19 Mei 2015

Jakarta dari Beranda Belakang

"Idih, kita lewat mana pak?" dengan cemas saya memandang celah-celah sempit antara kapal-kapal Phinisi yang sedang sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa.  Bahkan ada kapal yang sepertinya sedang menguras sehingga air tertumpah dari saluran pipa di dindingnya.



Tukang perahu di belakang saya hanya tertawa dan mengarahkan perahu kecil ini ke celah lainnya.  Perahu kami merayap di antara dinding kapal-kapal besar itu sampai akhirnya terbebas.  Air laut yang hitam terlihat berkilat-kilat dan berbau tentu saja.  Sedikit saja kami bergerak tanpa kendali, perahu akan bergoyang keras.  Mencemaskan tapi juga menantang.  Untung penumpangnya hanya tiga orang; saya, anak saya dan tukang perahu.

Matahari sore memang tidak terlalu keras mengingat sudah pukul 16:30.  Kegiatan bongkar muat kapal pun sudah selesai.  Para anak buah kapal terlihat sedang bersantai di dek luar.  Mereka melongokkan kepala mengamati kami dari atas kapal mereka. 

Setelah keluar dari kepungan kapal-kapal besar kami disambut perkampungan nelayan di seberang perairan yang adalah perkampungan Pasar Ikan. Perahu pun diarahkan ke perkampungan itu.






Di tengah-tengah nampak beberapa kepala timbul tenggelam, ternyata beberapa anak kecil sedang bermain-main di dalam air hitam itu.  Apakah mereka tidak gatal-gatal? sepertinya tidak, sudah terbiasa mungkin.  Di sisi lain beberapa orang terlihat sedang duduk-duduk di tempat semacam warung terbuat dari papan tambal sulam campur spanduk bekas.


Biar cuma dari triplek dan seng yang penting bertingkat.  Itu beneran AC?

Seperti perkampungan nelayan pada umumnya, terlihat deretan gubuk terbuat dari potongan papan triplek dengan penyangga yang terbuat dari bambu berbaris semrawut di atas laut.  WC Umum yang berupa kotak triplek kerap ditemui, genangan sampah mengapung-ngapung di sudut perairan bahkan ada gubuk yang posisinya sudah miring karena penyangganya sudah patah, sebentar lagi sisi yang lainnya pasti tidak akan bertahan lama.  Tidak usah membicarakan air tawar di sini karena tidak mungkin ada yang langganan air PAM.  Mau air tawar? BELI!!!.  1 jerigen berisi kurang lebih 20 liter air dihargai Rp 4.000,-


Di jembatan yang membelah perairan dan memisahkan perkampungan tampak beberapa turis sedang melihat-lihat.  Kami harus menunduk, bahkan setengah berbaring kala melewati bawah jembatan tersebut, karena pendeknya jarak jembatan dengan permukaan air.




Dan sampah pun mengambang

Di tengah perkampungan ada perahu-perahu yang parkir berdesakan sampai menghalangi lalu lintas kapal sehingga perahu kami meluncur sambil menyenggol badan-badan perahu lainnya.  Dari sini terlihat atap museum Bahari dan juga menara-menara gedung yang mencakar langit

Saya menoleh sekilas memperhatikan si bapak mendayung perahu dengan tenang. Kami mengobrol macam-macam, tentang libur hari kejepit lalu yang ramai, wisatawan bule yang membayar tarif lebih mahal sampai jenis-jenis kayu yang dibuat tiang penyangga rumah.

Saat ramai wisatawan, bapak tua ini bisa 4 kali bolak balik mengantarkan tamu.  Untuk wisatawan asing tarifnya bisa mencapai Rp 100.000, sedang untuk yang lokal macam kami berdua, tarifnya cukup Rp 30.000,-.  Untung perahu yang kami naiki ini adalah perahunya sendiri sehingga seluruh pendapatan menjadi miliknya.


Saat membicarakan kayu, saya mengamati tiang-tiang yang berwarna kehitaman akibat rendaman air laut. Seperti yang dibilang tadi tiang-tiang penyangga untuk rumah di atas air itu terbuat dari bambu, yang mudah lapuk jika terkena air sehingga harus diganti tiap 2 sampai 3 tahun.

Ketika banjir Rob menerjang, permukaan air laut bisa naik sampai batas lantai.  Jika itu terjadi, apakah mereka mengungsi? ternyata tidak.  Kejadian yang berulang membuat mereka tidak lagi cemas akan kehadiran banjir tahunan itu, pun keterbatasan ekonomi juga menjadi alasan utama mereka tetap bertahan.  Penghasilan mereka yang umumnya dari sektor informal tidak memadai untuk dapat pindah ke lokasi yang lebih baik.

Miring-miring


Kurang lebih 30 menit kami berperahu, melihat Jakarta dari perkampungan atas air ini.  Selanjutnya bapak tua pendamping kami dengan cekatan mengarahkan perahu kembali ke tempatnya bersandar, sekali lagi menembus celah sempit para Phinisi.


Perahu bersandar dengan selamat.  Kami berdua pun berdiri, menaiki batas tanggul pelabuhan dan menghampiri 2 tukang ojek sepeda yang sabar menunggu sampai saya menyelesaikan urusan pembayaran. 

Dan kami pun bergerak meninggal sisi lain dari Jakarta yang gemerlap. Dari perahu pembicaraan pun berpindah ke jok ojek sepeda kali ini tentang bermacam retribusi yang dipungut dua kali sehari dari para pedagang di lapangan Fatahillah.  Kondisi lapangan yang semrawut dengan pedagang kaki lima dan hal remeh temeh lainnya.



Pelabuhan Sunda Kelapa dahulu kala merupakan beranda terdepan Jakarta, namun nasibnya tidak berubah tetap kumuh dan kotor. Nasibnya mirip kondisi Batavia antara abad 17 - 18 dimana keadaan kota yang kotor menyebabkan wabah penyakit dan menimbulkan kematian bagi penghuninya.  Sekarang posisi pelabuhan ini seakan menjadi beranda belakang, tetap tidak tersentuh oleh para pemegang kebijakan di jalan Merdeka sana.

Kalau melihat Jakarta yang kayak gini sementara gaji pegawai Pemda DKI yang katanya tinggi tapi kerjanya santai rasanya seperti pemborosan.  Bukan sepertinya lagi tapi emang PEMBOROSAN....:(

Gubernur Jakarta masih punya PR besar, bukan cuma pembangunan transportasi tapi juga mengatur tata letak kota secara keseluruhan sekaligus memecut anak buahnya agar bekerja lebih keras lagi. 

Belum lagi kalo ngomongin soal pariwisata dan ekonomi kreatif.  Bila dipikir secara iseng, bisa jadi bapak-bapak tukang perahu dan tukang ojek sepeda ini adalah pelaku ekonomi kreatif.  Mereka melihat peluang, dibalik kekumuhan perkampungan nelayan ada obyek yang bisa dijual yaitu kekumuhan itu sendiri, yang dapat disaksikan para wisatawan sambil berperahu dan itu sama sekali bukan ide para pejabat kementerian di sana melainkan murni inisiatif rakyat bawah...hahhahaha.

Tidak ada komentar: