26 Oktober 2015

BANTEN GIRANG - Banten Pada Masa Pra Islam

Banten Girang,

Dari beberapa kali mengunjungi situs Banten lama ternyata masih saja ada teka-teki yang tersisa tentang masa silam Banten sebelum berwujud kesultanan, saat masih berupa kerajaan Hindu bawahan kerajaan Pakuan yang dikenal dengan nama Banten Girang.

Sonny Wibisono, arkeolog senior dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang ditemui di kantornya, kawasan Pejaten menerangkan dengan gamblang hal ihwal kerajaan pendahulu tersebut sesuai dengan temuan arkeologis.

Arkeolog Senior-Sonny Wibisono
"Kesultanan Banten sebenarnya hanya melanjutkan jalur-jalur perdagangan yang sudah ada pada masa kerajaan Banten Girang yang juga penghasil lada. Melalui Tiku Pariaman atau rute Sriwijaya yaitu Jambi dan Palembang".


"Kerajaan Pakuan diduga juga terlibat dalam perdagangan lada sebelum meredup dan diambil alih posisinya oleh Banten Girang" sambungnya.

Menurut arkeolog yang pernah melakukan penelitian khusus tentang Banten itu, penguasa Banten Girang menyambut baik kedatangan Portugis karena ingin mencegah pengaruh Islam dari Demak yang kian meluas.  Salah satu isi perjanjian itu adalah kesanggupan Banten Girang untuk menyerahkan 1000 bahar lada tiap tahunnya dan pihak Portugis menyanggupi untuk membangun benteng pertahanan.

Hari Minggu setelah pertemuan di Puslit Arkenas, kami berlima ditambah Sonny Wibisono memutuskan untuk menuju Banten, untuk melihat sendiri situs Banten Girang.  Sampai pintu tol Serang Timur kami mengambil arah ke kiri, sedangkan kalau menuju situs Banten Lama berbelok ke kanan.  Penanda situs Banten Girang nyaris tak terlihat jika kita tidak awas, patokannya sementara ini adalah dekat Indomaret.  Kami melalui jalan sempit depan rumah-rumah penduduk namun di penghujung, jalan melebar, ada jembatan aspal yang lebar menuju situs.

Ternyata kemudian kami berbelok menuju sebuah bangunan yang penuh pra peziarah.  Di halamannya seperti biasa dipenuhi pedagang kaki lima.  Ciri khas NKRI.


Situs Banten Girang - sebenarnya dulu ini ada perbentengan
Menurut Sonny Wibisono, sejak Banten dikuasai Islam ada 2 jalur perdagangan yaitu jalan sultan, jalur dari pedalaman ke pantai dan dari pantai ke pantai, dari istana Tirtayasa itulah yang disebut jalur pantai ke pantai.
Banten Girang sendiri sudah mempunyai 6 pelabuhan yang dikontrol dari pedalaman sehingga tidak begitu efektif sistem pengontrolannya.  Ketika Islam menguasai Banten, penguasanya mulai memindahkan pusat kekuasaan ke dekat pantai sehingga kontrol penguasaan jalur perdagangan lada dapat dikoordinasikan dengan mudah.

Pintu-pintu pelabuhan jaman Banten Girang diduga ada di wilayah barat seperti Teluk Lada, Labuhan, Pulau Panaitan dan penemuan prasasti di Ciampea.  Lalu pintu-pintu masuk bergeser ke utara, para arkeolog masih belum dapat memastikan apa yang menyebabkan perubahan dan pergeseran akses tersebut.

Lalu Banten dikenal pula dengan tebu yang mulai masuk tahun 1500-an, cuma tidak begitu sukses. sentra-sentra bekas pengolahan tebu kini telah habis tidak bersisa, sehingga sulit ditelusuri mata rantainya.


Saat ini dekat situs Banten Girang, berdiri pemakaman Ki Mas Jong dan Agus Ju, dua punggawa kerajaan Pajajaran yang pertama kali masuk Islam. Kedua makam itu menjadi tempat ziarah dan di bagian depan bangunan permanen tempat makam tersebut berada, menjadi tempat penyimpanan beberapa hasil penemuan seperti ratusan keping pecahan keramik dan bekas-bekas saluran air. Bahkan ada mangkok keramik yang masih utuh dan terhitung koleksi yang jarang ditemukan.

Sangat tidak layak hasil-hasil penemuan tersebut hanya dibiarkan teronggok dalam lemari kaca yang kusam tanpa pengamanan yang pantas.  Saya melihat ada rantang tergeletak begitu saja di salah satu sudut.  Rasanya untuk daerah sekaya Banten, cukup memalukan jika tidak mampu membangun museum yang layak.  Hasan, seorang juru kunci senior juga mengeluhkan kondisi penyimpanan yang menyedihkan itu.  Tidak ada perhatian dari pemerintah Banten terhadap aset sejarahnya sendiri.

Sonny Wibisono beranjak ke pintu samping, dan langsung menyulut rokok Gudang Garamnya, saya beringsut ke sisinya dan melanjutkan bincang-bincang.  Menyenangkan mendengarkan arkeolog senior ini berbicara.  Tangannya menunjuk ke arah batu berbentuk bundar yang teronggok di halaman samping bangunan, 
"Itu alat untuk memproses kedelai, sudah cukup kuno" katanya.  Saya mengikuti arah telunjuknya mengarah dan sontak menggeleng-geleng.

Alat untuk memproses kedelai

"Sungai ini dulunya adalah jalur masuk ke Banten Girang, sudah pasti lebih lebar dari ini." lanjut Sonny Wibisono.  Di depan kami memang ada sungai yang cukup lebar untuk ukuran sekarang dan tebing menjorok  Sudah tidak nampak lagi bekas-bekas perbentengan yang dulu pernah ditemukan oleh team arkeolog.  Bahkan ada situs yang tergilas perumahan warga. Kami kembali memandang sungai yang cukup dalam dengan jembatan gantung di atasnya.  

Cukup lama kami berada di daerah makam, sambil menunggu fotografer selesai memotret semua obyek yang dirasa perlu.  Lalu kami kembali ke mobil.

Kami menuju selatan arah Labuhan, melalui jalur Mandalawangi yang berkelok mengitari perbukitan dengan niat mencari sisa-sisa perkebunan lada yang pernah jaya pada masa Banten Girang.  Ternyata memang susah, tidak ada penanda apapun di sepanjang jalur itu.

Kami bolak-balik bertanya pada orang yang ditemui di jalan.  Pada kali kelima ternyata kami beruntung.  Mobil pun berputar balik dan berhenti di satu tempat yang kemudian diketahui bernama Kampung Pandat.  Dipimpin oleh Sonny Wibisono kami berjalan menuju sebuah rumah sederhana yang ternyata menyimpan beberapa benda purbakala yang diduga peninggalan kerajaan Hindu Banten Girang.

Bertemu warga yang menyimpan sisa-sisa peninggalan Banten Girang

Suryana, demikian nama warga yang menyimpan semua penemuan yang ada yaitu satu arca syiwa dan satu genta berkepala trisula bersama beberapa pecahan.  Tinggi arca dan genta itu kurang lebih 20 cm. Menurutnya benda-benda ini ditemukan sekitar tahun 2009 di tengah sawah.  Ukir-ukiran yang melekat pada genta itu terlihat halus dan rumit dan sudah pasti berasal dari luar nusantara, kemungkinan besar dibawa langsung dari India.  Genta ini kemungkinan untuk dipakai saat upacara keagamaan oleh pendeta Hindu pada masa itu.

Gunung Pulosari, gunung suci kerajaan Banten Girang tempat pemujaan dan upacara memang tak jauh dari sini.
Genta

Namun tidak tampak lagi ciri-ciri bekas kerajaan Hindu di wilayah kaki Mandalawangi.  Ibu pemilik rumah menegaskan tidak ada tempat pemujaan, karena ini kerajaan Islam. Nampaknya ingatan tentang Banten sebagai bekas kerajaan Hindu tidak berbekas dalam memori warga.

Rumah-rumah warga




PERKEBUNAN LADA DI MANDALAWANGI
Pemandangan di kaki Mandalawangi ini sangat elok, waktu seakan-akan terhenti di tempat ini. Dengan ditemani dua orang bapak pemilik kebun kami melintasi sawah sungai kecil untuk sampai ke perkebunan lada. 


Listrik sudah masuk di kampung ini.  Di belakang rumah warga, terlihat tumpukan kayu bakar. Sebagian besar warga kampung memang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.  Kami pun sempat berpapasan dengan seorang pria yang sedang memanggul kayu keluar dari hutan kecil.





Kebun lada yang besar ada di puncak-puncak bukit, tak jarang ditemukan arca-arca kuno tersebar di sana demikian menurut bapak-bapak tersebut.  Untuk menghemat waktu akhirnya kami berbelok ke sebuah hutan kecil, ada beberapa tanaman lada di sana.  Seruas batang dengan buah kecil-kecil bulat terangguk-angguk terkena angin. Itulah dia, lada.

Lada dapat dipanen tiap delapan bulan.  Lada hitam untuk diekspor.  Harga lada berkisar antara Rp 100.000 sampai 120.000 per kg.  Sangat tidak dianjurkan untuk memetik lada yang belum matang, yang masih berwarna hijau, karena saat dijemur, volumenya akan menyusut jauh sehingga sering disebut lada angin.

 Lada                                                                                  Kapol               

Kekuatan jaringan perdagangan Banten masa lalu inilah yang sekarang menghilang.  Tercermin dari ucapan-ucapan para pemilik kebun betapa mereka harus berjuang sendiri memelihara komoditi andalan ini tanpa bantuan dan penyuluhan dari pemerintah.  Kearifan-kearifan para pelaku pertanian masa lalu diabaikan.

Saat ini Banten sebagai sentra lada sudah bergeser ke Lampung, pun ranking Indonesia sebagai produsen lada telah jauh merosot.  Tanaman lada terserak-serak di beberapa perkebunan, kadang jauh di atas bukit bercampur dengan tanaman lain.


Keanekaragaman hayati tampak saat Suryana yang juga ikut mendampingi kami, menunjukkan sejenis tanaman berbunga putih yang tumbuh merambat di tanah.  Mereka menyebutnya Kapol yang jika dimakan menimbulkan efek menghangatkan badan, mirip minyak kayu putih sehingga berkhasiat menyembuhkan masuk angin.

Banten sungguh menakjubkan bukan saja tentang kisah keemasan masa lalunya tapi juga kekayaan alam dan kekayaan arkeologi yang terhampar tepat di depan kami.

Makam kuno
Claude Guillot dalam bukunya tentang Banten pernah menulis betapa majunya Banten pada abad 16 dan 17. Orang-orang asing seperti Inggris dan Denmark tinggal dan menetap di Banten.  Sultan menyewa para ekspatriat untuk bekerja di kapal dagang kerajaan dan mengirim beberapa duta ke Eropa.

Kemultietnisan dan visi Banten sebagai kota Internasional juga ditunjukkan dengan adanya Syahbandar Pelabuhan yang berasal dari etnis Cina serta para pejabat yang berasal dari Tamil.

Bila memandang Banten kini, rasanya Banten sekarang memang sedang terpuruk entah kapan bisa bangkit lagi.

Tidak ada komentar: