01 Februari 2011

AKU

Aku anak perempuan pertama dari keluarga kelas menengah. Pengertianku akan kelas menengah, berarti di tengah tengah. Keluarga kami tidak miskin tapi juga tidak kaya. Pengertian tidak miskin di sini berarti orang tua kami memiliki rumah yang layak huni, sanggup menyekolahkan kami di sekolah yang cukup bermutu dan makan makanan yang bergizi.

Tapi kami juga tidak kaya. Ayah seorang pegawai, ibu adalah ibu rumah tangga biasa.

Dari kelas 1 sampai kelas 3 SD nilai rapotku lumayan, tidak pernah merah, rata rata 7. Nampaknya aku cukup beruntung, tanpa belajar keras nilaiku tidak pernah merah. Kelas 4 SD sampai kelas 6 baru aku mengenal namanya persaingan dalam nilai.

Aku mulai terpacu belajar dan hasilnya lumayan selalu masuk 3 besar. Saat ulangan umum SD pun NEM ku mencapai rata rata 8 kurang sedikit. Membuatku bisa masuk SMP negeri mana pun di Depok.

Aku sama sekali tak peduli tentang SMP, ibuku yang menginginkan aku masuk Mardiyuana. Di SMP, ternyata masa masa itu baru aku ketahui adalah masa puber, dimana teman teman perempuanku kurasakan lebih genit terhadap lawan jenis. Di situ aku belajar seperti biasa, bersaing dengan teman temanku yang laki laki untuk meraih ranking.

Seperti yang diduga, dengan fokus terasa mudah untuk meraih nilai nilai bagus dalam fisika dan matematika. Sedikit ada romantika SMP dengan lawan jenis tapi ya begitu begitu saja. Singkat kata NEM SMP ku di atas rata rata. Sekali lagi dengan mudah aku bisa memilih SMA Negeri mana pun di kota Depok dan Bogor.

Lagi lagi ibuku memilih sekolah swasta, kali ini di Bogor. Aku sama sekali tidak peduli dengan SMA manapun yang dipilih. Satu hal yang selalu membuatku tersenyum di kemudian hari, adalah pilihan untuk bersekolah di sekolah swasta ternyata selalu membuat orang menyangka nilai NEM ku tidak cukup untuk sekolah negeri atau aku tidak diterima di sekolah negeri. Padahal sungguh mati aku tidak pernah tahu beda sekolah negeri dan sekolah swasta pada saat itu.

Di SMA yang peraturan dan persaingannya sangat ketat itu barulah aku merasa sangat jenuh...pelajaran aku terima begitu saja, prestasiku sudah pasti menurun tapi tetap naik kelas. Semua terasa membosankan. Tapi lagi lagi saat ujian nasional SMA, nilai NEM ku di atas 7.

Aku sama sekali tidak tertarik untuk menjadi mahasiswa universitas negeri. Saat ikut sipenmaru, aku asal asalan . Lagi pula aku sudah diterima di Tarakanita. Aku tidak ingin lama lama kuliah. Aku ingin segera punya uang sendiri dan bebas bepergian kemana pun tanpa perlu ijin dari orang tua.

Rasanya aku tidak punya cita cita ingin mempunyai profesi apa. Kalau dulu saat TK aku bilang ingin jadi dokter, itu karena aku tidak punya referensi profesi lain.

Kuliah sekretaris ternyata juga membosankan. Bosan mendengarkan para suster yang selalu berbicara tentang moral dan ajaran cinta kasih. Semua petuah mental dari telingaku. Lagipula aku sedang seru serunya punya pacar. Sialnya aku mempunyai sifat keras, saat itu rasanya aku menjadi anak yang sulit diatur. Berkali kali bentrok dengan Ibuku.

Saat bekerja, barulah aku rasakan hidup yang real. Hidup tidaklah selalu lurus dan mulus, tapi tetap terasa lebih manusiawi. Ayah dan Ibu mulai melepasku, bebas pulang malam bahkan pagi. Bebas pacaran tanpa harus pusing dengan interogasi ibu.

Ternyata cita citaku adalah ingin punya uang sendiri.

Dunia kerja yang keras yang kujalani lebih awal justru mengajarkan untuk tetap tangguh, sifatku yang keras kepala sebagai anak pertama membuatku harus berdiri paling depan saat tanggung jawab sebagai kepala keluarga diestafetkan kepadaku. Sempat tergagap gagap sejenak, tapi ada kebanggaan walau ada kalanya terasa berat. Dan ada previlese tersendiri. Bayangkan saja waktu mulai bekerja pertama kalinya, tentu saja masih tunduk terhadap orang tua. Tapi begitu tongkat estafet beralih, tidak ada yang berani mengganggu saat aku sedang beristirahat kala week end. Aku cuma perlu pamit seperlunya saat pergi dengan teman untuk pulang esok paginya..

Ibuku tidak lagi berani mempertanyakan teman laki lakiku...apakah aku serius atau tidak dalam berpacaran.

Menyesalkah aku karena tidak meraih gelar gelar akademis, kadang ya...tapi aku tetap bangga karena aku belajar dengan cara yang lain. Setidaknya aku bisa membiayai diriku, adik dan orang tuaku di suatu masa.

Dengan sifatku yang senang menyendiri dan sangat berlainan dengan anggota keluargaku yang lain, mau tidak mau aku butuh mandiri secara finansial untuk mempertahankan duniaku dari intervensi orang. Dan itu kusadari kemudian.

Aku bukan seorang family woman, butuh waktu lama untuk aku menyadari ada orang lain disisiku yang membutuhkan perhatian tersendiri, namun tentu saja aku berusaha belajar untuk memenuhi tanggung jawab sebagai perempuan yang telah berkeluarga. Tapi ada hal hal yang memang mau tidak mau membuatku berbeda dan kelihatan aneh dari perempuan lain. Ada ciri individualis dan ego yang tinggi yang masih terus terlihat. Aku tidak bisa berhenti mengejar materi karena memang aku suka dengan kemapanan finansial, hanya saja aku benci jika harus menadahkan tangan. Mungkin bisa dibilang perempuan materialistis dalam bentuk lain.

Aku hampir tidak pernah kesepian, karena selalu berdialog dengan pikiranku sendiri. Kadang orang menjuluki si acuh tak acuh, karena terlihat selalu asyik sendiri. Belakangan aku menemukan idiom yang tepat "Berada di dunia ambang".

Namun apapun keadaanku, nampaknya aku wajib bersyukur karena ada yang selalu melindungi, memberi rejeki, memberikan jalan keluar yang tak terduga. Walau aku kerap melupakan dan melanggar peraturan-Nya.


Tidak ada komentar: