25 Agustus 2015

KAMPUNG NAGA, Akankah Bertahan?

"Tahun 1998  jalan setapak ini dibuat untuk mempermudah orang luar berkunjung ke kampung Naga".


Demikian Darmawan, salah seorang Sanaga atau masyarakat Kampung Naga yang telah pindah ke luar kampung menjelaskan hal ihwal jalan setapak berupa ratusan anak tangga yang menghubungkan penduduk bagian dalam dengan masyarakat luar.  Ada sekitar 490 anak tangga, demikian menurutnya.



Letak kampung Naga sendiri yang berada di dalam lembah sejak adanya ratusan anak tangga itu menjadi mudah diakses.  Orang luar dengan santai bisa masuk menuruni tangga masuk jauh ke dalam sampai pada batas pagar bambu yang mengelilingi sekelompok rumah tradisional.  Saat kami menuruni anak tangga memang terlihat lalu lalang orang. Rumah-rumah yang ada di sepanjang jalur tangga tersebut tidak termasuk wilayah kampung Naga sehingga bebas orang keluar masuk  Dua orang ibu warga asli kampung sedang berjalan menuju arah kami.  Mereka berpakaian khas dengan kain dan kebaya tanpa alas kaki.  Atap-atap rumah di kejauhan nampak tertata rapi.


Menurut Darmawan, kata Naga sendiri bukan mendeskripsikan binatang mitologi tersebut tapi mirip singkatan. Na artinya Dina (pada/di), Ga artinya gawir (lembah).  Ketika ditanya sejak kapan kampung Naga berada, Darmawan menyebut tahun 1822

Dengan luas sekitar 1.5 ha, kampung adat ini mempunyai 115 bangunan yang terdiri dari 110 rumah, sisanya adalah mesjid dan ruang pertemuan.  Jumlah bangunan tidak boleh bertambah, sementara sesuai kodrat manusia terus beranak pinak sehingga kampung Naga menerapkan aturan untuk keluar dari kampung bagi yang telah menikah sementara orang tuanya masih ada dan baru bisa kembali jika orang tua mereka tiada sehingga rumah inti di kampung adat bisa dihuni.


Perkampungan adat ini diapit dua hutan, salah satunya adalah hutan larangan.  Warga dilarang keras masuk hutan larangan, apalagi memanfaatkan hasil hutan sekedar mengambil kayu bakar.  Sementara hutan yang satu lagi adalah makam mbah Singaparna yang dipercaya sebagai leluhur masyarakat kampung Naga.


Umumnya masyarakat kampung Naga sering dikaitkan dengan suku Baduy, namun ternyata mereka berbeda.  Orang Baduy umumnya menganut Sunda Wiwitan sedangkan penduduk Kampung Naga beragama Islam.  Mereka mempunyai tempat sholat yang dulunya disebut Pangsolatan.

Kain yang melilit bagian kepala mereka merupakan ciri tradisi lelaki kampung Naga yang digunakan sebelum masuknya kopiah. Dan sampai sekarang masih terus digunakan.

Kami telah sampai di bagian bawah lembah, jalan setapak yang cukup lebar menjejeri sungai Ciwulan.  Di ujung sungai terdapat pintu air.  Yang menarik di salah satu sisi dinding hutan terdapat air terjun mini, ya air terjun di musim kering ini.  Aliran airnya mengaliri petak-petak sawah, menjamin ketersediaan pasokan sepanjang tahun


Selama ini belum pernah warga gagal panen, demikian pak Darmawan mengkonfirmasi.  Panen mereka berlangsung dua kali dalam setahun.  Padi yang dihasilkan masing-masing keluarga cukup untuk menjaga kelangsungan pangan mereka.  Aturan ketat untuk tidak menambah rumah dan pantangan masuk ke hutan larangan justru membuat mereka selamat dari bencana kekeringan akibat perambahan dan alih fungsi hutan.

Langkah kami sampai di depan rangkaian pagar bambu yang memanjang.  Itulah batas wilayah kampung Naga dengan dunia luar.  Masyarakat luar tidak diperkenankan masuk tanpa didampingi oleh guide yang merupakan Sanaga.  Pemandangan dari tepi Ciwulan nampak fotogenic sekali mirip lukisan-lukisan aliran Mooi Indie.

Setelah masuk dan menyusuri lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah berdinding kayu dan beratap daun sambil sesekali berhenti mengamati bentuk bangunan dan atap.  Biaya mengganti atap secara keseluruhan adalah Rp 12 juta sedangkan merenovasi total rumah memerlukan biaya sekitar Rp 35 juta.

Darmawan mempersilakan kami masuk ke dalam salah satu rumah.  Tidak ada kursi di dalamnya.  Pembagian ruangan terdiri dari ruang tamu, 1 kamar tidur, dapur dan di belakang adalah tempat penyimpan padi.  Semua rumah menghadap utara dan selatan, saling berhadapan.  Tidak ada listrik yang masuk.


Secara bergurau Darmawan mengatakan warga kampung Naga yang sudah cukup asalkan bisa tidur enak, makan layak dan tidak ada persaingan.  Anak-anak warga kampung sudah mulai melanjutkan pendidikan sampai SMA.  Ketika ditanyakan tentang maraknya teknologi seperti halnya telepon genggam, ternyata mereka juga tidak anti, hanya saja kan tidak ada listrik, mau nge-charge di mana, begitu pikir saya.  Sepertinya hanya para Sanaga yang tinggal di luar kampung asli yang memungkinkan bersentuhan dengan teknologi seperti itu.

Dalam setahun mereka mempunyai 6 upacara adat, namun semua upacara itu khusus dihadiri oleh pria.  Kaum wanita bertugas di dapur memasak makanan untuk upacara.  Seperti halnya lingkungan mereka yang dikelilingi oleh sawah, masyarakat kampung Naga mengerjakan sawah, memelihara ikan dan berkebun dan upacara adat mereka berhubungan erat dengan mata pencaharian mereka sebagai petani.

Layaknya kampung adat mereka pun punya hari-hari yang ditabukan untuk beraktivitas yaitu Selasa, Rabu dan Sabtu.  

Mereka pun tidak bisa lepas dari kesenian; terdapat alat musik yang lazim digunakan seperti angklung buhun, terbang sejak dan gembrung.  Gembrung ini digunakan untuk bulan Maulud.

Namun betapa pun warga Kampung Naga terhitung mandiri dalam pangan juga tak dapat berkelit dari kenaikan harga.  Disebabkan mereka juga menggunakan minyak tanah.


Ada cerita menarik:
Tahun 2009 saat pemerintah memulai konversi dari minyak tanah ke gas, harga minyak tanah membumbung tinggi.  Masyarakat kampung Naga menolak konversi tersebut, namun mereka juga tidak mampu membeli minyak tanah.  Daripada keluar kampung dan berdemo tanpa hasil, maka mereka menolak setiap tamu yang datang.  Orang asing yang jauh-jauh datang dari negaranya pun tetap mereka larang.

Keadaan ini berlangsung 3 bulan dari bulan Mei sampai Agustus.  Setelah itu pemerintah bersama Pertamina berkunjung dan disepakati akan ada subsidi kepada warga kampung.  Jadi warga cukup membeli minyak tanah seharga Rp 4000/liter

Ada keunikan lain dalam masalah warisan.  Bila dalam upacara adat terlihat para pria yang dominan, dalam masalah warisan ternyata kampung Naga memiliki ketentuan seperti rumah yang selalu diwariskan kepada anak perempuan sedangkan anak lelaki hampir tidak mendapat apapun.

Darmawan lalu menunjukkan kami tempat berupa lapangan tidak begitu luas yang merupakan tempat warga berkumpul melakukan acara.  Tak jauh dari situ ada tempat seperti kebun kecil yang dipagari, ternyata itulah yang disebut Pangsolatan.  Sebelumnya Darmawan menunjukkan Bumi Ageng.  Keduanya bagi masyarakat kampung Naga merupakan tempat suci sehingga tidak diizinkan memotret.


Di sekitar lapangan itu juga terdapat semacam balai desa tempat anak-anak berlatih dan juga sebagai display hasil kriya mereka.

Saat kami keluar dan kembali menyusuri tepian sungai Ciwulan, tampak beberapa anak muda yang sepertinya juga pelancong sedang bermain-main di antara batuan sungai.  Tampak beberapa ibu sedang menumbuk padi, seperti yang dibilang oleh Darmawan, beras dan lauk pauk mereka produksi sendiri, kelebihannya barulah mereka jual.

Masyarakat kampung Naga seperti halnya masyarakat kampung adat di berbagai wilayah di Indonesia mengedepankan sikap bersahabat dengan alam, menghindari persaingan dan mengedepankan asketisme.  Pertanyaan besarnya: Berapa lama mereka sanggup bertahan?
Manusia kini diharapkan bersifat dan dihadapkan pada economic animal.  Persaingan menguasai sumber daya alam demikian ketat.  Apa yang akan terjadi pada masyarakat Kampung Naga 10 tahun ke depan?
Sisi egois saya ingin mereka tetap lestari dengan keadaan mereka sekarang, namun sisi yang lain saya merasa ingin memperingatkan mereka akan bahaya yang kian mendekat yang sanggup meluluhlantakkan kehidupan mereka yang tenang dan damai jika tidak buru-buru diantisipasi.

Hah, mungkin saya yang terlalu kuatir, bagaimanapun kehidupan terus berjalan, dan tiap peradaban akan menjumpai takdirnya sendiri.


1 komentar:

Dwi Puspita mengatakan...

bagus banget ya suasananya...