23 Maret 2014

Lembaga Anti Korupsi, Dulu dan Kini

Korupsi dan Gratifikasi.

Ribut-ribut pemberitaan itu selalu menemani hidup kita sehari-hari dari pagi hingga malam.  Mata dan kuping kenyang dibombardir berita para pejabat dan petinggi anu dari daerah A atau partai B yang dipanggil KPK untuk menghadapi sejumlah pertanyaan tentang asal muasal harta dan uang yang berseliweran di rekeningnya.


Tak heran jika penyelidikan tak pernah mulus tuntas karena melibatkan begitu banyak orang penting dengan skenario yang njelimet dan bertele-tele walaupun baunya sudah kemana-mana. Tidak ada kasus yang berdiri sendiri.


Ah ya, soal orang dekat Presiden yang disebut-sebut terlibat, tak usah heran.  Kalau mau ditelisik, Presiden pertama kita pun tak luput, disadari atau tidak terlibat dalam hal-hal yang berbau gratifikasi yang berujung pada intervensi kasus-kasus korupsi yang melibatkan orang dekat di lingkup kekuasaannya.  


Rasanya sudah menjadi rahasia umum bahwa istri Soekarno yang jelita, Ratna Sari Dewi yang semula bernama Naoko Nemoto adalah geisha dari klub malam Coppacabana, merupakan andalan Masao Kubo dari grup Tonichi untuk memuluskan bisnisnya di Indonesia.  Dan memang dengan masuknya Dewi menjadi anggota istana jalan para pengusaha dari negeri Sakura tersebut menjadi terbuka lebar untuk berbisnis di Indonesia.  Dewi pun dengan cerdas memanfaatkan kesempatan ini, lepas dari Masao, ia menjalin kedekatan dengan grup Konishita dan orang-orang penting di Jepang.  Ratna Sari Dewi Soekarno menjadi pintu lobi utama bagi pengusaha Jepang pada saat itu.  Disengaja maupun tidak celah korupsi memang sudah dibuka lebar oleh penghuni istana.


Namun maraknya korupsi di jaman Soekarno sebenarnya makin menggila sejak diterapkannya program Benteng pertama kali pada masa kabinet Natsir di tahun 1950 dan diteruskan oleh kabinet Ali Sastroamidjojo periode 1953-1954.  Tujuan program ini sangatlah baik, mendorong pengusaha pribumi agar mengambil alih sektor impor yang dikuasai oleh pihak asing dan Cina.  Dalam program ini pemerintah mendukung sepenuhnya dengan memberikan lisensi impor dan bantuan kredit pada pengusaha pribumi.  Namun ternyata sangat sedikit pengusaha pribumi yang sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan itu untuk berusaha dengan benar.  Kebanyakan dari mereka malah menjadi calo dengan menjual lisensi tersebut kepada pengusaha bermodal kuat seharga 200-250% dari harga aslinya.  Pengusaha pribumi yang mendapatkan kredit juga jarang membayar kembali pinjamannya.

Perselingkuhan borjuasi pribumi dengan patron penguasa menemukan bentuk yang paling ideal yang akhirnya berkembang lebih luas dengan menggaet kembali pengusaha Cina dan asing untuk bermain dengan keuntungan yang lebih besar.


Iskaq Tjokrohadisurjo yang menjabat menteri perekonomian pada kabinet Ali digelandang ke Kejaksaan Agung dengan tuduhan menggunakan kebijakan pemberian lisensi untuk memudahkan rekan-rekan pengusaha dari partai yang sama, PNI.  


Di luar Iskaq, masih ada Jusuf Muda Dalam, Menteri Bank Sentral yang terjerat kasus penyelewengan dana revolusi dan memberikan kucuran kredit kepada orang-orang terdekatnya.  Cukup banyak pejabat-pejabat era Soekarno yang terjerat dalam praktek kongkalikong ala ali baba tersebut dan sayangnya proses hukum terhadap para pejabat tersebut sering dimentahkan oleh Soekarno sendiri dengan alasan tertentu.


Di jaman orde baru, korupsi semakin menggila. Skandal yang sempat menggegerkan masyarakat di tahun 1976 adalah perebutan harta almarhum kepala divisi prasarana pembangunan instalasi listrik tenaga uap Pertamina, Ahmad Thahir antara Kartika Ratna, istri keempat Thahir dengan Pertamina.  Uang yang disimpan dalam rekening bersama Thahir-Kartika di bank Sumitomo, Singapura sebanyak 35 juta dollar, disinyalir sebagai hasil komisi tidak syah dari kontrak-kontrak Pertamina dengan rekanan.  Kasus yang memakan waktu 12 tahun ini akhirnya dimenangkan oleh Pertamina.  Adapun Kartika Thahir sendiri yang diduga berperan besar dalam eksekusi sejumlah kontrak Pertamina dengan perusahaan besar bersembunyi di Swiss dan tidak tertangkap sampai sekarang.


Saking payahnya memberantas korupsi, saat usia Republik ini masih sangat muda pun kabinet saat itu sudah memikirkan peraturan darurat untuk memperlebar kerja Jaksa Agung dan pengadilan terpisah untuk menggelar kasus korupsi serta mengijinkan pembuktian terbalik.  RUU anti korupsi ini mendapat tentangan Nahdlatul Ulama yang anggotanya dituduh korupsi oleh pers pada masa itu.

Keadaan yang berlarut-larut itu  akhirnya usai dengan dikeluarkannya perintah situasi negara dalam keadaan darurat yang memungkinkan militer ikut campur dalam persoalan sipil

KPK bukanlah lembaga anti korupsi pertama yang dibentuk untuk menangani kasus korupsi di Indonesia.   Di tahun 1950-an saat Soekarno melancarkan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan  asing.  Sebagai negara yang masih sangat muda Indonesia tentu saja belum mempunyai tenaga-tenaga profesional untuk mengambil alih manajemen perusahaan asing tersebut.  Jalan keluar terpikirkan adalah menaruh pucuk-pucuk pimpinan Militer dalam posisi-posisi penting sebagai penentu kebijakan.  Tentu saja sumber dana yang hampir tak terbatas itu berada di luar jangkauan pengawasan masyarakat karena memang tidak ada badan yang khusus ditugaskan untuk mengawasi kinerja para petinggi ini selain atas perintah Presiden.  Keadaan ini menjadikan militer sebagai sasaran kritik dari partai-partai terutama PKI dan PNI sehingga situasi menjadi panas.

AH Nasution sebagai KSAD waktu itu dibuat risau dengan keadaan ini sehingga mengusulkan untuk membentuk badan pengawas yang direspon oleh Soekarno dengan membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dengan Nasution sebagai ketuanya.  PARAN awalnya lebih memfokuskan pengawasan dalam tubuh militer (Angkatan Darat).  Tercatat banyak para perwira yang menolak melaporkan kekayaan mereka dan berdalih mereka adalah bawahan Presiden sehingga mereka hanya tunduk terhadap presiden.


Namun akhirnya kedudukan PARAN menjadi tumpang tindih dengan badan pengawas anti korupsi yang sudah ada lebih dahulu, BAPEKAN (Badan Pengawan Kegiatan Aparatur Negara) yang dinakhodai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.


Mirip KPK jaman sekarang, fungsi BAPEKAN menerima pengaduan dari berbagai lapisan masyarakat melalui tromol pos no. 8.  Pengaduan paling remeh temeh menurut ukuran kita sekarang adalah penjualan tak sah dua rim..ya!! cuma dua rim kertas oleh pegawai Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, mungkin itu Depdikbud jaman dulu. Lucunya bukan hanya masalah korupsi yang diadukan, laporan penganiayaan juga mencapai jumlah tak sedikit. Cukup banyak kasus-kasus korupsi yang dapat diselesaikan oleh BAPEKAN.  Masyarakat pun menyambut kehadiran BAPEKAN dengan antusias, terbukti dalam setahun lembaga ini menerima lebih dari 900 aduan.


Sayang napas BAPEKAN  hanya bertahan tiga tahun dari awal pendiriannya di tahun 1959.  Hidup BAPEKAN dipenggal saat sedang sibuk menyelidiki korupsi dalam pembangunan sarana Asian Games di tahun 1962.  Tanpa alasan yang jelas Soekarno membubarkan BAPEKAN.


Senasib dengan BAPEKAN,  PARAN pun mengalami hal yang sama.  Operasi Budhi yang dijalankan untuk mendata kekayaan para perwira hampir menjerat Ibnu Soetowo, Direktur Utama Pertamina.  Namun karena berlindung di balik Soekarno maka ia pun lolos dari jeratan PARAN.


Soekarno yang cemas melihat menguatnya pengaruh Nasution yang mulai meringkus orang-orang dekatnya akhirnya membubarkan PARAN lewat Wakil Perdana Menteri Soebandrio.

Mengamati lika liku perjalanan lembaga anti korupsi dari sejak orde lama sampai sekarang, rasanya kita tak perlu heran jika korupsi susah diberantas.  Intervensi tak malu-malu dari lembaga baik Yudikatif, Legislatif sampai Eksekutif berperan besar terhadap tersendatnya penuntasan penyelidikan kasus-kasus korupsi di pengadilan.  Bagaikan labirin, lorong-lorong korupsi memang dapat menyesatkan penyelidikan dengan ending ketidakpastian.

Dan, jika wewenang KPK dipreteli, itu tak lebih dari pengulangan nasib BAPEKAN dan PARAN di masa lalu.   Maka cita-cita Indonesia bebas korupsi nampaknya masih menjadi sebatas khayalan Utopis.


REFERENSI :
- Indonesia: The Rise of Capital (Richard Robinson)
- Suharto and His Generals: Indonesia Military Politics (David Jenkins)
- Retooling (Historia, Nomor 2)
- Istri-Istri Soekarno (Reni Nuryanti dkk)

Tidak ada komentar: