18 Juni 2015

Mengintip Masa Lalu - BARUS

Panas dan lembab menyergap kami bertiga saat menuruni tangga pesawat berbaling-baling yang baru saja mendarat mulus di bandara Frederick Lumban Tobing, Sibolga.  Bandaranya kecil saja dengan tempat pengambilan bagasi berupa jendela, di tengahnya ada besi yang terjulur untuk meluncurkan bagasi.

Ada apa dengan Sibolga? Tidak ada apa-apa.  Tapi ada sesuatu dengan kota setelahnya yaitu Barus yang membuat saya, mas Danny sebagai fotografer dan Tiknyo Bolang sebagai videografer menuju ke sana.  Keterlambatan jadwal connecting flight membuat kami harus bergegas mengingat perjalanan yang masih panjang.  



BARUS....kota dengan masa silam mendebarkan yang memancing keingintahuan bukan hanya dari para sejarawan dan arkeolog, tapi juga dari para awam seperti kami.  Minimnya informasi tentang Barus membuat kami harus berburu buku-buku terbitan lama, laporan ekspedisinya Kompas dan juga video liputan tentang Barus.  Bahkan kami sampai menyambangi balai penelitian botani di Bogor bertemu dengan Profesor Tukirin (ekologi) dan Ibu Ninik dari bidang etno botani sekaligus membongkar perpustakaan di museum Etno Botani Bogor untuk sekedar mendapat informasi yang terverifikasi tentang status kapur barus dalam hierarki rempah.  Yang sampai sekarang pun para ahli botani masih memperdebatkan...#puyeng.
Memasuki kecamatan Barus

"Barus termasuk dalam golongan kota-kota kuno yang terkenal di seluruh Asia sejak sekurang-kurangnya abad ke 6 M, berkat hasil hutannya terutama kamper dan kemenyan.  Selain itu nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekah.  Usaha untuk memecahkan rahasia sejarah Barus sudah dilakukan sejak hampir satu setengah abad yang lalu khususnya dalam bidang epigrafi dan pembahasan sumber-sumber tertulis". (LOBU TUA SEJARAH AWAL BARUS, Claude Guillot)

Begitulah, Buku itu merupakan laporan penggalian situs Lobu Tua yang dilakukan oleh team arkeolog gabungan antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Ecole Francaise d'Extreme-Orient.  Penggalian tersebut dilakukan tahun 1995 sampai 1999.

Terbius dengan buku-buku mengenai Barus dan juga tayangan-tayangan tentang kota kuno tersebut, akhirnya di sinilah kami berada dan masih harus menempuh perjalanan darat lebih dari 70 km untuk mencapai kota itu.

Peringatan awal sudah diberikan, tidak ada apa pun di Barus selain makam kuno dan sisa-sisa pecahan keramik.  Peradaban cemerlang yang tergambar dalam buku-buku tidak bakal ditemukan jejaknya. Repelita Wahyu, arkeolog dari Universitas Sumatera Utara yang saya hubungi melalui WA juga memberikan gambaran yang sama.  Intinya, jangan kecewa.


Kalau di Jawa biasanya musholla di pinggir sawah, di sini gereja di pinggir sawah
Tidak, tentu saja kami tidak akan kecewa.  Perjalanan sebelumnya menyusuri beberapa kota bandar yang dulunya mempunyai fungsi perdagangan penting dan pernah menyandang status sebagai kota kosmopolitan pada masa lalu rasanya membuat kami cukup arif meyikapi kenyataan yang dihadapi.

Barus bagi saya adalah cerminan kecil Indonesia masa lalu, jauh lebih awal dari Sriwijaya. Fungsinya sebagai pintu masuk perdagangan dengan komoditi istimewa pada masa itu, Kapur Barus membuatnya menempati kedudukan istimewa di mata para pedagang dari negeri-negeri atas angin. Claudius Ptolomy menyebutkan kata Barousai dalam Road to Geographia.  Adapun catatan-catatan dari Cina dan Arab menyebutkan  daerah itu dengan Fansur, Panchour bahkan K'roudayi.

Barus memang tak bisa lepas dari kapur.  Jenis tanaman endemik yang mengeluarkan resin dan minyak.  Resin atau getah itu membeku dan disebut kapur barus atau kamper. Kamper inilah yang menempati posisi penting dalam dunia pengobatan dan pengawetan makanan.  Para dokter berkebangsaan Arab menulis resep-resep penyembuhan dengan menyertakan kapur barus.  Jauh sebelumnya orang Mesir telah menggunakan kamper untuk mengawetkan jenazah.

Pemilik warung menyiapkan warungnya

Kamper atau kapur barus menempati posisi vital dalam kehidupan pada masa itu.  Berkat komoditi langka tersebut nama Barus sebagai penghasil kapur barus kualitas wahid pun terangkat tinggi.
Namun Barus tak cuma sekedar berdagang kamper; Emas juga disebut-sebut sebagai komoditi utamanya begitu juga rempah-rempah mahal lainnua seperti cengkeh dan pala.

Sejarawan JJ Rizal yang menyertai kami kemudian menyebutkan Barus bukan saja sebagai kota perdagangan tapi juga kota tempat berkumpulnya para pemeluk agama yang tersingkir dari tempat asalnya.

SISA-SISA PENINGGALAN - MAKAM MAHLIGAI
Setelah 2 jam lebih diguncang dalam mobil yang shockbreaker-nya mati dan dilengkapi dengan insiden senggolan antar mobil, melewati perbukitan, akhirnya kami memasuki kota Barus.  Kota yang sepi, rumah-rumah berdinding separuh tembok, kadang papan seluruhnya serta beratap seng berselang-seling agak jarang.  Beberapa antena parabola terpasang seakan berusaha menembus keterkucilan yang telah menyelubungi kota ini berpuluh tahun.



Akhirnya kami bertemu jalan kecil menanjak. Itulah makam Mahligai, salah satu dari sedikit peninggalan arkeologi yang tersisa.  Walaupun makam ini berasal dari jaman yang lebih muda, diperkirakan dari abad 13. Di makam ini kami harus menemui Jahirudin Pasaribu, juru pelaksana alias kuncen makam Mahligai sesuai arahan Wahyu


Sang kuncen Mahligai, Jahirudin Pasaribu

Jahirudin Pasaribu sedang menerima beberapa pengunjung sore itu saat kami menghampirinya.  Ia telah belasan tahun menjadi kuncen makam Mahligai.  Dari mulutnya yang selalu mengepulkan asap rokok, mengalir cerita-cerita tentang Barus di masa lalu, saat laut masih berada tepat di bawah bukit makam ini. Ia pun tidak kagok saat dipasangkan microphone mini dan disorot kamera, memang sudah terbiasa menjadi narasumber.  Makam Mahligai merupakan area pemakaman  muslim.  Yang paling dihormati adalah Syech Rukunudin dari Persia, Syech Muazamsyah dan Syech Imam Chotib.  Menurut Jahirudin, para Syech ini adalah juga pedagang.



Beberapa nisan di makam tersebut masih cukup jelas terpahat huruf-huruf arab kuno.  Bentuk nisan tersebut memanjang , berbeda dengan nisan-nisan lain yang juga terdapat dalam makam yang berbentuk bulat, tanpa pahatan, atau pahatannya sudah terhapus.



Kami tidak bisa berlama-lama dalam makam, mengingat matahari telah turun ke barat.  Walau makam tua ini tidaklah menyeramkan tapi bergelap-gelap di dalamnya bukanlah pilihan apalagi kami harus kembali ke hotel di Sibolga. Jadi kami akan kembali ke Barus keesokan pagi.

SAATNYA MAKAM PAPAN TINGGI
Rasanya sudah mulai akrab dengan jalur Sibolga-Barus-Sibolga ini.  Tiga hari ke depan kami akan mondar mandir menempuh jarak kurang lebih 140 km per hari. Sekarang kami menjemput kuncen makam Mahligai, Jahirudin.  Kami sudah siap dengan list target hari ini. Mengambil gambar sebanyak-banyaknya, merekam semua pembicaraan narasumber kami dan mendapatkan pohon kapur barus yang langka itu.

Jalur setapak ke makam Papan Tinggi

Melalui Jahirudin Pasaribu kami dikenalkan dengan Usman Pangaribuan yang menjadi juru pelaksana makam Papan Tinggi dan juga masih kerabatnya.  Untuk menemuinya kami harus berjuang melewati lebih dari 700 anak tangga ke makam Papan Tinggi yang memang berada di atas bukit.  Dan dari sana, setelah  merasakan kepala serasa dikerumuni kunang-kunang dan nyawa serasa mau dicabut akibat terlalu banyak naik tangga, kami bisa memandang lepas ke arah  Samudera Hindia.  
 
Mulai mendaki


Makam ini berada di desa Pananggahan tak jauh dari makam Mahligai.  Kami melewati perkampungan yang mayoritas beragama Nasrani.  Satu-satunya warga muslim di sana adalah keluarga Usman Pangaribuan sendiri.  

Namun tidak ada masalah antara mayoritas dan minoritas di sana.  Seperti istilah Jahirudin, kami sama-sama orang Batak tidak masalah agamanya apa.
Mengambil gambar Usman Pangaribuan di tengah ketinggian sekaligus memperpanjang nafas, masih jauh.

Makam Papan Tinggi ini tidaklah luas, hanya ada 6 nisan.  Salah satunya mempunyai panjang sekitar 7 meter.  "Itulah makam Syech Mahmud dari Yaman" tunjuk Usman.  Keberadaan makam ini sejaman dengan makam Mahligai.  Di dahan pohon yang menaungi makam terikat berbagai macam plastik yang memuat nazar para peziarah.  Menurut Usman, para peziarah pasti balik lagi untuk mencopot ikatan plastik bila nazarnya terkabul.


Ikatan plastik lambang nazar

Saat kami sudah berada di bawah, di warung Ibu Usman, tampak 1 rombongan baru datang. "Caleg itu" kata salah satu pengunjung warung.

Baik Jahirudin maupun Usman Pasaribu mengkonfirmasi status Barus sebagai pusat perdagangan dengan rupa-rupa komoditi termasuk cengkeh dan pala.  Kapur Barus dan juga emas menjadi produk yang cukup eksklusif.  Ketika ditanya tentang bekas pelabuhan, Usman menunjuk daerah kedai Tiga, sedangkan Jahirudin mengajukan pantai Sitiris Tiris.



Sitiris-Tiris adalah pantai sepi yang terletak di sebelah utara, menghadap langsung ke samudera Indonesia.  Abrasi parah melanda daerah ini.  Beberapa pohon kelapa bertumbangan.  Di bawah langit yang gelap disaput mendung kami pun tergesa-gesa menyelesaikan tugas.  Dan hujan pun menderas.


Pantai Sitiris Tiris, terkena abrasi parah

MENGEJAR KAPUR BARUS
Ada titipan lain yang tak kalah penting yang harus didapatkan,,Bibit pohon kapur barus.  Terdengar sepele tapi pohon ini langka.  Kamper atau kapur barus yang telah menggegerkan dunia perdagangan dan bahan maha penting dalam kedokteran Arab pada masa silam berasal dari getah pohon ini.

Sekarang untuk mendapatkan pohon kapur itu kami harus ke desa Siordang, kecamatan Sirandorung.  Di kebun karet milik warga, pohon kapur yang baru berusia lebih dari 20 tahun itu berdiri kokoh.  Batangnya yang berwarna semu coklat kemerahan menjulur lurus ke atas.  Diameter dan tingginya cukup besar untuk membuat satu rumah.  Ya, kayu kamper yang langka ini memang bagus untuk bangunan.


Pohon kapur barus, sepertinya semua stasiun TV selalu ke tempat ini

Hanya ada sekitar 100 pohon kapur dewasa dan semuanya berada di desa Siordang.  Untuk mendapatkan getahnya, pohon kapur harus ditebang itu pun belum tentu getahnya ada.  Dahulu ada yang namanya dukun kapur.  Dukun ini tahu benar mana pohon yang mengandung getah tanpa harus menebang lebih dulu.  Selain getah juga dihasilkan minyak yang dinamakan minyak umbil berkhasiat sebagai minyak gosok. Satu pohon hanya bisa menghasilkan satu kaleng kecil minyak umbil.

Sejak munculnya kapur barus sintetis dan juga berdirinya kerajaan Aceh abad 17 dengan Singkil sebagai pelabuhannya maka kejayaan Barus pun meredup. Kapur barus kini hanya kita kenal sebagai benda pengharum lemari atau kamar mandi berbentuk bulat berwarna putih atau warna-warni.
Di Barus sendiri sudah tidak ada yang mengetahui cara mengambil getah pohon kapur.  Barus dan segala kejayaannya hanya beredar di mulut orang-orang tua. Pohon kapur dibiarkan tumbuh begitu saja.

Seorang laki-laki menghampiri kami saat keluar dari kebun karet, ternyata ia menawarkan bibit tanaman kapur yang tingginya sudah mencapai paha.  Tanpa banyak cingcong kami segera membayar harga untuk 6 bibit tanaman itu. Ia hanya meminta 100 ribu rupiah untuk keenamnya.

Laki-laki itu hanya menggeleng saat ditanyakan jenis tanaman kapur tersebut.  Tentu saja mustahil mengetahui apakah tanaman yang dijualnya adalah kapur dari jenis Dryobalanops Aromatica atau Cinnamomum Camphora. Itu adalah ranahnya ahli botani dan kami akan menanyakannya saat kembali ke Jakarta nanti.

TERJEBAK LONGSOR
Pagi, di hari ketiga di Sibolga sudah dibuka dengan insiden mobil rusak sehingga kami terlambat dari schedule yang telah disepakati.  Menyebalkan, namun apa boleh buat.  Setelah mendapat mobil pengganti, kami segera ngebut menyelesaikan tugas ke Barus.

Baru saja meninggalkan kota Sibolga belum memasuki Sorkam, terlihat mendung tebal.  Ternyata begitu memasuki tanjakan daerah Kolang, hujan turun lebat.  Terlihat air hujan kecoklatan campur lumpur menutupi jalan.  Semula masih bisa dilalui namun pada suatu titik mobil di depan kami berhenti dan ada 4 orang berlari-lari entah dari mana, mungkin dari mobil di depan. Yang perempuan terlihat shock dan menangis.


Beberapa mobil pun putar balik, begitu kami maju terlihat pohon tumbang menutupi jalur.  Akhirnya kami pun memutar balik dan berhenti di tegalan tak jauh dari tempat tadi.  Di situ barulah kami tahu tentang longsor di depan kami dan juga di lokasi belakang kami.  Singkatnya kami terkurung longsor. Ada 5-7 mobil yang ikut terjebak bersama kami.

Sementara hujan masih turun walau tidak begitu deras. Tidak bisa apa-apa selain mengambil gambar dan menunggu sampai longsor diatasi.  Di sana kami menyaksikan masyarakat kampung yang bergotong royong bersama aparat membersihkan jalur yang terputus.  Tak kurang dari 5 jam kami tertahan di daerah Kolang.  Schedule sudah pasti morat-marit tapi siapa yang bisa mengelak dari teguran alam.

Akhirnya lepas Maghrib, barulah jalan ke arah Sibolga bisa dilalui walau harus bergantian. Dengan lega kami mengantri.  Hari ini terasa penuh hikmah, rasa tegang segera hilang, maklum tadi saya bingung mau buang air kecil di mana karena hari sudah gelap dan kiri kanan hutan :) plus teman satu team juga cowok semua, rada repot kalo diajak kompakan buang air kecil..hahahah.

NARASUMBER TAK TERDUGA
Hari ini hari terakhir kami sebelum balik ke Jakarta keesokan harinya.  Gara-gara kejadian longsor kemarin yang membubarkan jadwal kami mau tak mau semua harus selesai hari ini.  Jadilah kami tergesa-gesa kembali ke Barus, menuju rumah tempat semua artefak hasil penggalian di Lobu Tua dalam kurun waktu 1995-1999 disimpan.  Kali ini kami menemui juru pelihara bermarga Hutabarat yang disarankan oleh team arkeolog Medan.


Salah satu rumah kuno


Rumah penyimpanan artefak itu berada di tengah-tengah pasar Barus.  Kami memasuki suatu daerah di mana rumah-rumahnya kebanyakan berarsiktektur Melayu lama, seperti menembus lorong waktu. Pak Hutabarat membawa kami ke sebuah rumah yang ternyata penghuninya adalah pemilik kunci rumah penyimpanan artefak tersebut.  

Akhirnya langkah kami terhenti di sebuah rumah jelek, eternit di terasnya telah berlubang.  Pak Hutabarat segera memasukkan anak kunci. 

Ternyata inilah rumah artefak itu..#NgelusDada




  
Di dalam ruangan yang sempit dan pengap itu terhampar rak-rak berisi wadah-wadah plastik yang berdebu, ditutupi terpal biru.  ribuan pecahan keramik kuno dari Timur tengah dan Cina disimpan di situ.


Ribuan kepingan keramik dari abad 10 dan 11 disimpan di tempat ini

Saya mengambil satu rak, membuka dengan hati-hati, deg-degan mengambil tiap pecahan tembikar keping demi keping, lalu meletakkannya di atas amplas hitam untuk difoto dan mengembalikan lagi sesuai pesan Wahyu supaya tidak ada yang tertukar 
Rak-rak penyimpanan

Demikianlah, dengan bercucuran peluh dan berselimut debu kami memotret beberapa motif keramik kuno tersebut.




Kelar pemotretan kami menyambangi 2 situs pemakaman, makam Tuan Ambar dan Bukit Hasang. Saat iseng kembali ke makam Papan Tinggi itulah, Usman Pangaribuan, juru pelaksana makam menginformasikan seseorang yang pernah ikut dalam penggalian gabungan Arkenas dan EFEO, Perancis.  Di sebuah warung, kami dikenalkan dengan Pak Sihotang.

Beliau akhirnya menunjukkan bekas pelabuhan kuno yang disebut dalam buku Lobu Tua, yaitu pantai Kedai Tiga.  Sebuah pantai yang tak terlalu ramai tak jauh dari Aek Daka.  Ia mengajak kami ke bekas perkampungan yang disebut Kota Guguk dan Koto Bariang yang dulunya adalah bekas tempat tinggal Raja Barus pada abad ke 7.  Kedua perkampungan dulu nya dipisahkan oleh sungai Sirahar yang kini sungai itu telah pindah 5 kilometer. Sungai itu dahulu besar sehingga banyak kapal berlabuh.

Pak Sihotang mengisahkan tentang pertempuran antara Raja Barus, Jayadana dan Sanjaya, Raja Jawa yang memperebutkan Putri Runduk di pantai Kedai Tiga ini.  Raja Jayadana tewas, sang putri ditawan Raja Sanjaya.  Raja Janggi dari Sudan yang juga tertarik dengan putri ini akhirnya mencoba merebutnya.  Putri Runduk lari ke pulau Mursala dan terjun ke laut.


Pantai Kedai Tiga, bekas pelabuhan pada abad ke 7

Tentu saja kami tidak tahu apakah cerita ini benar atau hanya dongeng.  Namun cerita ini berkembang turun temurun dan dipercaya oleh masyarakat Barus.

Sungai Sirahar kini menjadi sawah, di dekatnya terdapat makam Tuan Makdum. Pak Sihotang menunjukkan jalur kuno itu.  Sama sekali tidak terlihat jejak aktivitas pelabuhan di situ.  Seperti pernyataan para arkeolog, tidak ada apa-apa lagi di Barus.

Empat hari pulang pergi Sibolga - Barus tidaklah cukup untuk menggali hal-hal yang tersembunyi di kota pusaka itu.  Kami baru menyentuh permukaan belum menukik ke kedalaman.  Dan sungguh kami masih penasaran.D
Minyak umbil, mahal dan langka

Di hari terakhir sebelum menuju bandara, kami mampir ke pasar Nauli Sibolga untuk mencari minyak umbil dan kapur barus seperti yang diinformasikan oleh Pak Sihotang, yaitu mencarinya ke kios rempah.  Minyak umbil hanya ada 3 di salah satu kios, dan memang tidak ada lagi ketika kami mencari lagi ke tempat lain.  Si penjual menyodorkan kamper kamar mandi/lemari saat kami menanyakan tentang kapur barus :( tentu saja kami menggeleng.

Mudah-mudahan Barus yang kini mulai banyak diberitakan oleh media mendapat perhatian dari pemerintah.  

Apa yang kami temukan di lapangan semakin meyakinkan bahwa Barus memang hampir dilupakan orang. 

Satu hal lagi, terlihat bahwa warga Barus kurang menjaga aset mereka.  Pantai Sitiris Tiris yang dipenuhi sampah, demikian juga dengan beberapa situs makam, terlihat sampah plastik

Sudah saatnya kita melangkah ke depan tapi selalu bercermin ke belakang sebagai pembelajaran dan menjaga ingatan agar identitas kita tidak diklaim oleh bangsa lain.


1 komentar:

Asyari Hidayat Sihite mengatakan...

Barus...Luar Biasa!!!
Tapi Pemerintah masih saja tidak peduli.