04 Agustus 2015

Perempuan Yang Berdaya

MENGERNYITKAN kening,
Itulah yang saya lakukan saat tanpa sengaja membaca timeline seorang kawan mengenai feminisme.  Baginya feminisme itu sekedar kecerewetan perempuan yang menuntut terlalu banyak.  Ia menganalogikan jika seorang pria melakukan pekerjaan sebagai pemanjat kelapa maka perempuan juga harus bersedia jadi pemanjat kelapa.

Saya juga bukan orang yang mudeng-mudeng amat dengan teori feminisme.  Namun dari beberapa hal yang pernah saya baca, saya yakin yang menjadi tujuan bukanlah "asal sama".

Bila membaca perjuangan para perempuan, para ibu dari desa Penago dan Pasar Seluma di Bengkulu menghadapi korporasi perusahaan tambang yang berniat mengekploitasi daerah mereka yang kaya akan pasir besi kita akan sepakat bahwa gerakan feminisme menemukan bentuknya dalam tindakan perempuan-perempuan sederhana itu.

Desa Penago dan Pasar Seluma, daerah pedalaman Bengkulu dimana banyak penduduknya mempunyai lahan perkebunan kelapa sawit hasil kerjasama dengan PTPN yang tidak lagi berlanjut.  Letak desa yang berada dekat pantai membuatnya kaya akan hasil laut.  Para ibu terbiasa mencari remis yang melimpah di pinggiran pantai dan menjualnya untuk tambahan penghasilan.

Bengkulu dengan panjang pantai 52 km memiliki kandungan pasir besi berkualitas tinggi yang cocok untuk bahan baku baja.  Lapisan pasir besi yang terkandung itulah yang merupakan penyusun daratan pantai Seluma.  Dengan terdapatnya sumber daya alam yang melimpah tentu saja telah menarik minat pengusaha baja dari luar negeri untuk berinvestasi.  Mereka mendekati kepala daerah untuk mendapatkan ijin explorasi tambang.  Dan dengan alasan untuk menaikkan pendapatan asli daerah tanpa pikir panjang ijin itu diberikan tanpa mempertimbangkan efek jangka panjang bagi masyarakat sekitar.

Pengerukan pasir besi yang dilakukan di tepi pantai mengakibatkan abrasi parah dan merembesnya air laut ke wilayah pemukiman warga.

Kandungan pasir besi yang terdapat di bibir pantai selama ini mencegah intrusi air laut sehingga banyak sumur penduduk yang terdapat tak jauh dari pantai mengeluarkan air tawar yang jernih.  Wilayah yang memiliki endapan pasir besi relatif mempunyai komposisi kepadatan yang membuatnya bertahan terhadap abrasi.
Dampak lain dari pengerukan pasir besi besar-besaran adalah hilangnya keanekaragaman hayati dan rusaknya ekosistem pantai.  Kegiatan mencari remis di tepi pantai yang dilakukan oleh kaum ibu untuk menambah penghasilan tidak akan dapat dilakukan karena rusaknya pantai.  Belum lagi ancaman tenggelam karena daerah mereka praktis kehilangan pelindung yang kuat akibat penambangan.

Saat warga desa bersama WALHI berjuang untuk penghentian operasi penambangan, peranan para perempuan setempat tanpa diduga sangatlah signifikan.  Mereka menggalang kekuatan melalui pertemuan bahkan menerapkan disiplin yang ketat.  Kesadaran akan ancaman hilangnya tanah kelahiran mereka membuat para perempuan ini rajin menyerap berbagai informasi.

Terhadap warga yang mendukung perusahaan tambang mereka menerapkan sanksi sosial yang keras.  Para perempuan desa pula yang bergerak melindungi para pria saat terjadi keributan di Seluma.  Para lelaki berlindung dalam mesjid sementara ibu-ibu berjaga di luar mesjid,

Bahkan saat berhadapan dengan aparat, para perempuan tersebut dengan cerdik maju dan mendadak meraba selangkangan para petugas sehingga mereka kalang kabut dan bubar.

Berdayanya para perempuan yang selama ini tidak teridentifikasi juga terlihat pada diri para perempuan dari pegunungan Kendeng yang menentang pembangunan pabrik Semen Nusantara di kawasan karst Kendeng di kabupaten Rembang.  Kawasan karst Kendeng yang menjadi kawasan imbuhan air yang dikenal sebagai Cekungan Air Tanah  (CAT) Watuputih.  Pembangunan pabrik semen akan mempengaruhi kawasan resapan air terbesar yang menyuplai sumber mata air yang ada di sekitar kawasan Watuputih. 

Hal ini tentu bertentangan dengan Perda No. 6 Tahun 2010 tentang CAT Watuputih sebagai kawasan resapan air yang menjadi kawasan lindung geologi.  Dalam Perda No. 14 Tahun 2011 tentang RTRW kabupaten Rembang, CAT Watuputih masuk ke dalam wilayah kawasan lindung geologi.  Belum lagi dengan adanya Keputusan Presiden No. 26 Tahun 2011 poin 124 yang menyebutkan CAT Watuputih masuk dalam klasifikasi B yang berada di lintas kabupaten antara Rembang dan Blora.

Klaim yang menyebutkan bahwa pertambangan meningkatkan kesejahteraan sepertinya harus ditinjau ulang.  Di banyak tempat di Indonesia, pertambangan lebih banyak menghasilkan kerusakan ekologi sementara hasilnya lebih banyak dinikmati kalangan tertentu dan bukan masyarakat sekitar.  Pabrik membutuhkan banyak tenaga terlatih dan terdidik.  Masyarakat di kawasan pabrik mayoritas berpendidikan sederhana dan tidak akan memenuhi kualifikasi tersebut.

Masyarakat di kawasan CAT kebanyakan para petani yang selama ini tercukupi kehidupannya dari hasil pertanian.  Eksploitasi karst untuk pertambangan dan pembangunan pabrik semen telak-telak akan memiskinkan mereka.

Sekali lagi para perempuan mengambil peranan penting dalam mempertahankan kelangsungan tanah mereka.  Mereka maju, berhadapan dengan aparat, berkemah di kawasan yang sedang dieksploitasi dengan perlengkapan seadanya, dihantam debu dan dihajar hujan.  Bahkan mereka nekat keluar kampung menumpang truk dan berdemo di depan istana bersama-sama dengan para ibu lain yang kehilangan anaknya.

Para ibu tersebut tak gentar walau harus berhadapan dengan para petinggi, tokoh-tokoh keagamaan dan beberapa akademisi yang mendukung pembangunan pabrik semen. Mereka yang ari-arinya saat lahir ditanam di tanah kelahirannya merasa wajib mempertahankan sumber kehidupan mereka.

Sampai saat ini gerakan yang ber-hastag #SaveRembang, #RembangMelawan identik dengan perjuangan kaum perempuan.  Gerakan para perempuan ini memancing simpati dari berbagai kalangan walau tak sedikit yang menuduh gerakan mereka dilatarbelakangi oleh pihak-pihak tertentu.

Jangan lupa, gerakan perempuan yang berdaya juga dapat kita lihat setiap kamis di depan istana.  Para ibu sepuh berpayung hitam berdiri pada sore hari selama ratusan Kamis. Tidak, mereka tidak sedang menentang masuknya tambang atau mempertahankan tanah. Mereka hanya mempertanyakan tanggung jawab negara atas hilangnya orang-orang yang dikasihi akibat kumparan politik yang tanpa pandang bulu menggulung apa pun yang berada di dekatnya.

Di Bangladesh, seorang Profesor dari Chittagong menyadari kekuatan kaum perempuan dan pengaruhnya terhadap keluarga dan lingkungan sekitar.  Bank Grameen yang digagasnya ditujukan terutama pada kaum perempuan Bangladesh yang miskin dan tertindas secara sosial dan budaya. Muhammad Yunus, sang Profesor itu bahkan berpendapat bahwa perempuan akan lebih bisa mensejahterakan keluarga karena sifat mereka yang lebih mementingkan orang-orang yang dicintainya daripada dirinya sendiri.  Pendapat Muhammad Yunus ternyata tepat,  dengan bantuan kredit lunak, para perempuan itu perlahan bangkit, membuat usaha sendiri dan memperbaiki nasibnya.

Para perempuan yang tidak pernah memegang uang itu mulai memberanikan diri merancang masa depan diri berserta anaknya dengan pinjaman yang dipercayakan pada mereka.

Dari beberapa gambaran di atas jelas kiranya bahwa gerakan pemberdayaan perempuan bukan sekedar bertujuan agar perempuan diakui sama dengan laki-laki, namun menukik lebih dalam menggugah kesadaran bahwa perempuan dengan keterbatasan fisik mampu melakukan hal-hal luar biasa untuk mempertahankan kehidupan



Tidak ada komentar: