08 Februari 2014

Tuan Tanah Dramaga di Bogor Barat

Tersembunyi di balik himpitan rumah dengan akses jalan kampung yang sempit dan bergelombang, orang tidak ada yang menyangka bahwa ada satu area dengan pilar-pilar besar yang tegak seakan menyambut tamu.




Di penghujung barisan pilar itu nampak bangunan putih berkubah dengan arsitektur klasik. Mirip bangunan-bangunan di Eropa sana.
Keheningan segera menyergap, tidak ada siapa pun di tempat ini, namun telinga saya menangkap suara tertawa dari arah rumah penduduk sekitar situ.  Cuaca yang mendung juga menyumbang kesan suram dari bangunan putih itu.



Walaupun kondisi bangunan terlihat tak terawat, cat putih kusam dengan coretan di sana sini, kubah yang menghitam, kabarnya karena sering tersambar petir namun tidak mengurangi kegagahan dan keelokkan wadag warisan abad 19 tersebut.  Cungkup kubah menurut plang penunjuk cagar budaya meniru kubah Basilica Santo Petrus di Roma, Italia.




Begitu pula dengan pilar-pilar besar yang ternyata adalah nisan, walaupun banyak yang sudah miring dan berlumut, kesan anggun dan megah tak juga hilang.

Luas area yang dikenal dengan nama mausoleum Van Motman ini sekitar 600 m2, padahal dahulu kabarnya luas tanah awal adalah sekitar 3000 m2.
Rumput liar walaupun tidak terlalu tinggi melapisi jalur sekitar mausoleum, lumayan untuk mengalasi langkah agar tidak terjebak dalam tanah becek.



Petunjuk yang berada di sisi jalan utama tadi yang terbaca adalah museum pilar, satu-satunya penanda lokasi setelah berjalan sekian lama menyusuri jalanan hancur dari Parung.  Tepatnya berada di kampung Pilar, desa Sibanteng (bukan Cibanteng ya), Leuwisadeng , Bogor Barat., cukup jauh dari Bogor kota tepatnya di Bogor wilayah barat.  Menurut petunjuk mas Mahandis Yoanata kampung ini bisa dicapai melalui jalur Ciampea.

Mausoleum ini adalah makan keluarga Van Motman, ada 32 jenazah dikuburkan di tempat ini dengan pilar berjumlah sekitar 12 atau 13.  Bahkan menurut cerita dalam bangunan mauoleum terdapat 4 mumi yang diletakkan dalam kotak kaca seperti laci sehingga tinggal digeser apabila ada anggota keluarga yang hendak melihat.  Tentu saja mumi itu sekarang sudah tidak ada.


Tidak hanya di kampung Pilar ini saja, makam keluarga Van Motman juga ada di museum Prasasti Tanah Abang, ada sekitar 4 orang yang dimakamkan di sana.

Adalah Gerrit Willem Casimir (GWC) Van Motman, pemuda Belanda yang mengadu nasib ke Hindia tepatnya ke Batavia pada akhir abad 18. Setelah 2 tahun menjadi clerk rendahan untuk VOC ia merangkak menjadi administratur gudang baja di Batavia sebelum pindah mengurusi gudang kopi di Bogor (Buitenzorg).

dari web familie van motman

Awal abad 19 pangkatnya sudah mencapai mayor dan setelah VOC bangkrut GWC menjadi pemilik tanah di sejumlah lokasi di Bogor.  Dalam peta resmi keluarga Van Motman, terdapat 14 titik yang merupakan perkebunan milik keluarga van Motman yaitu Bolang, Sading Djamboe, Djasinga, Dramaga, Goenoeng Rosa, Nanggoeng, Pasir Langkap, Pondok Gede, Roempin, Semplak, Tjiampea, Tjikandi Ilir, Tjikandi Oedik, Tjikoleang, Trogong yang luas seluruhnya diperkirakan lebih dari 117,000 ha


Tanaman yang diproduksi adalah tanaman perkebunan dan pertanian yang bernilai tinggi teh, kopi, kina, sereh wangi dan beras. Ada juga sarang burung walet, mengingat perbukitan karst di daerah Ciampea dikenal dengan gua-gua yang menjadi tempat walet bersarang.

GWC sempat menjabat sebagai residen Priangan di tahun 1816 selama beberapa tahun sebelum wafat tahun 1820 di Dramaga, Bogor serta kabarnya dimakamkan di pemakaman ini.  GWC mendukung proyek jalan raya pos Daendels mengingat sebagai tuan tanah ia ingin hasil perkebunannya dapat dipasarkan secepatnya ke luar daerah.

Saat Daendels memerintahkan pengerjaan De Grote Posweg, GWC lah yang ditugaskan sebagai komisioner proyek jalan pos tersebut.  Jalur berat yaitu Megamendung yang menghubungkan Cisarua dengan Cianjur berada di bawah pengawasannya langsung karena harus memotong lereng gunung.

GWC membangun sebuah rumah besar di kawasan Dramaga sebagai kediaman resmi keluarga Van Motman yang kemudian dikenal sebagai Groot Dramaga sekarang menjadi wisma tamu IPB, sebuah rumah dengan 20 kamar, kolam yang cantik dan halaman dengan kuda-kuda poni belum lagi belasan pelayan yang berseliweran.




GWC dan istrinya yang kedua Reiniera Jacoba dikaruniai 5 orang anak lelaki.  Anak yang kedua, Jacob Gerrit Theodoor menurunkan Pieter Reinier Van Motman yang namanya terukir di atas pintu masuk mausoleum.  Ke tangan Jacob inilah GWC mewariskan tanah Dramaga dan Jasinga.

Seiring berjalannya waktu tampaknya luas lahan Van Motman semakin mengecil karena ada kabar yang menyatakan lahan keluarga Van Motman sebagian berpindah ke tangan pengusaha WA Baud, pria keturunan Jerman pemilik Cultuur Ondernemingen van Maatschappij di Jatinangor.
 
Tahun 1958 adalah pemulangan besar-besaran semua orang Belanda di Indonesia.  Mereka harus kembali ke Belanda meninggalkan aset mereka di Indonesia, tak terkecuali buat keluarga Van Motman.  Rumah besar di Dramaga berikut ratusan hektar perkebunan menjadi milik pemerintah Indonesia.

Mausoleum ini sekarang dijaga oleh Pak Ucu, anak dari Haji Muhamad Sumatra yang juga ditugaskan oleh keluarga Van Motman untuk menjaga makam ini.


Menurut Rohilawati saudara perempuan pak Ucu, kondisi mausoleum sekarang akibat penjarahan yang dilakukan sekitar tahun 1975 oleh masyarakat sekitar.  Marmer asli buatan italia yang dulu menghiasi mausoleum dan pilar habis dicongkel begitu pula luas tanah yang semula lebih dari 3000 m2, kini tinggal 600 m2 yaitu sekitaran pilar dan bangunan, karena telah dikapling-kapling tanpa ijin oleh lurah setempat.  

Penjarahan itu dilakukan saat pak Haji Sumatra telah meninggal, karena saat masih hidup sebagai pensiunan ABRI, nama beliau cukup disegani di daerah Leuwiliang. 
Saat ini keadaan mausoleum sangat menyedihkan padahal saat melihat dokumentasi online dari Troppen Museum, foto di tahun 1938 menunjukkan keadaan makam yang megah dimana pilar-pilar masih berdiri tegak dan mausoleum masih terawat dengan baik.

Kata Rohilawati lagi, masih sering generasi Van Motman ramai-ramai berkunjung ke makam, namun karena ini sudah menjadi milik pemerintah Indonesia, tentu saja mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk memugar makam tanpa seijin pemerintah karena sudah terdapat plang cagar budaya di sisi area makam.

Lagi-lagi ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menjaga tempat-tempat cagar budaya agar tidak hilang sehingga ingatan akan perjalanan sejarah identitas Indonesia tidak lenyap begitu saja.

Catatan:
Jika ingin melihat situs keluarga Van Motman, silakan masuk ke  familievanmotman
atau bisa juga berkunjung ke http://mahandisyoanata.blogspot.com/2011/10/the-gerrit-willem-casimir-van-motman.html


Tidak ada komentar: