14 November 2015

Museum Week-Jalur Rempah: Sebelum dan Sesudah

Museum Week baru saja berlalu...ups,,sudah beberapa minggu sih, namun saya baru sempat membahasnya sekarang setelah menyelesaikan kerjaan yang tertunda plus memulihkan kondisi badan yang letih dan lesu seusai pameran.  Letih dan puas tepatnya.

Undangan

Ya, saya memang terlibat di dalam proyek Museum Week ini, keterlibatan tak sengaja sebenarnya dikarenakan Gelar, komunitas tempat saya bergabung ditunjuk untuk menjadikan proyek dari yayasan Bina Museum ini berjalan sukses sekaligus berbeda dari tahun sebelumnya.  Dan, karena saya penyuka sejarah, otomatis saya jadi salah satu anggota team content.  Sesederhana itu.

Tema Jalur Rempah yang menjadi benang merah pameran ini sebenarnya berasal dari kegelisahan segelintir orang.  Kata "REMPAH"sendiri terlalu besar untuk tidak dipedulikan. Rempah yang menjadi alasan Utara menyerbu Selatan. Rempahlah sang penyelamat bangsa barat dari kebangkrutan. Sementara Cina sibuk dengan jalur Suteranya, sebenarnya ada seribu alasan untuk memunculkan jalur lain yang lebih berpengaruh terhadap peradaban: Jalur Rempah.

Selanjutnya adalah serangkaian pencarian data dan perjumpaan dengan orang-orang yang sebelumnya hanya dapat saya baca bukunya.  Menyenangkan tapi juga meletihkan karena saya memang belum pernah terlibat dalam pameran sama sekali.

Berbulan-bulan berkutat dengan buku, membaca segala macam penelitian yang bisa dibaca.  Bukan itu saja, beberapa bulan terakhir saya bahkan menjadi akrab dengan Go-Jek gara-gara harus bolak-balik ke Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional sampai Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) untuk bertemu beberapa arkeolog belum lagi sejarawan dan antropolog.  Sebagai akibatnya saya harus menyelinap atau minta ijin dari kantor untuk melakukan proyek ini.  Untung atasan saya sangat mengerti tentang anak buahnya yang satu ini.  Mungkin karena ini berkaitan dengan museum, jadi kesannya seperti idealis lah :), padahal sih nggak juga.

Sebenarnya kerepotan yang saya hadapi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan kerepotan rekan yang lain yang juga memegang content sekaligus bertanggung jawab atas design linimasa.  Bagaimana mengkoordinasikan beberapa designer yang ditugaskan merancang masing-masing ruang waktu saja sudah memakan waktu ditambah harus mengkoreksi berbagai macam tulisan sekaligus design yang akan tampil.  Tapi itu karena ia juga ketua pameran...:)
Kapal Padewakang, dibuat langsung di Mandar dan diangkut ke Museum Nasional

Jadi disepakati akan ada beberapa bagian yang akan disajikan dalam pameran, yaitu: Ruang Tunggu, Ruang pemutaran video, Barus, Sailendra-Tarumanegara-Kahuripan, Sriwijaya, Majapahit, Banten dan Negara Bandar.

Beberapa hari menjelang pameran, deadline tulisan makin meningkat, kurang tidur, kelelahan, capek dan muak bercampur baur.  O ya, saya juga mengurus artefak-artefak kuno yang akan ditampilkan, jadi harus berkoordinasi dengan pihak Museum Nasional dan juga Puslit.  Mulus?...hm, tidak juga.  Dengan pihak Puslit memang tidak ada masalah namun dengan pihak Museum Nasional, wah seperti menginjak kerikil tajam dikarenakan beberapa hal seperti informasi yang tidak sampai menyebabkan saya diomeli oleh kepala koleksi..hu..hu..hu.
Asad Mana, pelaut ulung dan penggiat Kapal Pustaka
Namun ajaib, mendekati hari pameran segala permasalahan menemukan pemecahannya, komunikasi membaik bahkan saya menjadi akrab dengan beberapa personil Museum Nasional, salah satunya dengan bagian registrasi, yaitu mas Gunawan.  Saya banyak mendapat bantuan dari pria yang ternyata tinggal di Citayam ini.

Sehari sebelum pembukaan, para pekerja 24 jam menyelesaikan dekorasi pameran.  Masing-masing bagian sibuk mengkoreksi kembali apa-apa yang salah.  Hasil print out yang dipakai untuk melapisi dinding berdatangan.  Pelapis dinding pameran merupakan hasil repro dan foto dari fotografer Danny Tumbelaka.  Beberapa arsitek yang sukarela melibatkan diri dalam pameran ini terlihat sibuk. Seperti Artyan yang menangani linimasa Banten.

Lelah dan jenuh yang dirasakan saat menyelesaikan satu persatu bahasan linimasa mencapai puncaknya saat hari pembukaan. Saya tidak menyangka akan selelah itu karena mengatur pengeluaran benda pameran ternyata butuh kesabaran ekstra, banyak yang masih belum selesai seperti caption untuk masing-masing benda baru diprint saat itu.

Puncak kelelahan segera berganti menjadi rasa lega saat tamu-tamu berdatangan memasuki lobby Museum.  Ternyata acara pembukaan menjadi hits tersendiri.  Beberapa sosialita terlihat berseliweran.  Anies Baswedan yang memang dijadwalkan membuka acara pun ternyata memerlukan datang dan tidak diwakilkan.
Stand khusus melukis utk anak
Yang digarisbawahi dalam penyelenggaraan pameran ini adalah kami ini bukan sejarawan.  Tidak ada satupun dari kami yang mengambil mata kuliah sejarah.  Jadi kami adalah orang-orang biasa yang mencoba menampilkan sejarah dari sudut pandang orang biasa. Namun kami beruntung karena kami selalu dibantu oleh para ahli yang kompeten yang selalu bersedia kami ganggu dengan pertanyaan-pertanyaan sebodoh apapun.  Bahkan mereka bersedia datang dan mengisi beberapa sesi acara kami.

Mengkomunikasikan acara ini ke publik via sosmed pun merupakan PR tersendiri, karena kami bukan penggiat sosmed dengan follower ratusan ribu.  Sekali lagi karena kami dibantu oleh komunitas-komunitas populer macam Layaria, beritagar dan kenal dengan beberapa travel blogger akhirnya Museum Week-Jalur Rempah pun goes viral.

Hari pertama, hari Senin suasana pameran belum terlalu ramai, namun Selasa dan hari-hari berikutnya terutama hari libur sungguh menggembirakan.  Begitu pun acara-acara yang menyertai pameran seperti Arkeolog Bercerita, Antropolog Bercerita, Jamuan Negeri Rempah sampai acara dongeng anak pun dipadati pengunjung.

Sesi talkshow "Rempah dan Seks"mengundang Zoya Amirin sebagai pembicara dan tentu saja Mak Erot, tepatnya Haji Syaefulloh, cucu Mak Erot.  Mak Erot yang sudah meninggal mewariskan kepandaiannya pada pak Haji.  Nah itu mengundang perhatian sendiri.  Zoya dengan presentasi provokatif ala akademisi sementara Haji Syaefulloh dengan kultur tradisinya.
Mandar Corner

Kelompok Kapal Pustaka datang langsung meramaikan dengan pameran buku sederhana, sekaligus mengumpulkan buku-buku yang diserahkan oleh para pengunjung untuk perpustakaan laut mereka. Ridwan Mandar, aktivis sekaligus pegiat Kapal Pustaka juga giat berbagi kisah.

Perahu Padewakang khas Mandar didatangkan khusus untuk dipajang di halaman Museum, lengkap dengan nakhoda dan pembuatnya.  Saya berkenalaan  dengan bapak Asad Mana, nakhoda kapal yang berumur 80 tahun.  Pak Asad ini pernah mengawal kapal Sandeq, kapal tercepat Austronesia asli Mandar menuju Brest, Perancis dari Sulawesi.  Lalu ada Mulyadi, pria asli Mandar yang juga pegiat Pustaka Sulawesi sekaligus panitia Sandeq Race.
Tampilan depan sehari sebelum pembukaan, dan masih berantakan

Semula saya menyangka setelah pameran berjalan, selesailah tugas saya dan tinggal menikmati. Ternyata tugas terakhir yang dadakan datang yang cukup membuat saya kebingungan.  Menjadi moderator untuk sesi Arkeologi Berbagi mengenai Barus.  Mengerikan, karena Barus itu kota yang sangat penting.  Di linimasa ia menempati tempat pertama.  

Alasan panitia lain menempatkan saya sebagai moderator, karena saya satu-satunya yang membaca buku tentang Barus dan melakukan perjalanan ke sana bersama team, hahahah cetek banget ya alasannya.  Tapi karena memang tak ada orang lain lagi, jadilah saya moderator dadakan dengan narasumber Sonny Wibisono, Arkeolog dan peneliti senior dari Puslit Arkenas.  Hasilnya...hahahah, ngakak guling-guling. Tapi diskusi tentang Barus ini ternyata mengundang lumayan banyak pengunjung.  Mungkin karena Barus yang memang terkesan misterius.  Bahkan ada penanya yang melantur sampai ke kapal bermuatan emas yang katanya tenggelam di perairan Barus :)

Lalu giliran tema diskusi Negara Laut Sriwijaya yang sangat membetot perhatian pengunjung.  Kursi-kursi yang disediakan terisi penuh.  Pengunjung dengan sabar menunggu kedatangan arkeolog spesialis Sriwijaya, Bambang Budi Utomo yang agak terlambat.  Ternyata penampilan pak Bambang tidak mengecewakan.  Makalah beliau ditunjang dengan gayanya yang lugas membuat diskusi berlangsung hangat, pertanyaan pun susul menyusul diajukan.

National Geographic Indonesia pun tak ketinggalan.  Mereka menurunkan teamnya seperti Senior Text Editor, Visual Director dan Kartografer untuk berbagi pengalaman.  Berkat mereka pula kami bisa menghubungi Agni Malagina dan Feri Latief, Sinolog dan Fotografer untuk mengisahkan pengalaman mereka menelusuri Jalur Cendana, jalur rahasia perdagangan cendana antara Timor dan Macau.

Linimasa Sriwijaya, paling sangar



Sesi terakhir, Dukun Sakti dari Barus juga memancing kehebohan.  Antropolog Kesehatan, Profesor Rusmin Tumanggor berduet dengan Sammy not a Slim Boy benar-benar bikin geger ruangan.  Kedua manusia Batak tersebut dengan keahlian masing-masing benar-benar menutup week end sore itu dengan riuh rendah.
Selain komentar positif, kami juga banyak menerima kritik.  Dari yang sempat terbalik menempatkan caption nama-nama rempah sampai kritikan karena pendeskripsian subyek yang masih di permukaan belum menukik ke dalam.  Tentu saja kritik-kritik tersebut sangat berguna sebagai evaluasi agar bisa lebih baik di pameran berikutnya.

Tercatat 11 ribu pengunjung mendatangi pameran Jalur Rempah selama 10 hari.  Cukup menggembirakan.  Namun kami juga dituntut untuk memperbaiki sejumlah kelemahan yang masih terdapat dalam penyajian data.  Dan akan segera dilakukan sebelum pameran berikutnya tahun depan.


Tidak ada komentar: