19 Februari 2011

DUNIA BERGERAK BERSAMA MARCO

“Saya berani bilang, selama kalian, rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus diinjak-injak dan hanya menjadi seperempat manusia !!!”

Penggalan kalimat itu diucapkan oleh seorang anak muda, anak priyayi rendahan yang hanya bersekolah di Ongko Loro, bukan HIS atau HBS.

Marco, lengkapnya Mas Marco Kartodikromo, kelahiran Cepu tahun 1890 bukan berasal dari kalangan priyayi layaknya pemimpin pergerakan pada masa itu. Tidak seperti Tjokroaminoto, Misbach atau Tirto yang berasal dari kalangan tinggi yang mendapat pencerahan dari buku buku bacaan, Marco mendapatkan semua itu dari pengalamannya bersama rakyat jelata Hindia.

Dendamnya pada perbedaan kelas membuatnya tekun mempelajari bahasa Belanda yang pada masa itu dianggap sebagai bahasa kaum elit. Tekad yang meluap membuat pekerjaan sebagai juru tulis tidak lagi cukup untuk menampung semangatnya. Ia mengembara ke Bandung, belajar pada Tirto Adhi Soerjo, yang kala itu masyur dengan koran Medan Priaji.

Tirto lah mentor yang mengajarkan segala hal pada Marco, termasuk mengasah jiwa Marco yang radikal menjadi semakin militan. Tak heran jika Marco sangat kehilangan saat Tirto dibuang dan akhirnya wafat.

Marco bergabung dengan Sarekat Islam Semarang yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono, jiwa radikal Marco membuatnya lebih cocok dengan SI Merah ketimbang SI Putih-nya Tjokro. Marco dengan korannya "Dunia Bergerak" membuat organisasi SI yang sempat adem ayem menjadi bergerak.

Marco mengorganisasi pemogokan buruh dalam Sarekat Rakyat, Ia menggambil alih pimpinan setelah Haji Misbach disingkirkan oleh pemerintah Kolonial dan wafat di Manokwari.

Mas Marco menjalani pilihannya dengan konsekuen, ia salah satu cikal bakal organisasi yang kelak dikenal dengan nama PKI. Organisasi yang dianggap sebagai organisasi hitam di Indonesia.

Namun Marco, Misbach dan para pemula lainnya berangkat dari kesadaran akan bobroknya sekat sekat kelas yang diciptakan oleh para bangsawan Keraton dan dipertajam oleh pemerintah Kolonial dengan sengaja.

Mas Marco sadar, bahwa suatu saat gerakan radikal yang ditempuhnya akan mengalami masa akhir dan ia sudah siap untuk itu.

Marco Kartodikromo, putra Cepu yang menempati tempat sangat terhormat dalam sejarah pers Indonesia.

Tidak ada komentar: