17 Januari 2009

Dunia Film Indonesia

Ada yang bilang film itu adalah cerminan kultur suatu bangsa...setuju banget.

Masih ingat era tahun 1990-an dimana bioskop Indonesia penuh dengan film bertema sex. Nama nama seperti Inneke Koesherawati, Malvin Shayna, Ibra Azhari dan Sally Marcellina kerap muncul di poster poster seronok.

Setelah itu film Indonesia mati suri selama kurang lebih 10 tahun...hampir satu generasi kalau boleh
dibilang.

Dunia film negeri ini kembali menggeliat saat sekelompok anak muda membuat film Kuldesak (Riri Riza, Mira Lesmana, cs) dan bermunculan sineas sineas muda. Pelan-pelan mulai ada Bintang Jatuh, Petualangan Sherina, AADC dsb. Tema cinta remaja yang booming seperti AADC, Eiffel I'm in Love, tema horror yang dimotori oleh Jalangkung.

Tahun 2008 film Indonesia benar benar mencapai puncaknya. Ayat Ayat Cinta dengan 3 juta penonton yang ditembus oleh Laskar Pelangi dengan jumlah penonton lebih dari 4 juta dan belum lagi dari layar tancapnya. Saking boomingnya sampai pernah 5 layar bioskop 21 di Citos semuanya berisi film kita. Sekali lagi film nasional menjadi mesin uang.

Dari sekian banyak film lokal yang beredar bisa dilihat sutradara dan produser mana yang memperlakukan film layaknya seperti bayi mereka, dimana mereka sangat berhati-hati dengan konsep cerita, akting, tema, gambar, soundtrack dan post production serta mana sutradara maupun produser yang membuat film semata mata demi keuntungan.

Film film seperti Soe Hok Gie, Laskar Pelangi, 3 Doa 3 Cinta dan Under the Tree tentulah dibuat dengan penuh kehati-hatian. Coba bandingkan dengan Setan Budeg, Tiren, Tali Pocong Perawan, Genderuwo dll. Memang tidak semua film horror dibuat asal asalan; film Jalangkung (pertama) misalnya. Saya juga menyukai film Legenda Sundel Bolong, konsepnya terencana dengan baik begitu pula dengan setting pemainnya.

Tapi memang dengan mati surinya perfilman kita begitu lama, tidak heran kalau banyak sutradara yang membuat film dengan Hollywood taste, semua berada dalam 1 garis. Malah ada yang dengan cukup ngawur membuat film Indonesia dengan suasana seperti di luar negeri seperti Oh Baby yang minta ampun...saya keberatan meluangkan waktu untuk menonton film seperti itu.

Saya lebih memilih menonton premiere 3 Doa 3 Cinta dibandingkan Twilight atau Quantum of Solace. film Hollywood mulai terasa membosankan dengan alur yang seragam.

Mungkin bagi yang terbiasa dengan film ala Hollywood, cukup sulit bila harus menonton film yang berbeda dengan mainstream yang sudah ada, film Iran misalnya. Seperti film The Play yang mengisahkan seorang gadis cilik yang ingin bermain di luar rumah tapi tidak diijinkan oleh Ibunya. Setting hanya berkisar di ruang tamu dan halaman depan dengan fokus gadis cilik sepanjang film atau Traffic Signal, film dari India yang mengisah kehidupan kumuh di sekitar wilayah lampu merah.

Saya pernah menonton film berjudul Bo Ba Bu, dari Uzbekistan dimana sepanjang film diisi 3 pemeran yang dialognya hanya Bo Ba Bu..:).

Film film non mainstream memang berlawanan dengan Hollywood, mereka berpegang pada konsep cerita yang lebih kepada kehidupan sehari hari dan miskin effect,,,tapi memang terasa lebih segar. Mungkin bagi penggemar karya sutradara Zhang Yimou bisa membandingkan filmnya yang belum tersentuh oleh selera Amerika seperti Raise of the Red Lantern yang sangat dalam dengan karyanya yang terbaru Curse of the Golden Flower dimana kostum pemain dalam film terakhir ini "sintrelep" alias gemerlapan.. kata teman saya.

Film yang dibuat dalam bahasa asli memang lebih terasa "nendang", film Passion of Christ yang berbahasa aramaic akan lebih menyentuh dibanding The last temptation of Christ by Martin Scorsese. Itulah keseriusan yang berbuah penghargaan.

Dalam setahun ini sudah 80 film Indonesia beredar dimana tema horror masih mendominasi, bandingkan dengan India yang bisa memproduksi sekitar 800 film dalam setahun . Ada kekhawatiran jika kuantitas tidak sebanding dengan kualitas maka kondisi silam akan terulang, film Indonesia akan mati suri kembali. Apalagi pemerintah sama sekali tidak memberikan keringanan pajak untuk pengadaan mesin mesin post production.

Saat ini jika ada film Indonesia yang diputar di bioskop 21, maka sharing pendapatan yang diterapkan oleh 21 Group adalah 50:50, kata Nan T. Achnas - "kita yang kerja setengah mati, mereka yang cuma menyediakan tempat pemutaran bisa dapat 50% dari revenue". Dilema yang besar bagi para produser dan sutradara.

Pun pajak tontonan yang besarnya 10%-30% juga tidak pernah kembali dalam bentuk pengadaan sekolah film dan alat alat.

Nampaknya memang belum ada perhatian dari pemerintah untuk masyarakat film Indonesia
.

1 komentar:

Rahadian P. Paramita mengatakan...

Uhm. Saya masih lebih suka memburu film-film eropa. Bukan tidak percaya dengan karya bangsa sendiri, tapi kenaifan cerita seringkali membuat otak beku. Film memang hiburan, tapi rasanya bisa berbuat lebih. Salam!