21 Januari 2014

The Act of Killing: Kala Jagal Berkisah




Konvensi Jenewa itu dibuat oleh pemenang.  Di sini karena kita yang menang kalau perlu kita buat konvensi Jakarta".

Demikian ketus Adi Zulkadry. 

collider.com
Dialog absurb itu merupakan penggalan dari film The Act of Killing, film dokumenter yang disebut-sebut dinominasikan untuk mendapat Oscar sebagai film asing terbaik.

Film ini menambah rentetan panjang catatan tentang pembantaian manusia pasca G30S sekaligus menyambung polemik yang tak kunjung usai.

Anwar Congo tokoh utama dalam film itu menggambarkan bagaimana ia membunuh orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI di Medan. Dengan lugas ia memperagakan teknik jeratan agar darah tidak banyak mengalir. Bersama teman-temannya dari Pemuda Pancasila ia menduduki meja yang kakinya menindih batang leher manusia (diperagakan dengan karung), sambil berbincang-bincang menunggu orang malang itu mati.


Adi Zulkadry, teman Anwar tak kalah seru mengisahkan tindakannya bak koboi menikam orang-orang cina yang dijumpainya di jalan, bahkan calon mertuanya pun ditikam dan mayatnya dibuang.

Film ini semakin menarik karena menampilkan Jusuf Kalla yang tersenyum menggunakan jaket Pemuda Pancasila dan berpidato di hadapan anggota PP.  Seorang tokoh deputi menteri Pemuda dan Olahraga di suatu adegan juga memekikkan slogan anti PKI di depan massa PP setelah sebelumnya ia menyapa sambil tertawa kepada orang-orang yang menyambutnya sebagai para pembunuh

Jangan disangka Anwar dan Adi berpenampilan sangar. Anwar justru terlihat seperti kakek yang periang dan lembut hati.  Sementara Adi terlihat seperti bapak dari keluarga kelas menengah yang bahagia.

Apa boleh buat sebagai orang yang bernurani, kita boleh memaki-maki mereka. Namun mereka juga hanyalah bagian dari histeria massal saat itu. Bukan cuma Anwar dan Adi, ratusan pemuda NU dan elemen organisasi lainnya juga terlibat dalam perburuan massal anggota PKI.

Dalam tanda kutip, negara dan tentara melegalkan tindakan pembunuhan masal itu dengan diam. Para pelaku merasa tindakan mereka legal.  Kondisi yang sama saat para perwira Nazi ditanya tentang pembantaian Yahudi, atau bahkan para mandor yang menyiksa ribuan pekerja pembuat jalur De Grote Posweg sampai mati pada masa Daendels. SAH,  karena Negara mendiamkan.

Gus Dur pernah meminta maaf atas nama NU untuk tragedi masa lalu itu. Namun tak semua pihak bisa menerima. Kedua kubu, yang menang dan yang kalah sama-sama merasa punya alasan untuk membenarkan tindakan masing-masing.

Pram, sastrawan alumni pulau Buru menulis surat panjang mengapa ia menolak permintaan maaf Gus Dur yang dijawab oleh Goenawan Mohammad dengan sama panjangnya.

Baik Pram, GM, Gus Dur dan nama-nama lainnya berhak berpendapat dengan latar belakang masing-masing.

Gus Dur dengan alasan kemanusiaan dan Pram ingin tidak cuma sekedar minta maaf tapi juga penegakkan hukum. Serta GM dengan alasan tertentu yang hanya ia yang tahu.

Saya setuju dengan pernyataan Franz Magnis, permintaan maaf bukan berarti menghapus dosa namun mengakui bahwa dosa itu memang ada.

Dengan tragedi jahanam ini pemerintah memang seharusnya lebih jeli melihat efek dari dendam masa lalu yang dibiarkan berkembang menjadi pemahaman sesat.

Mendiamkan tragedi pasca tahun 65 dengan harapan akan mereda dengan sendirinya karena kematian saksi dan tokoh utama satu persatu malah akan membuat generasi muda kehilangan hormat dan kepercayaan.

Lalu apa yang dapat diharapkan dari pemerintah yang tak lagi dipercaya?

Jangan lupa, dalam pembukaan film The Act of Killing ada text yang menyebutkan:
dalam satu tahun atas bantuan Negara Barat lebih dari satu juta orang komunis dibantai.

Sungguh ironis film ini menjadi nominasi di acara yang tuan rumahnya  adalah Negara Barat itu sendiri.  Tuan rumah sekaligus sponsor utama pembantaian.

1 komentar:

joe mengatakan...

setiap negara punya luka sejarah masing-masing, bahkan di negara yang disebut-sebut negara pancasilais