13 September 2015

Cengkeh dan Tembakau di Mata Puthut EA

Turun di stasiun Gondangdia, saya langsung naik bajaj menuju jl. Wahid Hasyim.  Kafe Phoenam yang menjadi tujuan sebenarnya tidak terlalu jauh, namun di bawah panas matahari yang membara enggan rasanya melihat kulit saya yang coklat kian mengelam.

Tak sampai 5 menit bajaj sudah berhenti di lokasi.  Ada satpam dan beberapa pria di halaman sementara di jendela terlihat sign board Phoenam berkelip-kelip.  Setelah bertanya pada mereka untuk sekedar meyakinkan diri, saya pun menaiki tangga tua menuju ruangan kafe.

Saya belum pernah ke kafe Phoenam, begitu saya melangkah masuk ke ruangan yang sedikit suram akibat asap rokok, langsung tersadar ternyata pengunjungnya lelaki semua dan langsung menoleh melihat kehadiran entitas yang lain dari mereka.

Hampir sepuluh menit setelah pukul 11 siang, pesan saya tidak direspond oleh orang yang sudah ada janji temu. sementara mbak Ratih yang juga akan bertemu sudah mengabarkan akan datang telat. Tiba-tiba dari arah belakang seseorang menyapa, ternyata pria yang duduk diam-diam di belakang itulah yang janjian dengan saya.

Puthut EA, pendiri situs mojok.co yang kerap menampilkan tulisan-tulisan nakal dan cerdas dari para kontributornya.  Namun yang terpenting adalah buku-buku yang dihasilkan dari perjalanan dan penelitiannya.  Bukan buku tentang travelling tentu saja.   Kegelisahan akan nasib para petani cengkeh dan tembakau menghasilkan tutur yang memukau.  Sebut saja  Kretek, Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota, lalu ada Ekspedisi Cengkeh.  Belakangan baru saya sadar beliau adalah seorang cerpenis dan novelis(?).  Berhubung saya bukan penggemar cerpen dan tidak update dengan novel-novel masa kini jadi memang tanpa sadar saya men-skip informasi bagian ini.

Oh ya, tentang Puthutnya sendiri, ternyata lebih muda dari fotonya.  Saya sangka seorang peneliti dan pengembara seperti itu pastilah berkulit legam, tapi yang duduk di hadapan saya ternyata berkulit bersih, lebih cocok dipanggil mas daripada pak. Sementara anak muda yang bersamanya adalah Adit, salah seorang punggawa dari komunitas kretek yang baru saja menyelenggarakan acara Tribute to Kretek.



Tak menyia-nyiakan waktu, pembicaraan segera berkisar tentang permintaan untuk jadi pembicara sekaligus narasumber di museum week yang akan bertutur soal Jalur Rempah dengan cengkeh sebagai bahasannya.  Rempah dalam Kretek.
Saat itu Puthut EA mengenakan kaus hitam bertuliskan Kretek Bukan Rokok. Sebagai orang yang bersetia dengan kretek, pertanyaan saya tentang jenis cengkeh, jenis tembakau sampai pada kehidupan para petani di daerah sentra tembakau dan cengkeh dijawab dengan tuntas.

Tentu saja sepanjang pembicaraan, kepulan asap rokok hampir tidak pernah berhenti keluar dari kedua orang tersebut.

"Para petani tersebut tidak akan keberatan berganti tanaman asalkan tanaman tersebut memang dapat hidup di tanah mereka dan menghasilkan keuntungan.  Namun masalahnya tanaman apa yang dapat hidup di lereng gunung dengan supply air yang terbatas apalagi di musim kemarau.  Hanya tembakau yang bisa".  Imbuhnya

Suka atau tidak, tidak dapat diingkari tembakau menjadi sumber utama pendapatan daerah penghasilnya seperti Temanggung dan Kudus misalnya.  Dengan tembakau para petani membiayai sekolah anak, memperbaiki rumah sampai naik haji.

Begitu pula dengan cengkeh.  Dahulu cengkeh memang menjadi incaran bangsa Eropa. Tanaman endemik asli Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam ingatan umat manusia. Namun seiring dengan kemajuan teknologi pengawetan makanan dan pengobatan maka nasib cengkeh pun meredup.

Namun cengkeh terselamatkan dengan adanya penemuan haji Djamhari dari Kudus yang suatu ketika iseng mencampurkan cengkeh ke dalam tembako kemudian dihisap untuk menghilangkan sakit di dadanya.  Suatu upaya coba-coba yang berakhir fenomenal.

Sejak saat itu persatuan cengkeh dan tembakau dalam bentuk kretek menjadi identitas asli Indonesia. Kretek menjadi tulang punggung pendapatan asli daerah dan lebih dari 90 persen produksi cengkeh terserap dalam industri kretek.

Menurut pengamatan Puthut EA, nasib petani cengkeh rata-rata lebih baik dari petani tembakau.  Petani tembakau tidak dapat menyimpan hasil panen tembakanya terlalu lama karena keterbatasan fasilitas peyimpanan.  Dalam sekali panen tembakau dapat dilihat berapa banyak pihak yang terlibat di dalamnya.  Tidak hanya pemilik, pemetik, pabrik rokok yang terlibat tapi juga pembuat keranjang, angkutan, dan juga warung-warung serta grader atau penilai mutu tembakau.

Fungsi grader menjadi sangat penting karena pabrik rokok mempunyai standar tertentu dalam penilaian mutu tembakau, grader itulah yang menilai tembakau-tembakau yang berdatangan ke pabrik.  Grader yang terlatih dengan mudah dapat menilai mutu tembakau dengan mencium aromanya.  Tembakau bermutu terendah (A,B) sudah jarang diserahkan oleh petani.  Sementara mutu tertinggi (grade H-I) dipegang oleh tembakau Srintil yang munculnya jarang-jarang, saking langkanya jaman dulu kemunculan Srintil ini sering dikaitkan dengan kejadian mistis.

Yang menarik menurut Puthut EA lagi, dalam sebatang rokok atau kretek, pastilah mengandung beberapa macam tembakau yang formula campurannya hanya diketahui oleh pabrik rokok sebagai rahasia dapur mereka.

Tidak usah membicarakan pabrik rokok yang besar-besar, di Kudus dan Kediri banyak produsen rokok lokal yang wilayah pemasarannya hanya mencakup kota-kota kecil, namun yang begitu saja dapat mempekerjakan 50 orang untuk tiap produsen.  Walau produsen-produsen gurem itu silih berganti hidup dan mati tapi siklus itu ajeg.  Selalu ada orang yang memulai usaha, meningkat dari sekedar penjual tembakau menjadi produsen rokok.

Wisnu Brata, seorang petani tembakau asal Temanggung dalam bukunya "TEMBAKAU ATAU MATI" menceritakan hal ihwal tata niaga tembakau yang menurut pihak luar dikuasai oleh pabrik rokok besar.  Ternyata menurutnya tidak seperti itu; penyerapan hasil tembakau bukanlah semata dilakukan oleh pabrik besar namun juga pabrik kecil dan rumahan, bahkan untuk beberapa daerah, tembakau petani dijual secara eceran.  Tembakau bermutu baik, berkualitas super selalu dikejar-kejar oleh pedagang bahkan tak jarang perwakilan dari pabrik turun tangan langsung.  Secara langsung Wisnu Brata menyatakan bahwa petani tembakau mempunyai daya tawar yang cukup kuat.

Mutu tembakau dari Temanggung, lereng Sindoro-Sumbing terkenal tinggi, kadar nikotin terendah saja bisa mencapai 4-5 mg yang tentu saja melebih batas yang ditetapkan peraturan pemerintah yang maksimal hanya boleh 1.5 mg.  Standar ini dengan mudah dipenuhi oleh rokok putih asal Amerika yang bebas berkeliaran di Indonesia.  Amerika memang melarang tembakau asal Indonesia yang dari sananya sudah bernikotin tapi memperbolehkan rokok putih yang memang diproduksi oleh perusahaan Amerika.  Bisa dilihat arah kebijakannya?

Awal Agustus 2000, Konferensi dunia tentang tembakau dan kesehatan ke-11 di Chicago dibuka.  Penyumbang utama untuk kegiatan ini adalah empat perusahaan farmasi multinasional terkemuka: Glaxo Wellcome, Novartis, Pharmacia dan Smithkline Beecham yang semuanya memproduksi dan memasarkan produk-produk pengganti nikotin (Wanda Hamilton: Nicotine War).

Baiklah, lebih baik kita tak usah berpanjang-panjang membahas bagaimana Amerika sudah mendisain sedemikian rupa agar produksi rokoknya bisa masuk Indonesia dengan memprakarsai aturan-aturan kadar nikotin demi keuntungan bisnisnya dan di sisi lain juga aktif berperan serta agar produksi obat-obatannya juga meraup keuntungan melalui gerakan anti tembakau.

Tapi lihatlah bagaimana para petani cengkeh dan tembakau di Indonesia hidup dan menghidupi tidak saja keluarga namun daerah mereka, tanpa peran aktif pemerintah selain hanya sebagai pembuat regulasi. 

Kalau ingin melarang mereka menanam tembakau silakan, tapi siapkan dulu tanaman pengganti apa yang cocok dengan kondisi tanah dan cuaca daerah masing-masing dan untuk itu diperlukan riset yang mendalam.  Kebijakan instan dengan meminta mereka menanam jenis tumbuhan tertentu sebagai pengganti tembakau tanpa pendampingan dan penyediaan sarana seperti bibit, pupuk dan kemudahan kredit sama saja dengan membunuh para petani dan masa depannya.

Tulisan ini bukan untuk memprovokasi orang untuk merokok, saya pun sebagai penulis tidak merokok dan merasa tidak perlu ikutan merokok walaupun saya mendukung kretek dengan segala kontroversinya.

Tidak ingin juga berdebat tentang masalah kesehatan, buat saya merokok dan tidak merokok adalah hak.  Kalo boleh, saya mengeluhkan asap kendaraan bermotor yang kian lama kian menyesakkan, Kewajiban pemerintah adalah menyediakan ruangan baik untuk perokok maupun yang tidak merokok.  Para perokok dilarang merokok di tempat sempit seperti angkot maupun bis, namun mereka tidak dapat diganggu gugat saat menggunakan smoking room yang tersedia untuk menggenapkan ritualnya.

Tidak ada komentar: