunggu hari gelap karena seberani apa pun saya tetap perempuan, di tempat asing terpencil mbonceng ojek sendirian gelap-gelap sepertinya rada gimana gitu.  Kalau hari terang mah santai aja.

Jadi saya ajak pak Frans kembali ke hotel.  Perjalanan pulang sendiri cukup menyenangkan, motor berjalan lebih santai sehingga punya kesempatan untuk melihat-lihat.  Terpetakan kegigihan rakyat Sumba menghadapi alam yang keras dan kering.

Sumba memang sepi, panas, fasilitas juga terbatas,  Jika mau nyaman ke Bali saja.  Tapi kondisi itu tidak dapat mencegah pelancong seperti saya untuk jatuh cinta pada tanah ini dalam satu kunjungan singkat.  Saya memang masih tergagap-gagap dalam berinteraksi dengan penduduk setempat, mudah-mudahan mereka memahami kegugupan saya yang memberanikan diri untuk datang seorang diri sekadar bertamu ke rumah mereka.








1 komentar:

MRS KABU LAYU mengatakan...

Halo, semuanya, tolong, saya dengan cepat ingin menggunakan media ini untuk membagikan kesaksian saya tentang bagaimana Tuhan mengarahkan saya kepada pemberi pinjaman yang benar-benar mengubah hidup saya dari kemiskinan menjadi wanita kaya dan sekarang saya memiliki kehidupan yang sehat tanpa stres dan kesulitan keuangan,

Setelah berbulan-bulan mencoba mendapatkan pinjaman di internet dan saya telah ditipu dari 400 juta, saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman dari kreditor online yang sah dalam kredit dan tidak akan menambah rasa sakit saya, jadi saya memutuskan untuk meminta saran kepada teman saya tentang bagaimana cara mendapatkan pinjaman online, kami membicarakannya dan kesimpulannya adalah tentang seorang wanita bernama Mrs. Maria yang adalah CEO Maria Loan. Perusahaan

Saya mengajukan sejumlah pinjaman (900 juta) dengan suku bunga rendah 2%, sehingga pinjaman yang disetujui mudah tanpa stres dan semua persiapan dilakukan dengan transfer kredit, karena fakta bahwa tidak memerlukan jaminan untuk transfer. pinjaman, saya hanya diminta untuk mendapatkan sertifikat perjanjian lisensi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari dua jam uang pinjaman telah disetorkan ke rekening bank saya.

Saya pikir itu lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya telah dikreditkan dengan jumlah 900 juta. Saya sangat senang bahwa akhirnya Tuhan menjawab doa saya dengan memerintahkan pemberi pinjaman saya dengan kredit saya yang sebenarnya, yang dapat memberikan hati saya harapan.

Terima kasih banyak kepada Ibu Maria karena telah membuat hidup saya adil, jadi saya menyarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Ibu Maria dengan baik melalui E-mail (mariaalexander818@gmail.com) ATAU Via Whatsapp (+1 651-243 -8090) untuk informasi lebih lanjut tentang cara mendapatkan pinjaman Anda,

Jadi, terima kasih banyak telah meluangkan waktu Anda untuk membaca tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda. Nama saya adalah kabu layu, Anda dapat menghubungi saya untuk referensi lebih lanjut melalui email saya: (kabulayu18@gmail.com)
Terima kasih semua.