Konvensi
Jenewa itu dibuat oleh pemenang. Di sini karena kita yang menang kalau
perlu kita buat konvensi Jakarta".
Demikian
ketus Adi Zulkadry.
collider.com |
Dialog
absurb itu merupakan penggalan dari film The Act of Killing, film dokumenter
yang disebut-sebut dinominasikan untuk mendapat Oscar sebagai film asing
terbaik.
Film
ini menambah rentetan panjang catatan tentang pembantaian manusia pasca G30S
sekaligus menyambung polemik yang tak kunjung usai.
Anwar
Congo
tokoh utama dalam film itu menggambarkan bagaimana ia membunuh orang-orang yang
dianggap sebagai anggota PKI di Medan. Dengan lugas ia memperagakan teknik
jeratan agar darah tidak banyak mengalir. Bersama teman-temannya dari Pemuda Pancasila ia menduduki meja
yang kakinya menindih batang leher manusia (diperagakan dengan karung), sambil
berbincang-bincang menunggu orang malang itu mati.
Adi
Zulkadry, teman Anwar tak kalah seru mengisahkan tindakannya bak koboi menikam
orang-orang cina yang dijumpainya di jalan, bahkan calon mertuanya pun ditikam
dan mayatnya dibuang.
Film ini semakin menarik karena menampilkan Jusuf Kalla yang
tersenyum menggunakan jaket Pemuda Pancasila dan berpidato di hadapan anggota
PP. Seorang tokoh deputi menteri Pemuda dan Olahraga di suatu adegan juga
memekikkan slogan anti PKI di depan massa PP setelah sebelumnya ia menyapa
sambil tertawa kepada orang-orang yang menyambutnya sebagai para pembunuh
Jangan
disangka Anwar dan Adi berpenampilan sangar. Anwar justru terlihat seperti
kakek yang periang dan lembut hati. Sementara Adi terlihat seperti bapak
dari keluarga kelas menengah yang bahagia.
Apa
boleh buat sebagai orang yang bernurani, kita boleh memaki-maki mereka. Namun
mereka juga hanyalah bagian dari histeria massal saat itu. Bukan cuma Anwar dan
Adi, ratusan pemuda NU dan elemen organisasi lainnya juga terlibat dalam
perburuan massal anggota PKI.
Dalam
tanda kutip, negara dan tentara melegalkan tindakan pembunuhan masal itu dengan
diam. Para pelaku merasa tindakan mereka legal. Kondisi yang sama saat
para perwira Nazi ditanya tentang pembantaian Yahudi, atau bahkan para mandor
yang menyiksa ribuan pekerja pembuat jalur De Grote Posweg sampai mati pada
masa Daendels. SAH, karena Negara mendiamkan.
Gus
Dur pernah
meminta maaf atas nama NU untuk tragedi masa lalu itu. Namun tak semua pihak
bisa menerima. Kedua kubu, yang menang dan yang kalah sama-sama merasa punya
alasan untuk membenarkan tindakan masing-masing.
Pram,
sastrawan alumni
pulau Buru menulis
surat panjang mengapa ia menolak permintaan maaf Gus Dur yang dijawab oleh
Goenawan Mohammad dengan sama panjangnya.
Baik
Pram, GM, Gus Dur dan nama-nama lainnya berhak berpendapat dengan latar
belakang masing-masing.
Gus
Dur dengan alasan kemanusiaan dan Pram ingin tidak cuma sekedar minta maaf tapi
juga penegakkan hukum. Serta GM dengan alasan tertentu yang hanya ia yang tahu.
Saya
setuju dengan pernyataan Franz Magnis, permintaan maaf bukan berarti menghapus
dosa namun mengakui bahwa dosa itu memang ada.
Dengan
tragedi jahanam ini pemerintah memang seharusnya lebih jeli melihat efek dari
dendam masa lalu yang dibiarkan berkembang menjadi pemahaman sesat.
Mendiamkan
tragedi pasca tahun 65 dengan harapan akan mereda dengan sendirinya karena
kematian saksi dan tokoh utama satu persatu malah akan membuat generasi muda
kehilangan hormat dan kepercayaan.
Lalu
apa yang dapat diharapkan dari pemerintah yang tak lagi dipercaya?
Jangan
lupa, dalam pembukaan film The Act of Killing ada text yang menyebutkan:
dalam
satu tahun atas bantuan Negara Barat lebih dari satu juta orang komunis
dibantai.
Sungguh
ironis film ini menjadi nominasi di acara yang tuan rumahnya adalah
Negara Barat itu sendiri. Tuan rumah sekaligus sponsor utama pembantaian.
1 komentar:
setiap negara punya luka sejarah masing-masing, bahkan di negara yang disebut-sebut negara pancasilais
Posting Komentar