18 Februari 2014

Sangego yang legendaris


Suasana kota lama yang khas mulai terasa saat memasuki jalan Merdeka yang terletak tepat di tepi sungai Cisadane.  Jalan ini kalau tidak salah berada tepat di belakang pasar lama Tangerang dan merupakan pemukiman Cina Benteng.  Di sisi jalan tepat menghadap sungai, pemerintah kota membangun taman sepanjang sungai yang cukup teduh dan rapi sebagai tempat warga duduk menikmati pemandangan.


Dari jalan Merdeka berbelok ke kiri melewati jembatan dan berbelok kanan mengikuti alur sungai maka akan bertemu bentangan sungai dari arah lain.  Mengikuti jalan maka kita akan menemukan sebuah bangunan Pintu air.

Pintu Air ini berdiri melintang memotong badan sungai Cisadane, dari sisi satu ke seberangnya kurang lebih sepanjang 110 meter.



Fisiknya yang kekar dengan cat abu-abu dengan hiasan merah nampak mencolok mata.  Menarik perhatian siapa pun yang melihatnya.  Namun karena para pelintas jalan raya sudah amat terbiasa melihat bangunan ini sehingga tidak ada yang istimewa menurut mereka.

Kalau menurut saya? Pintu air atau bendung yang merangkap jembatan karena bisa dilalui pejalan kaki ini luar biasa elok.  Dengan sepuluh pintu air yang besar-besar untuk mengatur limpahan air sungai dan tinggi sekitar 15 meter, bendung yang mulai dibangun pada tahun 1921 ini memang memikat.  

Terletak di jalan Sangego, kota lama Tangerang, bangunan ini seakan melengkapi icon kota Tangerang lama yang mempunyai banyak peninggalan bersejarah.  Bendung ini dikenal dengan Pintu Air 10 atau Bendung Sangego.  Namun yang tertulis di bagian atas dinding bendung adalah nama bendung Pasarbaru.



Belanda yang terkenal jago dalam membangun kanal dan bendungan memang meniatkan pintu air ini sebagai pertahanan sekaligus irigasi.  Manfaatnya terasa hingga sekarang.

Bagi warga Tangerang kini, bendung ini juga berfungsi sebagai sumber air untuk PDAM selain untuk irigasi yang dapat mengairi lahan seluas lebih dari 24 ribu hektar dan juga tempat rekreasi murah meriah.

Namun menurut kabar terakhir dua dari 10 pintu air mengalami kerusakan karena karat, penyebabnya utamanya karena memang pintu air ini tidak pernah diperbaiki sejak jaman Belanda.  Bukan main!!....kadang-kadang saya berpikir bahwa pemerintah kolonial banyak mewariskan bangunan-bangunan fungsional yang dengan daya tahan luar biasa di balik eksploitasi yang mereka lakukan.  Tugas kita adalah merawatnya agar tetap dapat berfungsi dengan baik.

Saat ini memang debit air tidak begitu banyak, tapi tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi saat curah hujan meningkat ekstrim seperti beberapa minggu lalu sementara pintu air tidak dapat dibuka maksimal.

Bendung Sangego memang memegang peranan penting dalam pengendalian air sungai Cisadane di Tangerang.

Di jalur tengah bendung pada sore hari banyak dipakai untuk memancing, berjalan-jalan atau bahkan pacaran.

Seperti hari ini, terlihat segerombolan anak sedang memancing ikan lele yang banyak bergerombol di sisi-sisi dinding pintu air.  Anak lele yang berhasil dikumpulkan lumayan banyak terlihat dari mulai penuhnya ember-ember kecil penampung ikan.

Sementara di tengah sungai yang nampaknya tidak begitu dalam, beberapa orang sedang menebar jaring. Memang hanya satu pintu air yang dibuka mengingat air dari hulu tidak membludak.  Terdengar suara bergemuruh dari pintu air yang dibuka.

Secara umum kondisi air walaupun keruh tapi tidak separah air sungai di Jakarta yang hitam berminyak.  Nampak sedikit sampah tersangkut di pintu penyaring.

Sayang jika malam hari bangunan ini gelap gulita, padahal alangkah bagusnya jika ada penerangan di sisi-sisi bendungan.


anak lele
Melengkapi kehadiran bendung tua ini, di seberang jalan terdapat tukang asinan betawi yang tak kalah topnya. Menurut bapak penjualnya ia sudah lama sekali berjualan di tempat itu, dari kota Tangerang lama yang jarang rumah sampai sekarang padat penduduk.

Cat yang melapisi dinding bendung juga berganti-ganti menurut si bapak.  "Tiap tujuh belasan pasti ganti mbak", 
saat saya mengomentari warna cat bangunan.

Sementara si bapak dan istrinya dengan lincah meracik asinan dalam piring-piring untuk diantar kepada pembeli yang sedang menunggu di meja panjang.
Saya memutuskan membeli asinannya dan mengobrol lebih lanjut, iseng ingin tahu berapa piring asinan yang dijual setiap harinya.  Ternyata bisa lebih dari 100 piring perhari dan bisa sampai 150 piring jika hari libur. 


"Jangan cuma senyum kalau dapat rejeki aja mbak, dapat rejeki atau tidak harus tetap senyum". kata si bapak lagi dengan logat betawi yang kental.  Saya manggut-manggut

Sepiring asinan berbumbu kacang yang medok dan pemandangan menakjubkan dari arsitektur pintu air akan membuat sore hari menjadi semakin menyenangkan.

Tidak ada komentar: