26 Juni 2015

Ekspedisi Cengkeh, Merekam Tawa dan Tangis Para Petani dari Timur

Cengkeh, Pala, Kapur Barus, Lada

Terasa kurang afdol penyebutan negeri rempah, jalur rempah tanpa menoleh terhadap keempat komoditi itu.

Identitas ke-Indonesiaan tak lepas dari peranan keempatnya.  Nama wilayah diangkat dalam peta, perjanjian dagang dibuat, monopoli dilakukan, kolonialisme, sampai kisah berlumur darah pun terjadi akibat sihir rempah yang membius bangsa-bangsa dari utara agar berdatangan ke selatan.

Dan dari semua rempah,  cengkeh termasuk rempah yang paling kokoh eksistensinya sampai masa kini.  Fungsinya sebagai pengawet, penyedap dan obat tidak banyak berubah walau mungkin tidak secemerlang dulu kala dunia masih belum mengenal teknologi lemari pendingin.

Dunia selatan yang teduh berubah saat sekelompok orang-orang berhidung mancung dan bermata biru dengan keserakahannya mengenalkan nilai komersial tanaman di kebun para petani lokal.  Seiring dengan kesadaran itu ketenangan pun terkoyak, tatanan nilai berubah.

Sebuah kongsi dagang bernama VOC mulai mengambil alih perniagaan cengkeh.  Dengan wewenang penuh dari negaranya Belanda, mereka mulai membuat perjanjian dengan para penguasa. Cengkeraman pertama adalah Banten, lalu bergeser ke Ambon, Maluku.  Bahkan mereka berani mengusik para pedagang mancanegara yang selama ini bebas bertransaksi dengan penduduk setempat.

Maluku, adalah gudang cengkeh pada masa itu.
Tanaman cengkeh berkembang sebagai tanaman endemik asli pulau tersebut.  Di sanalah VOC menjalankan Hongi Tochten, sebuah sistem pengawasan teroganisir dengan mengunakan armada perahu-perahu kecil yang berpatroli mengawasi tanaman cengkeh. Jangan sampai cengkeh ditanam di luar wilayah yang ditetapkan VOC.  Armada hongi tersebut berkeliling sekaligus memusnahkan tanaman cengkeh yang berada di Ternate, Tidore, Moti dan Makian.  Cengkeh harus dilokalisir agar hanya ditanam di Ambon dan Lease.  Politik dagang yang akhirnya melahirkan pahlawan-pahlawan dari tanah Timur seperti Nuku dan Baabullah dan memicu perlawanan rakyat negeri.

Kisah cengkeh di negeri ini pun berlanjut, lepas dari monopoli kompeni cengkeh telah menjadi tanaman umum.  Di Zanzibar, bekas jajahan Perancis, cengkeh berhasil dikembangkan.  Tapi ia belum tamat, khasiat cengkeh lainnya pun ditemukan oleh seorang haji dari Kudus, Djamari namanya.  Tidak main-main ia menemukan khasiat cengkeh bila dicampur dengan tembakau dan dilinting menjadi rokok.  Campuran ini meredakan sakit dadanya dan dikenal kemudian sebagai rokok kretek.  Cengkeh pun kembali bersinar.  Para petani cengkeh menikmati harga yang bagus, kesejahteraan meningkat.

Tak pelak cengkeh kembali mengundang monopoli dalam bentuk lain dan bukan lagi dilakukan oleh bangsa asing melainkan bangsa sendiri.  Monopoli berkedok pengelolaan tata niaga cengkeh yang digagas oleh Tommy Soeharto bernama Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh di tahun 1992 yang dilegalkan melalui Keppres No. 20/1992

Selanjutnya yang kemudian dikenang adalah kiamat bagi para petani.  Harga cengkeh terjun bebas hanya Rp 2.500/kg.  BPPC hanya menjadi benalu yang hidup dari iuran anggotanya.  Berkarung-karung cengkeh teronggok begitu saja di KUD, tak bisa dijual karena petani tidak bisa menjual kepada pihak lain selain KUD yang ditunjuk.  Para petani dianjurkan untuk membakar cengkehnya dengan tujuan agar harga naik, usulan tolol.  Tapi begitulah yang terjadi.

Di Sulawesi, La Baratang meradang.  Petani cengkeh asal kabupaten Luwu itu memprotes kebijakan sepihak penguasa.  Tidak cukup dengan protes, ia nekat membuntungi tangannya sebelah.   Para petani di Maluku dan Sulawesi ramai-ramai meninggalkan kebun cengkehnya dan beralih ke tanaman lain atau memiih pekerjaan lain.

Di Kompang, desa berbukit yang jauhnya 200 km dari Makasar, Pak Hode berusaha mencegah tetangganya menebang pohon-pohon cengkeh akibat anjloknya harga cengkeh yang ditetapkan oleh BPPC.
"Jangan kalian tebang.  Justru tanam lebih banyak.  Nanti suatu saat Soeharto akan mati. Yakin saja cengkeh yang kalian tanam harganya akan bagus lagi."

Ada yang mencoba menanam pohon coklat sesuai anjuran pemerintah, namun ternyata tanaman ini susah berkembang walaupun segala macam perawatan telah dilakukan.

Setelah BPPC bubar dan meninggalkan hutang milyaran rupiah berupa pinjaman bank dan juga hak petani atas hasil penjualan;  harga cengkeh perlahan membaik, para petani pun mulai bisa bernapas lega.  Kali ini mereka bebas menjual ke mana pun yang memberikan harga terbaik.  Kisah pahit dengan BPPC baiklah dijadikan masa lalu.

Di wilayah Maluku terdapat empat jenis cengkeh yang ditanam warga.  Cengkeh Tuni (cengkeh endemik), cengkeh Paku, cengkeh Hutan dan cengkeh Raja.  Paling mahal adalah cengkeh Tuni.   Sementara di wilayah lain seperti pulau Haruku terdapat cengkeh Zanzibar yang kualitasnya setingkat dengan cengkeh Tuni. 

Seakan tiada habis berkah dari cengkeh.  Saat panen pun rejeki yang ditebarkan bukan hanya kepada para petani pemilik kebun tapi juga para pemetik yang kebanyakan berasal dari daerah lain.  Satu pohon cengkeh muda bisa menghasilkan panen sekitar 10 liter sedang yang tua lebih dahsyat lagi, bisa mencapai 70-80 kg dengan jumlah pekerja biasanya lebih dari 4 orang menaiki 1 pohon cengkeh.  Hitung saja bila satu orang petani memiliki sedikitnya 100 pohon cengkeh di suatu desa.  Berapa puluh tenaga kerja yang dibutuhkan saat panen raya.  Cengkeh-cengkeh tersebut harus segera dipetik tidak boleh dibiarkan lama.   Proses pengeringan cengkeh pun memakan waktu.  Cengkeh-cengkeh kering telah ditunggu oleh para perwakilan pabrik kretek

Satu orang pekerja yang berpengalaman bisa menghasilkan petikan 50 liter sehari dan untuk satu liter mereka dibayar Rp 3.500 - 4.000.
Cengkeh-cengkeh yang berjatuhan di kebun pun merupakan rejeki tersendiri bagi para ibu rumah tangga dan lansia,  Mereka biasanya memunguti cengkeh-cengkeh yang berjatuhan dengan seijin pemilik kebun.  Setelah panen beres dan uang penjualan sudah didapat, giliran para pedagang menangguk rejeki.  Sandang, pangan dan barang-barang elektronik bahkan kendaraan bermotor dibeli dengan tunai.  Dari urusan rumah tangga sampai pendidikan dan ibadah haji diselesaikan melalui panen cengkeh.  Cengkeh pun dijadikan tabungan, dikeluarkan sedikit demi sedikit bila ada kebutuhan mendesak.  Bayangkan perputaran rupiah yang terjadi akibat cengkeh.

Aktivitas yang berlangsung selama panen cengkeh bukan sekedar kegiatan ekonomi, menghasilkan uang tapi juga persaudaraan yang terjalin antara pemilik kebun dan para pemetik cengkeh.

Di Sulawesi istilah bacude atau mematahkan cengkeh dari batangnya dikerjakan beramai-ramai antara para pekerja dan kerabat pemilik kebun di rumahnya.  Demikian pula di Maluku yang dikenal istilah bapatah.  Selama kegiatan memetik, bacude atau bapatah makan, minum sampai tempat tinggal disediakan oleh sang juragan.

Cengkeh pun melahirkan tradisi Papaja di Bulukumba, Sulawesi Selatan yang merujuk pada orang yang menawar harga cengkeh petani langsung dari pohonnya.  Jadi pohon cengkeh itu sudah dibooking sebelum panen.  Papaja kawakan bisa saja menaksir bukan cuma pohon tapi lahan cengkeh.  Saat panen, masalah tenaga kerja pemetikan dan tetek bengeknya menjadi urusan Papaja

Buku Ekspedisi Cengkeh yang ditulis oleh Puthut EA dan team menyajikan keajaiban cengkeh bagi kehidupan masyarakat sekitar.  Bagi masyarakat di wilayah Timur seperti Sulawesi dan Maluku, cengkeh adalah dimensi kehidupan.  Bukan hanya sekedar rempah  tapi juga urusan hidup dan mati.  Bagi pemerintah cengkeh adalah bahan utama yang menghasilkan sumber pendapatan pajak terbesar tapi cukup sampai di situ saja.

Tidak ada penelitian khusus mengenai cengkeh dari instansi pemerintah.  Bibit cengkeh yang ditanam murni hasil percobaan mandiri para petani.  Begitu pula dalam pembuatan kebijakan, pemerintah membiarkan saja nasib para petani cengkeh bertarung menghadapi pelbagai macam kendala.

Kita berutang banyak pada cengkeh dan juga nasib ribuan petani yang menggantungkan hidupnya pada tanaman ini.  Buku Ekspedisi mengingatkan kembali hutang yang kian mendesak untuk dibayar demi masa depan para petani cengkeh pada khususnya dan juga bagi Indonesia.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terimakasih telah mengulas buku EKSPEDISI CENGKEH. Rehal buku ikut ditaut-lansir di: http://blog.insist.or.id/insistpress/id/arsip/9269