06 Maret 2014

Perang Ideologi dan Kekerasan Budaya

Kebudayaan merupakan pusat kehidupan suatu bangsa dan juga akumulasi perjalanan hidup yang dinamis dimana seluruh energi dan pikiran manusia dikeluarkan untuk menghadapi tantangan.

Barang siapa dapat mempengaruhi dan mengarahkan kebudayaan maka dialah pemenangnya. Jangan heran bila negara-negara maju tak segan menggelontorkan dana, mendirikan pusat-pusat kebudayaan di negara-negara dunia ketiga, dari pemberian beasiswa pendidikan, pekan film, distribusi buku-buku sampai cara berpakaian dan musik yang nantinya akan berpengaruh terhadap gaya hidup dan identitas masyarakat.

Kebudayaan pun dapat diarahkan berdasarkan situasi politik yang berlaku pada masa itu. Nah, pengaruh kebijakan politik itulah yang nantinya menentukan hidup matinya suatu ideologi yang berimbas pada segala sesuatu yang berhubungan kebudayaan.

Khususnya pasca tahun 1965.
Bagaimana peran-peran agen kebudayaan asing CCF (Congress for Cultural Freedom) dalam mensponsori gerakan anti komunis di Indonesia. Dana CCF yang ditanggung hampir tanpa batas oleh CIA memungkinkan untuk mereka melakukan infiltrasi terhadap para cerdik pandai.  Saat Soekarno makin cenderung bergeser ke kiri, para cendekiawan dari PSI dan Masyumi serta aktivis kebudayaan mulai membangun jaringan dengan Amerika. Tak bisa dilepaskan nama populer Ivan Kats yang disebut-sebut sebagai orang CIA yang menyusup sebagai staf CCF.

dari google


Indonesia di tahun 1960-an memang berada dalam situasi panas.  Friksi antara pendukung komunisme dan anti komunisme selalu menimbulkan pijar api, tentu saja kita selalu teringat dengan gebuk-gebukan antara Manikebu dan Lekra dalam memaknai sastra pada masa itu saat semboyan politik adalah panglima merajalela.  Kondisi yang membuat tentara khususnya para pimpinan Angkatan Darat ketar-ketir. 

Ahmad Yani dan Nasution, 2 pimpinan Angkatan Darat masa itu dikenal anti komunis.  Yani sebagai jenderal kesayangan Soekarno menghadapi dilema antara rasa setianya terhadap Presiden dan antipatinya terhadap komunisme.

Buku-buku dan musik berbau barat dilarang keras, yang boleh beredar adalah buku-buku aliran kiri yang sesuai dengan konsep Nasakom. Rasanya keadaan ini boleh dibilang hampir sama saat orde baru berkuasa, dimana yang dilarang adalah justru buku-buku beraliran kiri.  Sosialisme yang kerap diidentikkan dengan komunisme juga dianggap berbahaya walau pada kenyataannya paham sosialisme malah banyak dianut negara Barat.

Mochtar Lubis, sastrawan sekaligus pemimpin harian Indonesia Raya ditangkap dan surat kabarnya dibubarkan akibat menentang ideologi komunis ditambah permusuhannya dengan Soekarno. Grup band Koes Ploes pun dijebloskan ke penjara gara-gara musik yang disebut ngak-ngik-ngok, soal sepele, mereka menyanyikan lagu The Beatles, I Saw You Standing There.

Dan saya beranggapan ada kekerasan budaya yang dilakukan oleh pendukung komunis terhadap golongan anti komunis pada saat itu kalau melihat situasi politik pada masa itu.

Dalam kejenuhan atas pemaksaan ideologi kiri itulah, pemikiran-pemikiran bebas yang disebut sebagai liberalisme ala barat menjadi kian menarik.  Golongan Manikebu di antaranya adalah Goenawan Mohamad yang disebut berteman baik dengan Ivan Kats rasanya cukup berperan dalam menyebarluaskan paham liberal dengan proyek-proyek kebudayaannya.

Di kalangan cendekiawan seperti ekonom Soemitro dan Soedjatmoko, jauh-jauh hari sudah mempersilakan Amerika untuk berinvestasi di Indonesia.  Ford dan Rockeffeller Foundation kian aktif dalam pemberian beasiswa studi. Sementara mahasiswa pun jenuh dan muak dengan aksi-aksi partai komunis terlebih dengan para pembantu Soekarno yang dianggap tidak memberikan informasi yang benar tentang keadaan politik yang kian genting dan kemelaratan yang merajalela. Tentara melihat keadaan ini sebagai peluang untuk bertahan memanfaatkan para mahasiswa tersebut untuk berdiri di pihaknya sebagai sekutu.

Ketokohan Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi mendapat tantangan yang kian hebat.  Usianya yang kian menua, kesehatan yang makin memburuk dan kegemarannya akan wanita cantik membuatnya tak lagi tajam menganalisa apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Orang-orang kepercayaan Soekarno memanfaatkan keadaan ini dengan saling berebut pengaruh sambil menunggu kematiannya.

Adalah Soe Hok Gie, mahasiswa Fakultas Sastra UI ini merupakan tokoh mahasiswa terkemuka yang gerah dengan kelakuan para pejabat baik komunis maupun non komunis yang dianggap asal bapak senang. Pergaulannya yang luas dengan para peneliti asing seperti Herbert Faith, Benedict Anderson juga membawanya menjadi katalisator program anti komunis yang diusung oleh CCF juga kedekatannya dengan tentara cum sejarawan, Nugroho Notosusanto yang kelak merubah dengan telak pembacaan sejarah pasca 1965.

Siapa yang menyangka pertempuran ideologi komunis dan liberal yang terlihat seimbang serta merta berakhir dengan kemenangan telak pendukung anti komunis dalam hal ini tentara akibat kudeta misterius yang gagal.  

Tanpa membuang waktu Orde baru plus tentara segera membuat konsep baru yang merubah ingatan terhadap sejarah dan kebudayaan. Dengan sistem birokrasi yang ketat dan tertib buku-buku baru dicetak, film dan surat kabar diseleksi dengan ketat. Semuanya tak boleh menyinggung sedikit pun topik komunis dan sosialis yang dianggap musuh negara.

Film G30S PKI merupakan contoh paling nyata tentang suksesnya Orba mempengaruhi psikologi anak dan remaja yang lahir jauh sesudah masa 1965.  Film yang melibatkan sutradara terkemuka Arifin C. Noer, budayawan Arswendo Atmowiloto dan sudah tentu Nugroho Notosusanto menjadi senjata utama pemerintah menyebarkan kengerian akan teror komunis.

Karya sastra yang beredar juga meletakkan posisi orang-orang komunis sebagai lawan dari orang-orang yang percaya pada Tuhan. Tokoh-tokohnya digambarkan pada akhirnya merasa menyesal dan ingin kembali pada jalan Tuhan yang diidentikkan dengan golongan non komunis.

Sistem bersih diri, bersih lingkungan dan litsus diterapkan untuk mencuci bersih bau-bau komunis di pemerintahan sampai beberapa keturunan.  

Pada akhirnya kekerasan budaya memang terus menghantui selama perang ideologi tetap berlangsung.  Baik komunis maupun non komunis sama-sama pernah mengalami penindasan budaya.  Hanya saja berkat peran serta militer yang kebetulan berpihak pada non komunis serta bantuan dari negara-negara barat maka kekerasan budaya pasca 1965 mempunyai durasi lebih panjang dan masif.

Harapan tentu selalu ada, saat orde baru runtuh dan pintu-pintu kebebasan terbuka maka pergunakanlah kesempatan ini sebaik-baiknya untuk meneliti, membaca arsip-arsip yang terlupa baik karena terlarang atau karena kelalaian akibat politik bumi hangus.  Agar generasi berikutnya tidak lagi buta sehingga mudah ditipu dan dipengaruhi oleh budaya luar.

Referensi :
- Kekerasan Budaya Pasca 1965 (Wijaya Herlambang)
- Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran (LP3ES)
- Ali Moertopo & Dunia Intelejen Indonesia (M. Aref Rahmat)




Tidak ada komentar: