Kasih Ibu memang sepanjang hayat.
Tak ada ibu mana pun yang tidak penasaran tatkala kematian menjemput sang anak secara tidak wajar. Mati memang teritori mutlak yang empunya Kehidupan, namun tidak dosa rasanya bila mempertanyakan penyebab maut menjemput.
Tidak ada yang salah jika sekelompok orang tua di awal tahun 2007 berdiri tegak dalam diam di depan Istana Merdeka. Wajah mereka yang dihiasi garis-garis pengalaman memandang jauh ke arah gedung agung tersebut.
Gerakan yang terinspirasi oleh aksi serupa di depan Plaza De Mayo di Buenos Aires, Argentina di mana sekelompok Ibu juga melakukan aksi damai tiap Kamis sore sebagai bentuk protes atas penghilangan nyawa anggota keluarga terkasih.
Jika orang lain menyebut aksi tersebut terinpirasi oleh gerakan Madres de Plaza de Mayo, saya malah teringat dengan tradisi pepe jaman Jawa kuno, di mana para penduduk mengadakan protes dengan aksi diam di tengah alun-alun kerajaan. Mereka menghentikan pepe setelah Raja atau pejabat yang berwenang turun dan menjawab tuntutan mereka.
Kamis sore ini sudah tahun ketujuh, Kamis ke 339 bagi para lansia tersebut mendendangkan lagu lirih tentang duka kehilangan orang-orang terkasih. Banyak di antara mereka yang telah meninggal, namun yang meninggal segera digantikan oleh yang muda. Esa hilang dua terbilang. Mereka berdiri dengan berpakaian hitam, berpayung hitam dari jam 16:00 s/d 17:00. Sudah 339 lembar surat dikirimkan melalu pengawal istana. Dibacakah surat-surat itu? Entahlah.
Salah satu yang masih bertahan adalah seorang ibu bertubuh mungil dengan rambut yang telah memutih sepenuhnya, ibu Sumarsih, ibunda dari Benardinus Realino Norma Irawan. Mahasiswa yang tewas dalam kerusuhan di depan Trisakti tahun 1998.
Dengan nada bergetar ibu Sumarsih mengatakan aksi Kamisan ini akan tetap berlangsung sampai peserta tinggal tiga orang. Suami ibu Sumarsih juga sudah meninggal setelah beberapa lama menyertai aksi ini. Praktis perempuan tua ini sebatang kara.
Masih ada ibu Ruyati, perempuan berjilbab yang bahkan tampak lebih tua dari ibu Sumarsih itu tampak tenang memandangi anak muda yang sedang berorasi di tengah lingkaran. Tangannya memegangi spanduk ungu bersama rekan manulanya.
Anak sulung ibu Ruyati tewas dalam kebakaran mall Klender saat aksi kerusuhan Mei 1998. Saat itu pintu mall mendadak ditutup dan dibakar sehingga ratusan orang di dalamnya mati gosong.
"Tanda pengenalnya mulus tak terbakar, namun tubuhnya sudah jadi abu." begitu ibu Ruyati berujar dengan tenang. Wajahnya nampak pasrah. Namun saya dapat meraba bagaimana raut mukanya 16 tahun yang lalu, yang membuat dirinya berteguh setia menyusuri jalan dari Pondok Kopi - Istana Merdeka saban Kamis.
Saya mengenali wajah Elang Mulia Lesmana saat menatap foto-foto korban yang diletakkan di atas selembar kain hitam yang dihamparkan di aspal jalanan. Elang, mahasiswa rekan Norma Irawan yang juga tewas dalam kerusuhan. Selain itu ada korban-korban hilang akibat ekses G30S, dan geger Talangsari
"Ayah Elang sudah meninggal beberapa waktu yang lalu." tiba-tiba suara Ibu Sumarsih membuyarkan konsentrasi.
Perasaan nyeri mulai menjalar. Saya pun membuang muka, mata segera menyambar payung hitam bertuliskan nama Munir. Di bawah payung hitam itu ada wajah seorang pria tua diam tanpa ekspresi menatap jalanan. Para lansia ini harus melalui hari-harinya dengan getir menatap masa depan yang tak pasti.
Rekomendasi Komnas HAM atas peristiwa memilukan itu bak ditiup angin lalu. Pidato Presiden yang penuh janji tampaknya menjadi omong kosong sekedar penghias wacana.
"Sampai bertemu Kamis depan, minggu depan kita akan memperingati peristiwa Talangsari." demikian ibu Sumarsih memberikan penutup sore, mengakhiri gerakan.
Kamisan sore itu pun bubar, para peserta kembali ke rumah masing-masing dengan membawa segenggam asa yang rasanya tidak muluk-muluk, semoga pemerintah minggu depan berkenan membuka nurani sebelum tiba waktu mereka kembali pada Sang Khalik.
Tak ada ibu mana pun yang tidak penasaran tatkala kematian menjemput sang anak secara tidak wajar. Mati memang teritori mutlak yang empunya Kehidupan, namun tidak dosa rasanya bila mempertanyakan penyebab maut menjemput.
Tidak ada yang salah jika sekelompok orang tua di awal tahun 2007 berdiri tegak dalam diam di depan Istana Merdeka. Wajah mereka yang dihiasi garis-garis pengalaman memandang jauh ke arah gedung agung tersebut.
Gerakan yang terinspirasi oleh aksi serupa di depan Plaza De Mayo di Buenos Aires, Argentina di mana sekelompok Ibu juga melakukan aksi damai tiap Kamis sore sebagai bentuk protes atas penghilangan nyawa anggota keluarga terkasih.
Jika orang lain menyebut aksi tersebut terinpirasi oleh gerakan Madres de Plaza de Mayo, saya malah teringat dengan tradisi pepe jaman Jawa kuno, di mana para penduduk mengadakan protes dengan aksi diam di tengah alun-alun kerajaan. Mereka menghentikan pepe setelah Raja atau pejabat yang berwenang turun dan menjawab tuntutan mereka.
Kamis sore ini sudah tahun ketujuh, Kamis ke 339 bagi para lansia tersebut mendendangkan lagu lirih tentang duka kehilangan orang-orang terkasih. Banyak di antara mereka yang telah meninggal, namun yang meninggal segera digantikan oleh yang muda. Esa hilang dua terbilang. Mereka berdiri dengan berpakaian hitam, berpayung hitam dari jam 16:00 s/d 17:00. Sudah 339 lembar surat dikirimkan melalu pengawal istana. Dibacakah surat-surat itu? Entahlah.
Salah satu yang masih bertahan adalah seorang ibu bertubuh mungil dengan rambut yang telah memutih sepenuhnya, ibu Sumarsih, ibunda dari Benardinus Realino Norma Irawan. Mahasiswa yang tewas dalam kerusuhan di depan Trisakti tahun 1998.
Dengan nada bergetar ibu Sumarsih mengatakan aksi Kamisan ini akan tetap berlangsung sampai peserta tinggal tiga orang. Suami ibu Sumarsih juga sudah meninggal setelah beberapa lama menyertai aksi ini. Praktis perempuan tua ini sebatang kara.
Masih ada ibu Ruyati, perempuan berjilbab yang bahkan tampak lebih tua dari ibu Sumarsih itu tampak tenang memandangi anak muda yang sedang berorasi di tengah lingkaran. Tangannya memegangi spanduk ungu bersama rekan manulanya.
Anak sulung ibu Ruyati tewas dalam kebakaran mall Klender saat aksi kerusuhan Mei 1998. Saat itu pintu mall mendadak ditutup dan dibakar sehingga ratusan orang di dalamnya mati gosong.
"Tanda pengenalnya mulus tak terbakar, namun tubuhnya sudah jadi abu." begitu ibu Ruyati berujar dengan tenang. Wajahnya nampak pasrah. Namun saya dapat meraba bagaimana raut mukanya 16 tahun yang lalu, yang membuat dirinya berteguh setia menyusuri jalan dari Pondok Kopi - Istana Merdeka saban Kamis.
Saya mengenali wajah Elang Mulia Lesmana saat menatap foto-foto korban yang diletakkan di atas selembar kain hitam yang dihamparkan di aspal jalanan. Elang, mahasiswa rekan Norma Irawan yang juga tewas dalam kerusuhan. Selain itu ada korban-korban hilang akibat ekses G30S, dan geger Talangsari
"Ayah Elang sudah meninggal beberapa waktu yang lalu." tiba-tiba suara Ibu Sumarsih membuyarkan konsentrasi.
Perasaan nyeri mulai menjalar. Saya pun membuang muka, mata segera menyambar payung hitam bertuliskan nama Munir. Di bawah payung hitam itu ada wajah seorang pria tua diam tanpa ekspresi menatap jalanan. Para lansia ini harus melalui hari-harinya dengan getir menatap masa depan yang tak pasti.
Rekomendasi Komnas HAM atas peristiwa memilukan itu bak ditiup angin lalu. Pidato Presiden yang penuh janji tampaknya menjadi omong kosong sekedar penghias wacana.
"Sampai bertemu Kamis depan, minggu depan kita akan memperingati peristiwa Talangsari." demikian ibu Sumarsih memberikan penutup sore, mengakhiri gerakan.
Kamisan sore itu pun bubar, para peserta kembali ke rumah masing-masing dengan membawa segenggam asa yang rasanya tidak muluk-muluk, semoga pemerintah minggu depan berkenan membuka nurani sebelum tiba waktu mereka kembali pada Sang Khalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar