23 Maret 2014

Kawasan Gunung Patuha

Alkisah, kawasan sekitar gunung Patuha terkenal angker.  Masyarakat sekitar sering menyaksikan burung-burung yang melintasi wilayah tersebut mendadak mati.

Kejadian itu pun dituturkan penduduk pada seorang asing, Franz Wilhelm Junghuhn, seorang ahli botani dan biologi.  Junghuhn yang akademisi tentu saja tidak percaya pada mitos.  Ia pun penasaran dan mendaki kawasan gunung Patuha untuk mencari tahu penyebab kematian burung-burung tersebut.


Setelah susah payah menerobos hutan dan membabat alang-alang, ia pun segera takjub dengan apa yang dilihatnya, sebuah danau kawah dengan air berwarna putih kebiruan dan bau belerang yang menyengat.


Itulah yang sekarang dikenal sebagai Kawah Putih di daerah Ciwidey, Bandung.  Tempat ini melengkapi keelokan tanah Pasundan yang dikenal dengan para mojang, mode, gunung dan danaunya.


Dengan jarak kurang lebih 35 km dari pintu tol Kopo Soreang, tempat ini sebenarnya tidak sulit dicapai hanya mungkin kemacetan di pasar Kopo sampai Soreang memang bikin malas. Memasuki Ciwidey, kita akan disuguhi pemandangan kebun teh yang lebih indah dari puncak selain kebun strawberry.  Berhati-hatilah dengan kelokan tajam karena memang alur kendaraan mengitari punggung pegunungan.

Hari Jumat yang bukan hari libur membuat lalu lintas di Ciwidey cukup lengang walau tidak bisa dibilang sepi sekali.  Memasuki kawasan Kawah Putih pun, suasana sepi kian terasa selain waktu kedatangan yang masih cukup pagi sekitar pukul 09:00.  Musim hujan ini membuat rencana untuk trekking ke gunung Papandaya batal dan beralih ke Kawah Putih yang gampang dicapai.


Sempat ragu-ragu sejenak apakah akan meninggalkan mobil di parkiran bawah dan naik angkutan yang tersedia atau membawa mobil sampai ke atas.  Akhirnya diputuskan untuk membawa mobil sampai ke atas dengan alasan kepraktisan walau harus membayar tambahan Rp 150,000 jika ingin membawa mobil.  harga tiket per orang adalah Rp 15,000.-.  Penjaga tiket mengkonfirmasikan bahwa jalur menuju kawah cukup aman.

Saya mengemudikan mobil dengan hati-hati, udara mendung membuat suasana sedikit gelap namun beruntung jalur ke atas sepi, pasti berbeda keadaannya jika ke sini di hari libur.  Jalan kecil yang menanjak tajam ini pastilah penuh dengan mobil pribadi dan mobil angkutan.

Setelah menanjak 5 km, sampailah di tempat parkir.  Memang sepi, hanya ada 2 mobil, beberapa orang sedang foto-foto.

Menyenangkan melihat kawasan wisata ini sangat terjaga kebersihannya, pedagang makanan tampaknya tidak boleh masuk sampai ke atas.  Tidak ada sampah plastik yang biasanya terlihat berceceran seperti tempat wisata lain.  Saya sempat melihat gardu pandang khusus untuk manula.

Danau kawah yang berair putih kehijauan saat ini memang sangat indah, barisan pegunungan yang mengitarinya dengan lapisan tipis kabut membuat suasana terasa sedikit mistis.  Karena masih pagi, aroma belerang belum begitu tercium.  Pohon-pohon yang mengering di pinggir kawah menambah cantik landscape kawah ini.  Kawasan ini dikelolah dengan baik seperti yang seharusnya.


Rombongan yang datang kemudian terdiri dari anak-anak SMA.  Saya hanya tersenyum tipis melihat tingkah laku anak-anak itu berfoto-foto.  Namun senyum segera berubah menjadi meringis melihat sebongkah batu sebesar kerbau penuh coretan.

Ada bekas tambang belerang di sisi atas namun sudah dipalangi kayu.  Hutan kecil di sekitar kawah juga menarik untuk dilihat.  Tak puas-puasnya saya membidik pemandangan indah ini.  Sayang keasyikan ini diganggu oleh hujan yang turun dengan lebat.  Para penjual jasa ojek payung segera menghampiri, namun kami lebih memilih berlari-lari menuju mobil.

Kemudian, kami memutuskan untuk menuju Situ Patengan, tak jauh dari Kawah Putih, sekitar 5 km setelah pintu keluar kawasan Kawah.  Namun sebelumnya saya harus berjuang dulu menuju ke bawah mengingat kabut telah turun sehingga jarak pandang menurun drastis.  Saya menyalakan lampu kabut dan berusaha menajamkan mata, kabut yang turun di sela pepohonan mengingatkan saya pada adegan film Twilight. Sesekali berjumpa kendaraan yang menuju ke kawah.  Akhirnya sampai juga di pintu keluar.

 Dengan jalur jalan yang berkelok-kelok, sungguh kami disuguhi pemandangan permai hamparan kebun teh, salah satunya Perkebunan teh Walini.  Daerah ini dahulu memang dikenal sebagai tanah perkebunan milik para pembesar kolonial.

Tak butuh berapa lama untuk sampai di Situ Patengan, sebuah danau seluas 65 ha, yang menurut legenda akibat aliran air mata Raden Kian Santang dan Dewi Rengganis dikarenakan kisah cinta mereka yang mengharu biru, penuh cobaan.


Dari pintu masuk letak situ ini berada di bawah, dan memang cantik sekali, dari atas nampak air danau yang jernih kebiruan dikelilingi hijaunya pepohonan.  Sementara mobil terus meluncur ke bawah menuju tempat parkir.  Situ Patengang ini ternyata lebih ramai dikunjungi para pelajar  demikian pula penjual makanan dan cendera mata juga lebih semarak di sini.  Ada perahu-perahu yang dapat disewa berkeliling danau.  Waktu ditanya ternyata per orang dikenakan Rp 25,000 dengan kapasitas 12 orang, mahalkah? 

Di tengah danau ada sebuah pulau, dari atas memang terlihat danau ini terbelah dua, dipisahkan oleh pulau tersebut.


Sayang danaunya walaupun cukup bersih namun sedikit kumuh,   ada sedikit sampah mengapung di tepian mungkin aturan pengelola danau ini tidak seketat di kawah.  Puas menglilingi danau, saya memilih duduk di warung dan menikmati segelas teh manis panas cap Walini.  Nikmat sekali teh panas ditemani udara sejuk pegunungan.  Teh Walini ini dikenal sebagai teh berkualitas premium.  Di warung teteh ini, satu box teh Walini rasa standar dijual seharga 10 ribu rupiah, sedangkan teh infusionnya dijual 15 ribu rupiah per kotak. saya kurang paham berapa harga di supermarket mengingat merk teh ini tidak dijual di Jakarta.  Beberapa orang pelajar terlihat juga sedang membeli teh dengan beragam rasa.

Sebenarnya ingin juga lanjut sampai Pengalengan dan singgah di perkebunan teh Malabar, namun apa daya rasanya kondisi badan tidak memungkinkan akibat kurang tidur.  Akhirnya diputuskan untuk balik singgah di Bandung.

Ngapain lagi di Bandung? ah, saya ingin mengunjungi museum KAA yang berada di kawasan Braga.  Menyenangkan bukan.



1 komentar:

Baktiar77 mengatakan...

Wah baru tahu kalau situ patengan ada kisah cinta mengharukan antara Raden Kian Santang dan Dewi Rengganis... dulu datang subuh sekali belum banyak orang untuk mencari cerita di situ ini...